Bab 3 PERENCANAAN PEMBANGUNAN DI NEGARA BERKEMBANG & PENGALAMAN DI INDONESIA

Paradoks Perencanaan Pada Negara Berkembang
Pembangunan adalah sebuah kegiatan yang kolosal, memakan waktu yang panjang, melibatkan seluruh warganegara dan dunia intrernasional, dan menyerap hampir seluruh sumber daya negara bangsa.[1] Karena itu, sudah seharusnya jika Pembangunan dikelola dan dilaksanakan dengan baik.

Pengelolaan dan pelaksanaan pembangunan menuntut adanya proses yang berkesinambungan. Secara umum proses ini dimulai dari perencanaan, disusul pelaksanaan, dan diakhiri dengan pengendalian. Perencanaan adalah kegiatan dari pembangunan yang paling prioritas, karena perencanaan menentukan arah, prioritas, dan strategi pembangunan. Perencanaan yang baik dapat diidentikkan dengan sebuah perjalanan yang sudah melewati separo jalan, karena sisanya tinggal melaksanakan dan mengendalikan. Sepanjang pelaksanaan konsisten, pengendalian efektif, serta faktor-faktor pengganggu tidak banyak muncul atau jika pun muncul tidak memberikan pengaruh yang mampu membiaskan pelaksanaan pembangunan, maka pembangunan dapat dikatakan tinggal menunggu waktu untuk sampai ke tujuan.
Perencanaan pembangunan menjadi kunci karena sesungguhnya ini adalah pekerjaan yang sangat  rumit. Seperti diketahui, istilah “pembangunan” adalah istilah khas dari proses rekayasa sosial (dalam arti luas, termasuk ekonomi, politik, kebudayaan, dsb) yang dilaksanakan oleh negara-negara berkembang.
Akan tetapi disuatu sisi, perencanaan adalah menjadi suatu paradoks, semakin kita membutuhkannya, semakin kita kurang mampu melakukannya. Di satu pihak, perencanaan makin esensial jika kelangkaan sumber daya dan kegunaan strategisnya makin besar.  Dipihak lain, justru kelangkaan ini pula yang membuat perencanaan formal kian sulit. Kebutuhan penting tidak dapat diramalkan, waktu yang tersedia untuk membuat keputusan di tingkat teratas tersita untuk untuk menanggapi permasalahanyang langsung terasa akibatnya. Masyarakat miskin, organisasi miskin, dan negara miskin semua terjebak dalam dilemma ini. Mereka seyogyanya mampu menata masa depannya tetapi hal ini praktis tidak dapat dicapai karena keadaan-keadaan darurat jangka pendek menyita sumber-sumber daya, waktu dan tenaga. Pembahasan yang realistis mengenai perencanaan  haruslah bermula dari masalah ini, dan dari keinsyafan tentang betapa dalamnya masalah ini mencokoli kehidupan organisasi. Pendapat Tony Killick[2] mengenai perencanaan pembangunan merefleksikan perhatian Herbet Simon terhadap organisasi pada umumnya. “Persediaan pengetahuan yang ada, arus informasi yang berlangsung, kapasitas untuk menyerap dan menafsir informasi, semuanya itu sangat tidak memadai di negara-negara sedang berkembang. Para ekonom sadar benar mengenai kekurangan ini tetapi tidak melihat implikasinya yang merugikan  pada perencanaan pembangunan.

Disamping hal tersebut di atas, perencanaan di negara berkembang menjadi sebuah paradoks akibat  konsep dan teori yang di keluarkan oleh para ahli dari negara maju  bisa dikatakan secara “bulat-bulat” di adaptasi dan internalisasi di negara-negara berkembang tanpa mempertimbangkan berbagai faktor yang berpengaruh. Sebagai contoh adalah dimana pada negara-negara berkembang sangat identik dengan penerapan model perencanaan agregat bertumpu pada teorema ekonomi makro di mana konsep intinya adalah pendapatan domestik bruto (PDB) dam konsep-konsep lain yang melengkapinya. Konsep ini mengagreasikan perekonomian menjadi rumus bahwa produk domestik bruto merupakan agregasi (penjumlahan) dari konsumsi (C) , pengeluaran pemerintah (G), investasi pemerintah (Ig), investasi masyarakat (Ip), ekspor (X), dikurangi impor (M). Model ini adalah model yang paling banyak dipergunakan oleh para perancang pembangunan hingga hari ini. Salah satu alasannya adalah karena model ini menghasilkan data yang kuantitatif sehingga lebih mudah difahami dan lebih menarik untuk dijadikan sebagai model.

Namun  pada akhirnya penerapan konsep perencanaan tersebut jarang sekali untuk mampu mencerminkan kondisi ketercapaian pembangunan yang sebenarnya. Misalnya  besarnya PDB ataupun pendapatan per kapita tidaklah otomatis mencerminkan tertanggulanginya kemiskinan yang ada. Pada banyak negara berkembang, justru besarnya PDB dan pendapatan per kapita menyembunyikan fakta bahwa pembangunan lebih banyak menghasilkan ketimpangan antara sebagian kecil kelompok masyarakat yang sejahtera karena memperoleh prioritas untuk mengejar “angka” PDB dan pendapatan per kapita, dan di sisi lain, sebagian besar masyarakat hidup dengan standar kualitas yang sangat jauh dibandingkan kelompok pertama tadi.
Kondisi tersebut di atas merupakan suatu dilema dan menjadikan perencanaan menjadi sebuah paradok di negara-negara berkembang , yang akhirnya kondisi ini sering sekali menyebabkan kegamangan bagi perencana di negara-negara tersebut.


[1] Riant Nugroho D, Reinventing Pembangunan, PT. Elex Media Komputindo,  Jakarta, 2003 Hal : 67
[2] Toni Killick, ‘The Possibilities of Development Planning”. Oxford Economic Papers,  July 1976, Hal : 173

Belum ada Komentar untuk "Bab 3 PERENCANAAN PEMBANGUNAN DI NEGARA BERKEMBANG & PENGALAMAN DI INDONESIA"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel