PENDEKATAN DALAM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH

PENDEKATAN DALAM PERENCANAAN
PEMBANGUNAN DAERAH

Pada Bab 2 telah diuraikan pendekatan dalam pembangunan, berikut ini akan diuraikan mengenai pendekatan pembangunan yang secara khusus dikaitkan dengan masalah Perencanaan Pembangunan Daerah. Bahkan dapat pula dikatakan sebagai pendekatan Perencanaan Pembangunan Daerah :

  1. Pendekatan Kutub Pertumbuhan (Growth Pole Approach)
Perencanaan pembangunan daerah yang ditawarkan oleh pendekatan ini merupakan konsep yang memfokuskan pada pembentukan pusat-pusat pertumbuhan (urban centers) dalam suatu wilayah pembangunan. Dalam strateginya, investasi dikonsentrasikan dari beberapa urban centers yang menunjukkan potensi ekonomi.

Para pendukung pendekatan ini yakin bahwa luasnya perkembangan ekonomi di urban centers yang terbesar akan mampu mengembalikan nilai investasi yang tinggi, sehingga proses pembangunan berdasarkan pendekatan ini, akan memiliki dua mekanisme dasar, yaitu efek sebar dan efek balik. Menurut Jenssen dan Kohl-Meyer[1], efek sebar terjadi sewaktu growth-pole wilayah produksi pertanian dan pengolahannya di pedalaman (hinterland, pedesaan) dan pada urban centers yang lebih rendah dilakukan dengan memproses output dari growth-pole atau dengan mendirikan growth-pole dengan input yang perlu. Sedangkan efek balik terjadi sewaktu potensi pembangunan yang terpusat pada growth-pole mengeringkan sumber-sumber ke pedalaman (hinterland, pedesaan).

Dalam kenyataannya pendekatan ini tidak bisa dipertahankan, karena justru menimbulkan pertumbuhan ekonomi yang tidak seimbang. Pertumbuhan hanya bisa terjadi di pusat-pusat pertumbuhan saja (kota-kota). Sedangkan efek sebar yang diharapkan dapat memberikan rangsangan positif terhadap pertumbuhan ekonomi pedesaan tidak dapat tercapai. Konsentrasi spasial investasi hanya menyebabkan investasi terpusat di daerah-daerah tertentu saja.

Menurut Jenssen dan Kohl-Meyer[2], yang menyebabkan “jeleknya” reputasi growth-pole ini ada beberapa :
a.      Teknologi modern sektor industri hanya memberikan sejumlah kecil kesempatan kerja dengan daya beli masyarakat yang rendah.
b.      Adanya kelompok aktivitas modern yang menghasilkan aliran modal, bahan mentah, dan tenaga kerja terampil di pedesaan.
c.       Pola permukiman yang tidak seimbang dan persyaratan dagang yang tidak menguntungkan mengakibatkan efek sebar negatif, serta rendahnya tingkat efisiensi ekonomi sektor modern dalam kompetisi dunia .

Pendekatan ini telah diaplikasikan pada masa pemerintahan orde baru. Pendekatan ini cukup efektif untuk meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi dalam waktu relatif cepat. Laju pertumbuhan yang dicapai pada waktu itu cukup tinggi, berkisar antara 7%-8% per tahun, terutama dalam dekade 80-an sampai awal 90-an. Tingginya angka pertumbuhan tersebut menjadikan Indonesia sebagai negara “tujuan” investor yang ingin menanamkan modalnya di Indonesia.

Namun kelemahan dari penerapan pendekatan ini kurang disadari oleh pemerintah, termasuk para perencana pembangunannya. Kelemahan yang paling nyata adalah kurangnya sebaran pemerataan pembangunan yang proporsional, sehingga pembangunan cenderung terfokus pada sentral-sentral wilayah tertentu saja, dalam hal ini pulau Jawa dan Bali. Wilayah lain belum tersentuh secara optimal, padahal potensi sumber daya alam yang dimilikinya sangat berlimpah. Misalnya Kalimantan, Sumatera, Papua, dan sebagainya.

  1. Pendekatan Kebutuhan Pokok Terdesentralisasi
Pendekatan ini menekankan kebutuhan pokok sebagai suatu prasyarat untuk modernisasi dan pembangunan. Dalam proses pembangunan, keterkaitan daerah dan pusat harus dikurangi dan sebaliknya harus diciptakan kekuatan-kekuatan penyeimbang di lingkungan masyarakat (terutama pedesaan). Konsep ini menghendaki adanya proses pertumbuhan yang dimulai pada tingkat hierarki yang paling rendah sehingga dapat menumbuhkan penyebaran pembangunan yang merata secara geografis meskipun dengan kecepatan yang lebih lambat.

