PENDEKATAN DALAM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH
Selasa, 21 Oktober 2014
Tambah Komentar
PENDEKATAN DALAM
PERENCANAAN
PEMBANGUNAN DAERAH
Pada
Bab 2 telah diuraikan pendekatan dalam pembangunan, berikut ini akan diuraikan
mengenai pendekatan pembangunan yang secara khusus dikaitkan dengan masalah
Perencanaan Pembangunan Daerah. Bahkan dapat pula
dikatakan sebagai pendekatan Perencanaan Pembangunan Daerah :
- Pendekatan Kutub Pertumbuhan (Growth Pole Approach)
Perencanaan pembangunan
daerah yang ditawarkan oleh pendekatan ini merupakan konsep yang memfokuskan
pada pembentukan pusat-pusat pertumbuhan (urban
centers) dalam suatu wilayah pembangunan. Dalam strateginya, investasi dikonsentrasikan dari
beberapa urban centers yang menunjukkan potensi ekonomi.
Para
pendukung pendekatan ini yakin bahwa luasnya perkembangan ekonomi di urban
centers yang terbesar akan mampu mengembalikan nilai investasi yang tinggi,
sehingga proses pembangunan berdasarkan pendekatan ini, akan memiliki dua
mekanisme dasar, yaitu efek sebar dan efek balik. Menurut Jenssen dan
Kohl-Meyer[1], efek sebar terjadi
sewaktu growth-pole wilayah produksi pertanian dan pengolahannya di pedalaman
(hinterland, pedesaan) dan pada urban centers yang lebih rendah dilakukan
dengan memproses output dari growth-pole atau dengan mendirikan growth-pole
dengan input yang perlu. Sedangkan efek balik terjadi sewaktu potensi
pembangunan yang terpusat pada growth-pole mengeringkan sumber-sumber ke
pedalaman (hinterland, pedesaan).
Dalam
kenyataannya pendekatan ini tidak bisa dipertahankan, karena justru menimbulkan
pertumbuhan ekonomi yang tidak seimbang. Pertumbuhan hanya bisa terjadi di pusat-pusat pertumbuhan saja (kota-kota).
Sedangkan efek sebar yang diharapkan dapat memberikan rangsangan positif
terhadap pertumbuhan ekonomi pedesaan tidak dapat tercapai. Konsentrasi spasial
investasi hanya menyebabkan investasi terpusat di daerah-daerah tertentu saja.
Menurut
Jenssen dan Kohl-Meyer[2], yang menyebabkan
“jeleknya” reputasi growth-pole ini ada beberapa :
a.
Teknologi
modern sektor industri hanya memberikan sejumlah kecil kesempatan kerja dengan
daya beli masyarakat yang rendah.
b.
Adanya
kelompok aktivitas modern yang menghasilkan aliran modal, bahan mentah, dan
tenaga kerja terampil di pedesaan.
c.
Pola
permukiman yang tidak seimbang dan persyaratan dagang yang tidak menguntungkan
mengakibatkan efek sebar negatif, serta rendahnya tingkat efisiensi ekonomi
sektor modern dalam kompetisi dunia .
Pendekatan
ini telah diaplikasikan pada masa pemerintahan orde baru. Pendekatan ini cukup
efektif untuk meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi dalam waktu relatif cepat.
Laju pertumbuhan yang dicapai pada waktu itu cukup tinggi, berkisar antara
7%-8% per tahun, terutama dalam dekade 80-an sampai awal 90-an. Tingginya angka
pertumbuhan tersebut menjadikan Indonesia sebagai negara “tujuan” investor yang
ingin menanamkan modalnya di Indonesia.
Namun
kelemahan dari penerapan pendekatan ini kurang disadari oleh pemerintah,
termasuk para perencana pembangunannya. Kelemahan yang paling nyata adalah
kurangnya sebaran pemerataan pembangunan yang proporsional, sehingga
pembangunan cenderung terfokus pada sentral-sentral wilayah tertentu saja,
dalam hal ini pulau Jawa dan Bali. Wilayah lain belum tersentuh secara optimal,
padahal potensi sumber daya alam yang dimilikinya sangat berlimpah. Misalnya
Kalimantan, Sumatera, Papua, dan sebagainya.
- Pendekatan Kebutuhan Pokok Terdesentralisasi
Pendekatan ini menekankan
kebutuhan pokok sebagai suatu prasyarat untuk modernisasi dan pembangunan.
Dalam proses pembangunan, keterkaitan daerah dan pusat harus dikurangi dan
sebaliknya harus diciptakan kekuatan-kekuatan penyeimbang di lingkungan
masyarakat (terutama pedesaan). Konsep ini menghendaki adanya proses pertumbuhan
yang dimulai pada tingkat hierarki yang paling rendah sehingga dapat
menumbuhkan penyebaran pembangunan yang merata secara geografis meskipun dengan
kecepatan yang lebih lambat.
Mengacu pada pendapat
Jenssen dan Kohl-Meyer, ciri khas dari pendekatan kebutuhan pokok
terdesentralisasi adalah :
a.Adanya
penggunaan teknologi padat karya dan tidak padat modal.
Penggunaan teknologi seperti ini biasanya
banyak dikembangkan di negara-negara berkembang, baik yang ada di benua Asia maupun Afrika, dan Amerika Latin. Keadaan ini lebih
disebabkan karena masih terbatasnya negara-negara di kawasan tersebut, baik
menyangkut kualitas SDM maupun kemampuan finansial bagi sumber pendanaannya,
sementara di lain pihak jumlah SDM yang tersedia relatif tinggi.
b.Penurunan
standar.
Karena sifat masyarakat yang pada umumnya
masih sederhana dengan kualitasnya yang masih rendah dan kemampuan finansial
yang terbatas, standar produksinya pun relatif lebih rendah dibandingkan dengan
negara-negara maju. Namun secara bertahap kualitas produksi akan ditingkatkan
sehingga pada saatnya akan diharapkan bisa memenuhi standar internasional.
c. Pengaktifan
sumber daya wilayah
Pembangunan diarahkan pada penggalian dan
pemanfataan sumber daya yang ada (sumber daya lokal) sebagai bahan dasar produksi,
dalam kaitannya dengan upaya pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat.
Negara-negara yang memiliki ciri ini biasanya memfokuskan pembangunannya pada
sektor-sektor pertanian, industri kecil dengan home industrinya dengan tenaga
dan fasilitas lokal.
d. Perlindungan
pasar domestik
Mekanisme pasar bebas seperti yang banyak
dianut oleh negara-negara maju tidak berlaku dalam pendekatan ini. Karena
orientasinya adalah untuk pemenuhan kebutuhan dasar masyarakatnya, perlindungan
terhadap pasar domestik masih diberikan oleh pemerintah agar ketabilan harga,
khususnya harga kebutuhan pokok, selalu terjaga dalam daya jangkau masyarakat
secara umum.
- Pendekatan Perencanaan Pembangunan Yang berorientasi pada tujuan
Pendekatan
ini merupakan pengembangan dari konsep-konsep sebelumnya yaitu konsep
modernisasi. Konsep yang ditawarkan adalah pembangunan endogen dengan potensi
dominan yang dimiliki oleh daerah sebagai stimulus pembangunan utamanya. Konsep
ini tidak secara ekstrim menentang proses industrialisasi atau modernisasi,
tetapi lebih menekankan penguatan-penguatan potensi daerah sebagai pra kondisi
bagi pertumbuhan daerah dan modernisasi. Termasuk dalam hal ini adalah
kemampuan masyarakat daerah dalam memenuhi kebutuhan dasarnya. Partisipasi
dikembangkan sebagi suatu strategi untuk menciptakan kesempatan baru dan untuk
mengeksplorasi arah pembangunan yang baru. Sebagai konsekuensinya, masyarakat
akan berperan sebai subjek pembangunan yang aktif, dan bukan sekedar sebagi
objek yang pasif.
Prinsip
dari pendekatan ini dapat dilihat dari apa yang dikemukakan oleh Jenssen dan
Meyer bahwa perencanaan pembangunan daerah harus :
a.
Menekankan
pembangunan daerah endogen berdasarkan sumber daya setempat untuk pengembangan
industri skala kecil, pertanian, perdagangan, dan kerajinan.
b.
Menggerakkan
investor swasta dan ilmu pengetahuan untuk pembangunan.
c.
Menggalakkan
pengguanaan teknologi tepat guna untuk memenuhi kebutuhan dasar yang merupakan
prasyarat bagi modernisasi pada tingkat-tingkat proses pembangunan selanjutnya.
d.
Dengan
dialog menggalang partisipasi tingkat lokal sebagai input yang penting bagi
rencana pengembangan daerah dan programnya.
e.
Mendukung
pengembangan pemukiman ukuran kecil dan menengah dengan tujuan meningkatkan
kondisi setempat dan akses petani pada fasilitas infrastruktur sosial dan
produktif.
f.
Menyiapkan
kerangka kerja menyeluruh sebagai panduan utama untuk mengintegrasikan dan
mengkoordinasikan aktivitas badan-badan terkait, baik sektoral maupun lokal.
g.
Berfungsi
sebagai dokumen dasar untuk mengetahui anggaran pembangunan tahunan daerah di
daerah terkait.
h.
Mengedepankan
perencanaan sebagaui suatu dialog.
Dengan
demikian dapat dilihat bahwa yang menjadi konsep dasar dari pendekatan ini
antara lain :
a.
Merupakan
pendekatan pembangunan endogen. Konsep ini sangat menekankan perlunya orientasi
pembangunan yang didasarkan pada penguatan potensi-potensi atau sumber daya
daerah yang ada.
b.
Menekankan
perlunya partisipasi dan dialog. Perencanaan pembanguan yang dilakukan dengan
cara melibatkan partisipasi aktif dari masyarakat daerah yang diiringi dengan
proses dialog yang efektif akan dapat mendorong tercapainya hasil-hasil
pembangunan yang diharapkan. Kombinasi pendekata Top Down dan Bottom Up menjadi
landasan penting dalam konsep ini.
c.
Proses
desentralisasi pembangunan. Dengan memberikan keleluasaan yang tinggi pada
daerah untuk merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi pembangunan di
daerahnya, proses ini dipandang lebih efektif, dibandingkan dengan cara-cara
pengaturan dari pusat yang cenderung belum tentu sesuai dengan kebutuhan
daerah.
d.
Optimalisasi
pemberdayaan daerah. Pendekatan ini amat menekankan pemberdayaan daerah, yang
pada gilirannya tentu akan menuntut komitmen penuh dari daerah.
Belum ada Komentar untuk "PENDEKATAN DALAM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH "
Posting Komentar