Pendekatan Dalam Pembangunan
Selasa, 21 Oktober 2014
Tambah Komentar
Pendekatan
Dalam Pembangunan
Bintoro dan Moestopadidjaja
menyatakan bahwa pembangunan bagi negara-negara yang baru mencapai
kemerdekaannya setelah PD II terarah pada usaha untuk melepaskan diri dari
ikatan-ikatan tradisional dan hambatan-hambatan transisional menuju tingkat
stabilitas dan kemajuan tertentu.[1] Terkait dengan masalah tersebut, dikemukakannya pula
bahwa pendekatan pembangunan yang seyogianya ditempuh negara-negara tersebut
adalah Pembangunan Bangsa (Sociocultural Development) dan Pembangunan Ekonomi (EconomicDevelopment).
1)
Pendekatan Pembangunan
Bangsa (Sociocultural Development Approach)
Pendekatan pembangunan
bangsa tidak hanya menekankan pembangunan fisik saja, melainkan juga mental dan
kultur masyarakatnya. Pendekatan ini telah memberikan wacana baru terhadap
studi pembangunan di samping pembangunan disamping pendekatan-pendekatan
pembangunan ekonomi.
Pendekatan pembangunan
bangsa terus mengalami perkembangan yang sangat penting, baik dari segi
pengertian maupun ruang lingkupnya. Dari segi pengertian, terkandung suatu
makna yang sangat dalam dan komprehensif, sehingga banyak dijadikan sebagai
konsep pembangunan di berbagai negara, seperti Inggris, Amerika, Jerman, bahkan
Indonesia.
Sedangkan dari segi ruang lingkup, tampak adanya dua permasalahan yang menurut
Bintoro dan Mustopadidjaja meliputi: pertama, mengenai pembangunan politik (political development), dan kedua,
mengenai pembangunan sosial budaya (socio-cultural
development).[2]
a.
Pembangunan
Politik (Political Development)
Pembangunan politik dapat dikatakan
sebagi suatu proses pembinaan bangsa (nation
building). Hal ini akan dimengerti dengan mengacu pada pendapat Esman
(1971) yang memberikan pengertian tentang pembinaan bangsa. Dia menyatakan
bahwa, “usaha sistematis dan terpadu dalam pembangunan masyarakat politik,
sebenarnya merupakan bagian dari pembangunan politik”.[3] Sementara W. Pye (1966) menganggap bahwa
pembangunan politik adalah pembinaan bangsa. Dan Esman mengangap bahwa
pembinaan bangsa tersebut merupakan bagian dari pembangunan politik. Ada dua hal yang dapat
ditarik dari pembangunan tersebut, yaitu: pertama, apapun perbedaannya,
pembangunan politik dan pembinaan bangsa tidak dapat dipisahkan. Ini berarti
bahwa keduanya harus dijalankan secara bersama-sama dalam kurun waktu yang sama
pula (simultan). Kedua, bahwa pembangunan politik dan pembinaan bangsa
merupakan dua hal penting yang tidak bisa ditinggalkan dalam konteks
pembangunan secara umum.
Pembangunan politik
sebagai suatu proses pembinaan bangsa tidak hanya memilki sasaran-sasaran untuk
melakukan perubahan-perubahan institusional dalam sistem pemerintahan dan
politik, tetapi juga dalam sistem kelembagaan sosial dan ekonomi suatu bangsa,
yang menurut Bintoro dan Mustopadidjaja lebih dikenal sebgai aspek pembangunan
sosial budaya .
Dalam pendekatan
pembangunan politik ini ada tiga aspek penting yang perlu diperhatikan,
terutama dalam kaitannya dengan masalah pembinaan sistem kelembagaan yang oleh
Esman dikemukakan sebagai berikut:
1. Adanya
elit penguasa yang mendorong dan mengarahkan perubahan (modernisasi);
2.
Adanya
doktrin yang mendasari norma-norma, prioritas, peralatan dan strategi elit penguasa tersebut;
3.
Adanya
seperangkat peralatan yang menjamin komunikasi dua arah dan yang mampu
menerjemehkan komitmen-komitmen politik kedalam suatu program operasional.
b. Pembangunan
Sosial Budaya (Socio Cultural Development)
Bukti
empirik yang terjadi di beberapa negara dalam proses pembangunan, seperti
Amerika Serikat, Inggris, Rusia, dan sebagainya, menunjukkan bahwa masalah
politik, ekonomi, sosial budaya selalu menjadi faktor yang saling mempengaruhi.
Pembangunan
yang hanya menekankan pada salah satu faktor saja dipastikan tidak akan dapat
mempertahankan kontinuitas dan stabilitas pelaksanaannya, bahkan bisa mengalami
kegagalan yang lebih parah, karena kurang memiliki relevansi yang kuat terhadap
hakikat pembangunan itu sendiri.