Mengacu pada pendapat Jenssen dan Kohl-Meyer, ciri khas dari pendekatan kebutuhan pokok terdesentralisasi adalah :
a.Adanya penggunaan teknologi padat karya dan tidak padat modal.
   Penggunaan teknologi seperti ini biasanya banyak dikembangkan di negara-negara berkembang, baik yang ada di benua Asia maupun Afrika, dan Amerika Latin. Keadaan ini lebih disebabkan karena masih terbatasnya negara-negara di kawasan tersebut, baik menyangkut kualitas SDM maupun kemampuan finansial bagi sumber pendanaannya, sementara di lain pihak jumlah SDM yang tersedia relatif tinggi.
b.Penurunan standar.
   Karena sifat masyarakat yang pada umumnya masih sederhana dengan kualitasnya yang masih rendah dan kemampuan finansial yang terbatas, standar produksinya pun relatif lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara maju. Namun secara bertahap kualitas produksi akan ditingkatkan sehingga pada saatnya akan diharapkan bisa memenuhi standar internasional.

c. Pengaktifan sumber daya wilayah
   Pembangunan diarahkan pada penggalian dan pemanfataan sumber daya yang ada (sumber daya lokal) sebagai bahan dasar produksi, dalam kaitannya dengan upaya pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat. Negara-negara yang memiliki ciri ini biasanya memfokuskan pembangunannya pada sektor-sektor pertanian, industri kecil dengan home industrinya dengan tenaga dan fasilitas lokal.

d.      Perlindungan pasar domestik
   Mekanisme pasar bebas seperti yang banyak dianut oleh negara-negara maju tidak berlaku dalam pendekatan ini. Karena orientasinya adalah untuk pemenuhan kebutuhan dasar masyarakatnya, perlindungan terhadap pasar domestik masih diberikan oleh pemerintah agar ketabilan harga, khususnya harga kebutuhan pokok, selalu terjaga dalam daya jangkau masyarakat secara umum.

  1. Pendekatan Perencanaan Pembangunan Yang berorientasi pada tujuan

Pendekatan ini merupakan pengembangan dari konsep-konsep sebelumnya yaitu konsep modernisasi. Konsep yang ditawarkan adalah pembangunan endogen dengan potensi dominan yang dimiliki oleh daerah sebagai stimulus pembangunan utamanya. Konsep ini tidak secara ekstrim menentang proses industrialisasi atau modernisasi, tetapi lebih menekankan penguatan-penguatan potensi daerah sebagai pra kondisi bagi pertumbuhan daerah dan modernisasi. Termasuk dalam hal ini adalah kemampuan masyarakat daerah dalam memenuhi kebutuhan dasarnya. Partisipasi dikembangkan sebagi suatu strategi untuk menciptakan kesempatan baru dan untuk mengeksplorasi arah pembangunan yang baru. Sebagai konsekuensinya, masyarakat akan berperan sebai subjek pembangunan yang aktif, dan bukan sekedar sebagi objek yang pasif.

Prinsip dari pendekatan ini dapat dilihat dari apa yang dikemukakan oleh Jenssen dan Meyer bahwa perencanaan pembangunan daerah harus :
a.      Menekankan pembangunan daerah endogen berdasarkan sumber daya setempat untuk pengembangan industri skala kecil, pertanian, perdagangan, dan kerajinan.
b.      Menggerakkan investor swasta dan ilmu pengetahuan untuk pembangunan.
c.       Menggalakkan pengguanaan teknologi tepat guna untuk memenuhi kebutuhan dasar yang merupakan prasyarat bagi modernisasi pada tingkat-tingkat proses pembangunan selanjutnya.
d.      Dengan dialog menggalang partisipasi tingkat lokal sebagai input yang penting bagi rencana pengembangan daerah dan programnya.
e.       Mendukung pengembangan pemukiman ukuran kecil dan menengah dengan tujuan meningkatkan kondisi setempat dan akses petani pada fasilitas infrastruktur sosial dan produktif.
f.        Menyiapkan kerangka kerja menyeluruh sebagai panduan utama untuk mengintegrasikan dan mengkoordinasikan aktivitas badan-badan terkait, baik sektoral maupun lokal.
g.      Berfungsi sebagai dokumen dasar untuk mengetahui anggaran pembangunan tahunan daerah di daerah terkait.
h.      Mengedepankan perencanaan sebagaui suatu dialog.

Dengan demikian dapat dilihat bahwa yang menjadi konsep dasar dari pendekatan ini antara lain :
a.      Merupakan pendekatan pembangunan endogen. Konsep ini sangat menekankan perlunya orientasi pembangunan yang didasarkan pada penguatan potensi-potensi atau sumber daya daerah yang ada.
b.      Menekankan perlunya partisipasi dan dialog. Perencanaan pembanguan yang dilakukan dengan cara melibatkan partisipasi aktif dari masyarakat daerah yang diiringi dengan proses dialog yang efektif akan dapat mendorong tercapainya hasil-hasil pembangunan yang diharapkan. Kombinasi pendekata Top Down dan Bottom Up menjadi landasan penting dalam konsep ini.
c.       Proses desentralisasi pembangunan. Dengan memberikan keleluasaan yang tinggi pada daerah untuk merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi pembangunan di daerahnya, proses ini dipandang lebih efektif, dibandingkan dengan cara-cara pengaturan dari pusat yang cenderung belum tentu sesuai dengan kebutuhan daerah.
d.      Optimalisasi pemberdayaan daerah. Pendekatan ini amat menekankan pemberdayaan daerah, yang pada gilirannya tentu akan menuntut komitmen penuh dari daerah.


[1] Bernd Jenssen dan Christoph Kohl Meyer, “Ciri-ciri Perencanaan Pembangunan Wilayah Yang Berorientasi Pada Kegiatan”, Dalam Perencanaan Sebagai Suatu Dialog, LAN DSE, 1995, Hal : 15
[2] Ibid Hal : 16

Belum ada Komentar untuk "PENDEKATAN DALAM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH "

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel