Bab 3 PERENCANAAN PEMBANGUNAN DI NEGARA BERKEMBANG & PENGALAMAN DI INDONESIA
Selasa, 21 Oktober 2014
Tambah Komentar
Paradoks Perencanaan Pada Negara Berkembang
Pembangunan adalah sebuah kegiatan yang kolosal,
memakan waktu yang panjang, melibatkan seluruh warganegara dan dunia
intrernasional, dan menyerap hampir seluruh sumber daya negara bangsa.[1] Karena itu, sudah seharusnya jika Pembangunan dikelola
dan dilaksanakan dengan baik.
Pengelolaan dan
pelaksanaan pembangunan menuntut adanya proses yang berkesinambungan. Secara
umum proses ini dimulai dari perencanaan, disusul pelaksanaan, dan diakhiri
dengan pengendalian. Perencanaan adalah kegiatan dari pembangunan yang paling
prioritas, karena perencanaan menentukan arah, prioritas, dan strategi
pembangunan. Perencanaan yang baik dapat diidentikkan dengan sebuah perjalanan
yang sudah melewati separo jalan, karena sisanya tinggal melaksanakan dan
mengendalikan. Sepanjang pelaksanaan konsisten, pengendalian efektif, serta
faktor-faktor pengganggu tidak banyak muncul atau jika pun muncul tidak
memberikan pengaruh yang mampu membiaskan pelaksanaan pembangunan, maka
pembangunan dapat dikatakan tinggal menunggu waktu untuk sampai ke tujuan.
Perencanaan pembangunan menjadi kunci karena sesungguhnya
ini adalah pekerjaan yang sangat rumit.
Seperti diketahui, istilah “pembangunan” adalah istilah khas dari proses
rekayasa sosial (dalam arti luas, termasuk ekonomi, politik, kebudayaan, dsb)
yang dilaksanakan oleh negara-negara berkembang.
Akan tetapi disuatu
sisi, perencanaan adalah menjadi suatu paradoks, semakin kita membutuhkannya,
semakin kita kurang mampu melakukannya. Di satu pihak, perencanaan makin
esensial jika kelangkaan sumber daya dan kegunaan strategisnya makin
besar. Dipihak lain, justru kelangkaan
ini pula yang membuat perencanaan formal kian sulit. Kebutuhan penting tidak
dapat diramalkan, waktu yang tersedia untuk membuat keputusan di tingkat
teratas tersita untuk untuk menanggapi permasalahanyang langsung terasa
akibatnya. Masyarakat miskin, organisasi miskin, dan negara miskin semua
terjebak dalam dilemma ini. Mereka seyogyanya mampu menata masa depannya tetapi
hal ini praktis tidak dapat dicapai karena keadaan-keadaan darurat jangka
pendek menyita sumber-sumber daya, waktu dan tenaga. Pembahasan yang realistis
mengenai perencanaan haruslah bermula
dari masalah ini, dan dari keinsyafan tentang betapa dalamnya masalah ini
mencokoli kehidupan organisasi. Pendapat Tony Killick[2] mengenai perencanaan
pembangunan merefleksikan perhatian Herbet Simon terhadap organisasi pada
umumnya. “Persediaan pengetahuan yang ada, arus informasi yang berlangsung,
kapasitas untuk menyerap dan menafsir informasi, semuanya itu sangat tidak
memadai di negara-negara sedang berkembang. Para ekonom sadar benar mengenai
kekurangan ini tetapi tidak melihat implikasinya yang merugikan pada perencanaan pembangunan.
Disamping hal tersebut
di atas, perencanaan di negara berkembang menjadi sebuah paradoks akibat konsep dan teori yang di keluarkan oleh para
ahli dari negara maju bisa dikatakan
secara “bulat-bulat” di adaptasi dan internalisasi di negara-negara berkembang
tanpa mempertimbangkan berbagai faktor yang berpengaruh. Sebagai contoh adalah
dimana pada negara-negara berkembang sangat identik dengan penerapan model
perencanaan agregat bertumpu pada teorema ekonomi makro di mana konsep intinya
adalah pendapatan domestik bruto (PDB) dam konsep-konsep lain yang
melengkapinya. Konsep ini mengagreasikan perekonomian menjadi rumus bahwa
produk domestik bruto merupakan agregasi (penjumlahan) dari konsumsi (C) ,
pengeluaran pemerintah (G), investasi pemerintah (Ig), investasi masyarakat
(Ip), ekspor (X), dikurangi impor (M). Model ini adalah model yang paling
banyak dipergunakan oleh para perancang pembangunan hingga hari ini. Salah satu
alasannya adalah karena model ini menghasilkan data yang kuantitatif sehingga
lebih mudah difahami dan lebih menarik untuk dijadikan sebagai model.
Namun pada akhirnya penerapan konsep perencanaan
tersebut jarang sekali untuk mampu mencerminkan kondisi ketercapaian
pembangunan yang sebenarnya. Misalnya besarnya PDB ataupun pendapatan per
kapita tidaklah otomatis mencerminkan tertanggulanginya kemiskinan yang ada.
Pada banyak negara berkembang, justru besarnya PDB dan pendapatan per kapita
menyembunyikan fakta bahwa pembangunan lebih banyak menghasilkan ketimpangan
antara sebagian kecil kelompok masyarakat yang sejahtera karena memperoleh
prioritas untuk mengejar “angka” PDB dan pendapatan per kapita, dan di sisi
lain, sebagian besar masyarakat hidup dengan standar kualitas yang sangat jauh
dibandingkan kelompok pertama tadi.
Kondisi tersebut di atas merupakan suatu dilema dan
menjadikan perencanaan menjadi sebuah paradok di negara-negara berkembang ,
yang akhirnya kondisi ini sering sekali menyebabkan kegamangan bagi perencana
di negara-negara tersebut.
Belum ada Komentar untuk "Bab 3 PERENCANAAN PEMBANGUNAN DI NEGARA BERKEMBANG & PENGALAMAN DI INDONESIA"
Posting Komentar