Dibeberapa
negara berkembang, pembangunan cenderung memfokuskan pada salah satu bidang
saja (misalnya: ekonomi). Dengan alasan utama keterbelakangan ekonomi,
pembangunan dalam bidang ini diharapkan dapat mendorong perubahan-perubahan dan
pembaharuan-pembaharuan lain dalam kehidupan masyarakat. Akan tetapi hal itu
menjadi sulit tercapai jika bidang-bidang sosial lainnya diabaikan. Contoh
kasus yang terbaru dalam pendekatan pembangunan seperti itu adalah pembangunan
di Indonesia dimasa Orde Baru.
Mengingat
itu semua perlu dilakukan pembangunan sosial dan budaya dalam arti yang lebih
luas, dimana pembangunan diarahkan untuk mewujudkan perubahan-perubahan dan
pembaharuan-pembaharuan dalam kehidupan masyarakat secara menyeluruh, meliputi
aspek-aspek yang terkait di dalamnya, dan tidak dilaksanakaan secara parsial,
melainkan dilaksanakan secara sinergis dan simultan dalam suatu proses
pembangunan. Konsep itu sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Bintoro,
yang menyatakan “…perhatian terhadap pembagunan ekonomi saja sudah di akui
tidak memberikan jaminan suatu proses pembangunan nasional yang stabil dan
kontinue, apabila diabaikan berbagai segi di bidang sosial lainnya.[4]
2)
Pendekatan Pembangunan
Ekonomi (Economic Development Approach)
Pendekatan pembangunan ekonomi dapat dibagi
dalam tiga aliran yang dikenal dengan aliran klasik, Keynesian, dan neo klasik.
a.
Aliran
Klasik.
Tokoh sentral yang sangat
terkenal dalam aliran klasik, adalah Adam Smith, yang memiliki dasar ajaran
individualisme dengan semboyan, “laissez
faire, laissez passez, et le monde va de lui me me”, yang secara harfiah
dapat diartikan “biarkan melakukan, biarkan lewat, dan dunia akan berjalan
sendiri”. Dalam kaitannya dengan masalah pembangunan ekonomi, semboyan tersebut
dapat diartikan “biarkanlah masyarakat mengatur urusan perekonomiannya sendiri
secara alamiah, dan pemerintah tidak perlu campur tangan di dalamnya”.
Adam Smith sangat percaya
bahwa tanpa campur tangan pemerintah akan terbentuk keseimbangan dalam sistem
perekonomian masyarakat. Harga
yang ditentukan oleh mekanisme pasar menurutnya akan mempengaruhi produksi,
alokasi, pendapatan dan distribusi serta konsumsi. Dengan demikian, harga yang
terbentuk dipasar akan mengatur rencana produksi, pengalokasian, serta
pendistribusiannya secara ilmiah, sehingga secara ilmiah pula akan berdampak
terhadap pertumbuhan ekonomi. Dengan
keyakinan mengenai adanya faktor alamiah yang tidak tampak atau invisible hand tersebut, ia berpendapat
bahwa akan terbentuk natural order
dan natural price dalam perekonomian.
Ajaran
Adam Smith ini dalam prakteknya banyak menimbulkan kepincangan sosial, yang
memunculkan jurang pemisah yang sangat dalam diantara pelaku ekonomi dan
masyarakat secara umum. Semangat individualisme yang kental dalam ajarannya
tersebut telah menyebabkan munculnya golongan-golongan ekonomi yang sangat
“timpang’, dimana yang kaya semakin kaya, sedangkan yang miskin semakin miskin,
karena “siapa yang kuat dialah yang menang”.
Ajaran
Smith mulai terbantah dan ditinggalkan seiring dengan terjadinya kelesuan
ekonomi dunia sekitar tahun 1929, ketika terjadi Great Depression yang melanda perekonomian dunia, khususnya di
Eropa barat dan dunia. Selanjutnya, aliran lain yang masih tergolong aliran
klasik adalah ajaran ekonomi komunitas atau yang lebih dikenal dengan Marxisme.
Marxisme sangat dipengaruhi oleh sosialisme, sehingga beberapa kalangan
mengidentikkan kedua ajaran tersebut.
