Pendekatan Dalam Pembangunan



Pendekatan Dalam Pembangunan
Bintoro dan Moestopadidjaja menyatakan bahwa pembangunan bagi negara-negara yang baru mencapai kemerdekaannya setelah PD II terarah pada usaha untuk melepaskan diri dari ikatan-ikatan tradisional dan hambatan-hambatan transisional menuju tingkat stabilitas dan kemajuan tertentu.[1] Terkait dengan masalah tersebut, dikemukakannya pula bahwa pendekatan pembangunan yang seyogianya ditempuh negara-negara tersebut adalah Pembangunan Bangsa (Sociocultural Development) dan  Pembangunan Ekonomi (EconomicDevelopment).

1)     Pendekatan Pembangunan Bangsa (Sociocultural Development Approach)
Pendekatan pembangunan bangsa tidak hanya menekankan pembangunan fisik saja, melainkan juga mental dan kultur masyarakatnya. Pendekatan ini telah memberikan wacana baru terhadap studi pembangunan di samping pembangunan disamping pendekatan-pendekatan pembangunan ekonomi.

Pendekatan pembangunan bangsa terus mengalami perkembangan yang sangat penting, baik dari segi pengertian maupun ruang lingkupnya. Dari segi pengertian, terkandung suatu makna yang sangat dalam dan komprehensif, sehingga banyak dijadikan sebagai konsep pembangunan di berbagai negara, seperti Inggris, Amerika, Jerman, bahkan Indonesia. Sedangkan dari segi ruang lingkup, tampak adanya dua permasalahan yang menurut Bintoro dan Mustopadidjaja meliputi: pertama, mengenai pembangunan politik (political development), dan kedua, mengenai pembangunan sosial budaya (socio-cultural development).[2]
a.     Pembangunan Politik (Political Development)
Pembangunan politik dapat dikatakan sebagi suatu proses pembinaan bangsa (nation building). Hal ini akan dimengerti dengan mengacu pada pendapat Esman (1971) yang memberikan pengertian tentang pembinaan bangsa. Dia menyatakan bahwa, “usaha sistematis dan terpadu dalam pembangunan masyarakat politik, sebenarnya merupakan bagian dari pembangunan politik”.[3]  Sementara W. Pye (1966) menganggap bahwa pembangunan politik adalah pembinaan bangsa. Dan Esman mengangap bahwa pembinaan bangsa tersebut merupakan bagian dari pembangunan politik. Ada dua hal yang dapat ditarik dari pembangunan tersebut, yaitu: pertama, apapun perbedaannya, pembangunan politik dan pembinaan bangsa tidak dapat dipisahkan. Ini berarti bahwa keduanya harus dijalankan secara bersama-sama dalam kurun waktu yang sama pula (simultan). Kedua, bahwa pembangunan politik dan pembinaan bangsa merupakan dua hal penting yang tidak bisa ditinggalkan dalam konteks pembangunan secara umum. 

Pembangunan politik sebagai suatu proses pembinaan bangsa tidak hanya memilki sasaran-sasaran untuk melakukan perubahan-perubahan institusional dalam sistem pemerintahan dan politik, tetapi juga dalam sistem kelembagaan sosial dan ekonomi suatu bangsa, yang menurut Bintoro dan Mustopadidjaja lebih dikenal sebgai aspek pembangunan sosial budaya .

Dalam pendekatan pembangunan politik ini ada tiga aspek penting yang perlu diperhatikan, terutama dalam kaitannya dengan masalah pembinaan sistem kelembagaan yang oleh Esman dikemukakan sebagai berikut:
1.      Adanya elit penguasa yang mendorong dan mengarahkan perubahan (modernisasi);
2.      Adanya doktrin yang mendasari norma-norma, prioritas, peralatan dan strategi  elit penguasa tersebut;
3.      Adanya seperangkat peralatan yang menjamin komunikasi dua arah dan yang mampu menerjemehkan komitmen-komitmen politik kedalam suatu program operasional.

b.     Pembangunan Sosial Budaya (Socio Cultural Development)
Bukti empirik yang terjadi di beberapa negara dalam proses pembangunan, seperti Amerika Serikat, Inggris, Rusia, dan sebagainya, menunjukkan bahwa masalah politik, ekonomi, sosial budaya selalu menjadi faktor yang saling mempengaruhi.
Pembangunan yang hanya menekankan pada salah satu faktor saja dipastikan tidak akan dapat mempertahankan kontinuitas dan stabilitas pelaksanaannya, bahkan bisa mengalami kegagalan yang lebih parah, karena kurang memiliki relevansi yang kuat terhadap hakikat pembangunan itu sendiri.