Tokoh
ekonomi klasik lainnya yang dikenal dalam sejarah pemikiran pembangunan ekonomi
antara lain adalah David Ricardo (1917), Robert Malthus (1798), dan Jhon Stuart
Mill. Bagi Smith, penduduk secara pasti merupakan tenaga produksi yang akan
melahirkan perluasan pasar dan perkembangan ekonomi. Dengan meluasnya pasar,
akan terbuka inovasi-inovasi baru yang pada gilirannya akan mendorong perluasan
pembagian kerja dan mendorong pertumbuhan ekonomi.[5]
Sejalan
dengan Smith adalah pandangan Mill yang menyatakan bahwa “dengan spesialisasi
dan pembagian kerja, keterampilan tenaga kerja dan produktivitas akan
meningkat; dengan demikian ekonomi akan tumbuh” [6] . Sedangkan Ricardo dan
Malthus bahwa dalam jangka panjang perekonomian akan mengalami stationary state (tidak berkembang),
karena perkembangan penduduk akan melebihi kecepatan pembangunan ekonomi.
b.
Aliran
Keynesian
Aliran Keynesian membantah
ajaran Smith, karena menurutnya campur tangan pemerintah secara tidak langsung
dalam sistem perekonomian masyarakat sangat diperlukan. Aliran Keynesian ini dapat pula dikatakan sebagai
antitesa dari ajaran Smith dan Marx.
Pandangan
Keynes (1936) lebih memfokuskan perhatiannya pada analisis ekonomi jangka
pendek, dimana pada saat itu dunia sedang mengalami depresi dan pengangguran.
Menurut Keynes[7]
dalam General theory-nya, malapetaka yang terjadi di Amerika dan dunia barat
pada umumnya disebabkan oleh kurangnya penanaman modal dari para pengusaha.
Maka untuk mengatasinya “pemerintah harus turun tangan”.
Dampak
yang ditimbulkan dari pandangan Keynes ini antara lain adalah berkembangnya
model pertumbuhan yang dikembangkan oleh Harrod (1948) dan Domar (1946) yang
pada intinya menekankan pada pentingnya aspek permintaan dalam mendorong
pertumbuhan jangka panjang. Menurut mereka, pertumbuhan ekonomi akan ditentukan
oleh dua unsur pokok, yaitu tingkat tabungan atau investasi dan produktivitas
kapital (Capital Output Ratio).
Menurut
teori ini, masyarakat dakam suatu sistem perekonomian dituntut untuk memiliki
tabungan sebagai sumber investasi. Hipotesa yang dianutnya adalah bahwa semakin
besar tabungan dan investasi, semakin tinggi pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya,
makin rendah produktivitas kapital atau semakin tinggi capital output ratio,
makin rendah pertumbuhan ekonomi.[8]
Bila
Harrod-Domar lebih menekankan pada pentingnya modal, Arthur Lewis (1994) dengan
model Surplus of Labor lebih
menekankan pentingnya peranan penduduk sebagai tenaga kerja. Menurutnya,
pengusaha dapat meningkatkan produksinya dengan mempekerjakan tenaga kerja yang
banyak tanpa harus meningkatkan upahnya.
c.
Aliran
Neo-Klasik
Menurut kaum neo-klasik,
laju pertumbuhan ekonomi ditentukan oleh pertambahan dalam penawaran
faktor-faktor produksi dan tingkat kemajuan teknologi. Dalam teori neo-klasik,
teknologi dianggap sebagai faktor eksogen yang tersedia untuk dimanfaatkan oleh
negara didunia.
Dalam perkembangan teori
pertumbuhan ekonomi selanjutnya, ada suatu pemikiran yang menyatakan peran
perdagangan sebagai faktor penting di luar modal dan tenaga kerja. Selain
factor-faktor produksi, seperti modal, tenaga kerja, dan teknologi yang
digunakan, perdagangan dipandang sebagai faktor yang dapat mempengaruhi
pertumbuhan suatu negara. Tokoh yang mengemukakan hal ini adalah Nurkse (1953)
yang menunjukkan bahwa perdagangan merupakan mesin pertumbuhan selama abad
ke-19 bagi negara-negara yang sekarang termasuk kelompok negara maju, seperti
AS, Kanada, Australia, dan Selandia Baru.
3)
Pendekatan-Pendekatan lain
Yang dianggap paling berperan dalam teori
ini adalah Rostow (1960) dan Chenery-Syrquin (1975). Menurut Rostow
transformasi dari negara terbelakang menjadi negara maju dapat terjadi setaelah
melalui urutan tahapan pembangunan. Lima
tahapan yang harus dilalui oleh suatu negara dalam proses pembangunannya
adalah:
a.
Masyarakat tradisional (traditional society)
b.
Masa menjelang pertumbuhan
(pre-condition of growth)
c.
Tinggal landas (take off)
d.
Pengendalian kelahiran (the darive of maturity)
e. Era
masyarakat konsumtif (the age of high
mass-consumption)
Sedangkan dalam pandangan
Chenery-Syrquin (1975) yang merupakan perkembangan pemikiran dari Collin Clark
Kuznets, perkembangan perekonomian akan mengalami transformasi (konsumsi,
produksi, dan lapangan kerja) dari perekonomian yang didominasi oleh sektor
pertanian menjadi didominasi oleh sektor industri dan jasa.[9]
Selanjutnya pendekatan
yang dapat dikemukakan disini adalah dalam hubungannya dengan masalah
pembangunan secara singkat dapat dijelaskan sebagai berikut :
a. Pendekatan
pembangunan sosial
Pendekatan pembangunan
sosial ini bertujuan untuk menyelenggarakan pembangunan yang lebih berkeadilan.
Metode umum yang digunakan dalam menilai pengaruh pembangunan terhadap
kesejahteraan masyarakat adalah dengan mempelajari distribusi pendapatan dan
tingkat kemiskinan (poverty) di suatu
negara. Analisis mengenai tingkat kemiskinan didasarkan pada konsep kemiskinan
absolut (absolute poverty) atau lebih
dikenal dengan istilah di bawah garis kemiskinan. Ukuran yang digunakan adalah
pendapatan per kapita per tahun.
b. Pendekatan
pemerataan dengan pertumbuhan (Redistribution With Growth/RWG)
Pendekatan ini
dikembangkan berdasarkan studi yang dikembangkan oleh bank dunia pada tahun
1974. Ide dasarnya adalah pemerintah harus mempengaruhi pola pembangunan
sedemikian rupa, sehingga produsen yang berpendapatan rendah (yang dibentuk
negara, berlokasi di pedesaan, dan produsen kecil di perkotaaan) akan
mendapatkan kesempatan untuk meningkatakan pendapatan dan secara simultan
menerima sumber ekonomi yang diperlukan.
c. Pendekatan
kebutuhan dasar manusia (Basic Human Needs/BHN)
Pendekatan
BHN ini secara spesifik menekankan pemenuhan kebutuhan dasar manusia melalui
proses pembangunan. Walaupun RWG dan BHN memiliki tujuan yang sama, yaitu,
mencapai pembangunan yang berkeadilan dengan fokus pada masalah masyarakat
kecil, dalam menentukan langkah kebijaksanaan terdapat perbedaan. RWG
menekankan peningkatan produktivitas dan daya beli masyarakat kecil, sedangkan
BHN menekankan penyediaan public services
disertai jaminan bagi masyarakat miskin untuk memperoleh pelayanan tersebut.
Bintoro
dan Mustopadidjaja[10] mengemukakan bahwa di
dalam konteks pembangunan negara-negara berkembang, pemenuhan kebutuhan dasar
tidak mungkin dapat dicapai tanpa mengusahakan kecepatan dalam pertumbuhan
ekonomi, perubahan pola pertumbuhan dan kesempatan untuk memanfaatkan sumber-sumber
produktif bagi golongan berpenghasilan rendah.
Menurut Goulet[11] (1977)
proses pembangunan harus diarahkan untuk :
1.
Menciptakan “solidaritas
baru” yang mendorong pembangunan yang berakar dari bawah (grass roots oriented).
2. Memelihara
keberagaman budaya dan lingkungan.
3. Menjunjung
tinggi martabat serta kebebasan manusia dan masyarakat.
[1] Bintoro Tjokroamidjojo dan A.R. Moestopadidjaja, Teori dan Strategi Pembangunan Nasional, Gunung Agung, Jakarta,
1984, Hal : 23
[3] J. Milton Esman, “CAG and The Study
of Public Administration”, dalam Frontier
of Development Administration, F.W.Riggs (ed), Duke Universuty Press,
Durham.
[4] Bintoro Tjokroamidjojo, Pengantar
Administrasi Pembangunan, LP3ES, Jakarta, 1988, Hal : 26
[5] Ginandjar Kartasasmita, Administrasi
Pembangunan: Perkembangan Pemikiran dan Praktiknya di Indonesia, LP3ES,
Jakarta, 1997, Hal : 10
[6] Bintoro Tjokroamidjojo dan A.R. Moestopadidjaja, Teori dan Strategi Pembangunan Nasional, Gunung Agung, Jakarta,
1984, Hal : 33.
[8] Ginandjar Kartasasmita, Administrasi
Pembangunan: Perkembangan Pemikiran dan Praktiknya di Indonesia, LP3ES,
Jakarta, 1997, Hal : 11
[9] Ibid, Hal : 13
[10] Bintoro Tjokroamidjojo dan A.R. Moestopadidjaja, Teori dan Strategi Pembangunan Nasional, Gunung Agung, Jakarta,
1984, Hal : 50
[11] Dennis Goulet, The Cruel Choice: New
Concept in The Theory of Development, NewYork, Atheneum, 1977, Hal : 20
Belum ada Komentar untuk "Pendekatan Dalam Pembangunan"
Posting Komentar