Dibeberapa negara berkembang, pembangunan cenderung memfokuskan pada salah satu bidang saja (misalnya: ekonomi). Dengan alasan utama keterbelakangan ekonomi, pembangunan dalam bidang ini diharapkan dapat mendorong perubahan-perubahan dan pembaharuan-pembaharuan lain dalam kehidupan masyarakat. Akan tetapi hal itu menjadi sulit tercapai jika bidang-bidang sosial lainnya diabaikan. Contoh kasus yang terbaru dalam pendekatan pembangunan seperti itu adalah pembangunan di Indonesia dimasa Orde Baru.

Mengingat itu semua perlu dilakukan pembangunan sosial dan budaya dalam arti yang lebih luas, dimana pembangunan diarahkan untuk mewujudkan perubahan-perubahan dan pembaharuan-pembaharuan dalam kehidupan masyarakat secara menyeluruh, meliputi aspek-aspek yang terkait di dalamnya, dan tidak dilaksanakaan secara parsial, melainkan dilaksanakan secara sinergis dan simultan dalam suatu proses pembangunan. Konsep itu sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Bintoro, yang menyatakan “…perhatian terhadap pembagunan ekonomi saja sudah di akui tidak memberikan jaminan suatu proses pembangunan nasional yang stabil dan kontinue, apabila diabaikan berbagai segi di bidang sosial lainnya.[4]




2)     Pendekatan Pembangunan Ekonomi (Economic Development Approach)
Pendekatan pembangunan ekonomi dapat dibagi dalam tiga aliran yang dikenal dengan aliran klasik, Keynesian, dan neo klasik.
a.        Aliran Klasik.
Tokoh sentral yang sangat terkenal dalam aliran klasik, adalah Adam Smith, yang memiliki dasar ajaran individualisme dengan semboyan, “laissez faire, laissez passez, et le monde va de lui me me”, yang secara harfiah dapat diartikan “biarkan melakukan, biarkan lewat, dan dunia akan berjalan sendiri”. Dalam kaitannya dengan masalah pembangunan ekonomi, semboyan tersebut dapat diartikan “biarkanlah masyarakat mengatur urusan perekonomiannya sendiri secara alamiah, dan pemerintah tidak perlu campur tangan di dalamnya”.

Adam Smith sangat percaya bahwa tanpa campur tangan pemerintah akan terbentuk keseimbangan dalam sistem perekonomian masyarakat. Harga yang ditentukan oleh mekanisme pasar menurutnya akan mempengaruhi produksi, alokasi, pendapatan dan distribusi serta konsumsi. Dengan demikian, harga yang terbentuk dipasar akan mengatur rencana produksi, pengalokasian, serta pendistribusiannya secara ilmiah, sehingga secara ilmiah pula akan berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi.  Dengan keyakinan mengenai adanya faktor alamiah yang tidak tampak atau invisible hand tersebut, ia berpendapat bahwa akan terbentuk natural order dan natural price dalam perekonomian.

Ajaran Adam Smith ini dalam prakteknya banyak menimbulkan kepincangan sosial, yang memunculkan jurang pemisah yang sangat dalam diantara pelaku ekonomi dan masyarakat secara umum. Semangat individualisme yang kental dalam ajarannya tersebut telah menyebabkan munculnya golongan-golongan ekonomi yang sangat “timpang’, dimana yang kaya semakin kaya, sedangkan yang miskin semakin miskin, karena “siapa yang kuat dialah yang menang”.

Ajaran Smith mulai terbantah dan ditinggalkan seiring dengan terjadinya kelesuan ekonomi dunia sekitar tahun 1929, ketika terjadi Great Depression yang melanda perekonomian dunia, khususnya di Eropa barat dan dunia. Selanjutnya, aliran lain yang masih tergolong aliran klasik adalah ajaran ekonomi komunitas atau yang lebih dikenal dengan Marxisme. Marxisme sangat dipengaruhi oleh sosialisme, sehingga beberapa kalangan mengidentikkan kedua ajaran tersebut.

Tokoh ekonomi klasik lainnya yang dikenal dalam sejarah pemikiran pembangunan ekonomi antara lain adalah David Ricardo (1917), Robert Malthus (1798), dan Jhon Stuart Mill. Bagi Smith, penduduk secara pasti merupakan tenaga produksi yang akan melahirkan perluasan pasar dan perkembangan ekonomi. Dengan meluasnya pasar, akan terbuka inovasi-inovasi baru yang pada gilirannya akan mendorong perluasan pembagian kerja dan mendorong pertumbuhan ekonomi.[5]

Sejalan dengan Smith adalah pandangan Mill yang menyatakan bahwa “dengan spesialisasi dan pembagian kerja, keterampilan tenaga kerja dan produktivitas akan meningkat; dengan demikian ekonomi akan tumbuh” [6] . Sedangkan Ricardo dan Malthus bahwa dalam jangka panjang perekonomian akan mengalami stationary state (tidak berkembang), karena perkembangan penduduk akan melebihi kecepatan pembangunan ekonomi.

b.       Aliran Keynesian
Aliran Keynesian membantah ajaran Smith, karena menurutnya campur tangan pemerintah secara tidak langsung dalam sistem perekonomian masyarakat sangat diperlukan. Aliran Keynesian ini dapat pula dikatakan sebagai antitesa dari ajaran Smith dan Marx.

Pandangan Keynes (1936) lebih memfokuskan perhatiannya pada analisis ekonomi jangka pendek, dimana pada saat itu dunia sedang mengalami depresi dan pengangguran. Menurut Keynes[7] dalam General theory-nya, malapetaka yang terjadi di Amerika dan dunia barat pada umumnya disebabkan oleh kurangnya penanaman modal dari para pengusaha. Maka untuk mengatasinya “pemerintah harus turun tangan”.

Dampak yang ditimbulkan dari pandangan Keynes ini antara lain adalah berkembangnya model pertumbuhan yang dikembangkan oleh Harrod (1948) dan Domar (1946) yang pada intinya menekankan pada pentingnya aspek permintaan dalam mendorong pertumbuhan jangka panjang. Menurut mereka, pertumbuhan ekonomi akan ditentukan oleh dua unsur pokok, yaitu tingkat tabungan atau investasi dan produktivitas kapital (Capital Output Ratio).

Menurut teori ini, masyarakat dakam suatu sistem perekonomian dituntut untuk memiliki tabungan sebagai sumber investasi. Hipotesa yang dianutnya adalah bahwa semakin besar tabungan dan investasi, semakin tinggi pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya, makin rendah produktivitas kapital atau semakin tinggi capital output ratio, makin rendah pertumbuhan ekonomi.[8]

Bila Harrod-Domar lebih menekankan pada pentingnya modal, Arthur Lewis (1994) dengan model Surplus of Labor lebih menekankan pentingnya peranan penduduk sebagai tenaga kerja. Menurutnya, pengusaha dapat meningkatkan produksinya dengan mempekerjakan tenaga kerja yang banyak tanpa harus meningkatkan upahnya.

c.        Aliran Neo-Klasik
Menurut kaum neo-klasik, laju pertumbuhan ekonomi ditentukan oleh pertambahan dalam penawaran faktor-faktor produksi dan tingkat kemajuan teknologi. Dalam teori neo-klasik, teknologi dianggap sebagai faktor eksogen yang tersedia untuk dimanfaatkan oleh negara didunia.

Dalam perkembangan teori pertumbuhan ekonomi selanjutnya, ada suatu pemikiran yang menyatakan peran perdagangan sebagai faktor penting di luar modal dan tenaga kerja. Selain factor-faktor produksi, seperti modal, tenaga kerja, dan teknologi yang digunakan, perdagangan dipandang sebagai faktor yang dapat mempengaruhi pertumbuhan suatu negara. Tokoh yang mengemukakan hal ini adalah Nurkse (1953) yang menunjukkan bahwa perdagangan merupakan mesin pertumbuhan selama abad ke-19 bagi negara-negara yang sekarang termasuk kelompok negara maju, seperti AS, Kanada, Australia, dan Selandia Baru.

3)     Pendekatan-Pendekatan lain
      Yang dianggap paling berperan dalam teori ini adalah Rostow (1960) dan Chenery-Syrquin (1975). Menurut Rostow transformasi dari negara terbelakang menjadi negara maju dapat terjadi setaelah melalui urutan tahapan pembangunan. Lima tahapan yang harus dilalui oleh suatu negara dalam proses pembangunannya adalah:
a.      Masyarakat tradisional (traditional society)
b.      Masa menjelang pertumbuhan (pre-condition of growth)
c.      Tinggal landas (take off)
d.     Pengendalian kelahiran (the darive of maturity)
e.      Era masyarakat konsumtif (the age of high mass-consumption)

Sedangkan dalam pandangan Chenery-Syrquin (1975) yang merupakan perkembangan pemikiran dari Collin Clark Kuznets, perkembangan perekonomian akan mengalami transformasi (konsumsi, produksi, dan lapangan kerja) dari perekonomian yang didominasi oleh sektor pertanian menjadi didominasi oleh sektor industri dan jasa.[9]

Selanjutnya pendekatan yang dapat dikemukakan disini adalah dalam hubungannya dengan masalah pembangunan secara singkat dapat dijelaskan sebagai berikut :
a.      Pendekatan pembangunan sosial
Pendekatan pembangunan sosial ini bertujuan untuk menyelenggarakan pembangunan yang lebih berkeadilan. Metode umum yang digunakan dalam menilai pengaruh pembangunan terhadap kesejahteraan masyarakat adalah dengan mempelajari distribusi pendapatan dan tingkat kemiskinan (poverty) di suatu negara. Analisis mengenai tingkat kemiskinan didasarkan pada konsep kemiskinan absolut (absolute poverty) atau lebih dikenal dengan istilah di bawah garis kemiskinan. Ukuran yang digunakan adalah pendapatan per kapita per tahun.

b.      Pendekatan pemerataan dengan pertumbuhan (Redistribution With Growth/RWG)
Pendekatan ini dikembangkan berdasarkan studi yang dikembangkan oleh bank dunia pada tahun 1974. Ide dasarnya adalah pemerintah harus mempengaruhi pola pembangunan sedemikian rupa, sehingga produsen yang berpendapatan rendah (yang dibentuk negara, berlokasi di pedesaan, dan produsen kecil di perkotaaan) akan mendapatkan kesempatan untuk meningkatakan pendapatan dan secara simultan menerima sumber ekonomi yang diperlukan.

c.       Pendekatan kebutuhan dasar manusia (Basic Human Needs/BHN)
Pendekatan BHN ini secara spesifik menekankan pemenuhan kebutuhan dasar manusia melalui proses pembangunan. Walaupun RWG dan BHN memiliki tujuan yang sama, yaitu, mencapai pembangunan yang berkeadilan dengan fokus pada masalah masyarakat kecil, dalam menentukan langkah kebijaksanaan terdapat perbedaan. RWG menekankan peningkatan produktivitas dan daya beli masyarakat kecil, sedangkan BHN menekankan penyediaan public services disertai jaminan bagi masyarakat miskin untuk memperoleh pelayanan tersebut.

Bintoro dan Mustopadidjaja[10] mengemukakan bahwa di dalam konteks pembangunan negara-negara berkembang, pemenuhan kebutuhan dasar tidak mungkin dapat dicapai tanpa mengusahakan kecepatan dalam pertumbuhan ekonomi, perubahan pola pertumbuhan dan kesempatan untuk memanfaatkan sumber-sumber produktif bagi golongan berpenghasilan rendah.

Menurut Goulet[11] (1977) proses pembangunan harus diarahkan untuk :
1.      Menciptakan “solidaritas baru” yang mendorong pembangunan yang berakar dari bawah (grass roots oriented).
2.      Memelihara keberagaman budaya dan lingkungan.
3.      Menjunjung tinggi martabat serta kebebasan manusia dan masyarakat.


[1] Bintoro Tjokroamidjojo dan A.R. Moestopadidjaja, Teori dan Strategi Pembangunan Nasional, Gunung Agung, Jakarta, 1984, Hal : 23
[2] Ibid, Hal : 23
[3] J. Milton  Esman, “CAG and The Study of Public Administration”, dalam Frontier of Development Administration, F.W.Riggs (ed), Duke Universuty Press, Durham.
[4] Bintoro Tjokroamidjojo, Pengantar Administrasi Pembangunan, LP3ES, Jakarta, 1988, Hal : 26
[5] Ginandjar Kartasasmita, Administrasi Pembangunan: Perkembangan Pemikiran dan Praktiknya di Indonesia, LP3ES, Jakarta, 1997, Hal : 10
[6] Bintoro Tjokroamidjojo dan A.R. Moestopadidjaja, Teori dan Strategi Pembangunan Nasional, Gunung Agung, Jakarta, 1984, Hal : 33.
[7] Jhon M. Keynes, The General Theory of Employment, Interest and Money, 1936
[8] Ginandjar Kartasasmita, Administrasi Pembangunan: Perkembangan Pemikiran dan Praktiknya di Indonesia, LP3ES, Jakarta, 1997, Hal : 11
[9] Ibid, Hal : 13
[10] Bintoro Tjokroamidjojo dan A.R. Moestopadidjaja, Teori dan Strategi Pembangunan Nasional, Gunung Agung, Jakarta, 1984, Hal : 50
[11] Dennis Goulet, The Cruel Choice: New Concept in The Theory of Development, NewYork, Atheneum, 1977, Hal : 20

Belum ada Komentar untuk "Pendekatan Dalam Pembangunan"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel