KEGAGALAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DI NEGARA BERKEMBANG



KEGAGALAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN
DI NEGARA BERKEMBANG

Kegagalan yang yang terjadi dalam pembangunan suatu negara, diantaranya, tidak terlepas dari ketidakfahaman pelaku perencana terhadap sejarah kebudayaan. Pembangunan tanpa dilandasi oleh serangkaian nilai esensial  masyarakat, lambat atau cepat akan menemukan kesia-siaan. Pola pembangunan mengacu pada pertumbuhan ekonomi model barat telah  dinyatakan tidak berhasil. Perencanaan yang unggul apabila dapat mengelola  masalah–masalah dengan sensitif. Tantangan yang dihadapi para  perencana pembangunan  adalah inspiratif, disiplin, dan belajar dari hari ke hari sesuai dengan perubahan. Perencanaan di Indonesia cenderung melihat pembangunan sebagai dimensi tunggal, ekonomi. Tinggi rendahnya  perkembangan masyarakat dilihat dari siklus ekonomi. Pendekatan sosial dan pengembangan  kemampuan manusia melepaskan diri dari ikatan nilai psikologis tradisional  belum banyak tersentuh.

Para pengamat perencanaan telah mengomentari kegagalan perencanaan pembangunan. Banyak yang menyatakan bahwa kegagalan itu berakar kepada kurangnya kapasitas administratif. Seperti diungkapkan Waterson[1], hanya sedikit negara yang dapat menanggulangi masalah-masalah administratif yang ditimbulkan oleh perencanaan pembangunan. Masalah-masalah tersebut sedemikian rumit sehingga di kebanyakan negara  yang belum berkembang terbatasnya pelaksanaan  rencana bukanlah karena kurangnya sumber financial, melainkan karena kapasitas administratif yang tidak memadai.

Rencana-rencana mendapat kritik rutin karena pelaksanaannya yang buruk atau karena tidak dapat dilaksanakan. Kebanyakan kritikus mengemukakan  bahwa rencana-rencana lima tahun hanya menjadi mode, formalitas dan bahkan ritualistas semata, serta sedikit atau malah tak ada akibatnya sama sekali terhadap keputusan sehari-hari. Rencana-rencana itu merupakan pernyataan yang diidealkan mengenai tujuan-tujuan yang didasarkan pada prediksi dan ramalan ,dan sedikit harapan bahwa tujuan-tujuan itu akan terdekati. Jadi renacana-rencana itu ditumpuk saja di rak buku atau dalam lemari-lemari, dan keputusan sehari-haripun terus berjalan sehingga mempertipis kemungkinan pencapaian tujuan-tujuan yang dinyatakan dengan indah dalam rancangan-rancangan  komperhensif itu.[2]

Pandangan lain mengenai keberadaan dan pelaksanaan perencanaan di gambarkan oleh S.A. Bessanoc yang mengemukakan sebuah kasus yang tipikal, “Pada umumunya perencanaan di Afrika  berlangsung buruk. Rencana tinggal rencana di atas. Pemerintah –pemrintah di sana menghentikan sepertiga dari rencana nasional sebelum waktunya, praktis semua pemerintahan itu melakukan revisi besar-besaran atas rencana-rencana itu sambil berjalan.”[3]

Beberapa diantara para kritikus yang lebih ekstrem menyarankan agar perencanaan nasional dihapuskan saja kalau bukannya sangat disederhanakan. Wildavsky dan Caiden[4] setelah meninjau perencanaan nasional  dan penganggarannya di dua belas Negara miskin, menyimpulkan bahwa upaya menyusun perencanaan komperhensif lebih banyak membuahkan keburukan daripada kebaikan. Mereka mengemukakan bahwa yang menjadi masalah adalah justru perencanaanya sendiri, dan bahwa pendekatan yang lebih baik adalah menggunakan proses penyusunan anggaran sebagai sarana control dan pengarahan. Karena penyusunan anggaran berlangsung sepanjang pelaksnaan pemerintahan dan arena anggaran direvisi pada interval-interval pendek sehingga lebih terkontrol peluang untuk mengatur program-program yang berkelayakan dapat lebih banyak diperoleh melalui penganggaran dari pada melalui perencanaan komperhensif.

Apapun hikmah perpektif ini, kredibilitas dan penerimaan terhadapnya di dunia ketiga tidaklah besar. Bagi suatu negara, meninggalkan  perjuangan untuk memegang kendali atas hari depan bangsa. Pada dasarnya, rencana lima tahun adalah sesuatu hal yang simbolik dan seperti telah dikatakan sebelumnya, rencana semacam itu juga diisyaratkan oleh seluruh kelompok organisasi pemberi bantuan pembangunan yang internasional maupun bilateral. Lalu bagaimanakah proses perencanaan pembangunan nasional dapat dikelola secara efektif.  Bagaimanakah proses situ dapat diselaraskan dengan proses belajar yang lebih partisipatif, yang “ muncul dari bawah” yang memudahkan mekanisme koreksi sambil berjalan?. Chambers[5] berbicara mengenai perencanaan sebagai suatu proses belajar yang berlangsung melalui “ pencangkokan dan modifikasi prosedur secara diam-diam dan bukan melalui rencana-rencana formal”.

Rencana-rencana formal kadang-kadang dapat sia-sia. Yang lebih bermanfaat, kata Chambers[6] adalah “penajaman sasaran dan proyek-proyek yang telah ada, penghimpunan pengalaman pelaksanaan yang dapat memberikan umpan balik pada penyusunan ususlan di waktu kemudian, perbaikan proses anggaran dan alokasi, serta pengorganisasian prosedur penyelidikan dan penelitian serta pengembangan pedesaan.

Perencanaan menurut model Chambers ini merupakan bagian dari suatu dinamika yang terus berlangsung dan bukan suatu tahap tunggal yang formal dalam proses kebijaksanaan. Akan tetapi Chambers hamper selalu berbicara tentang perencanaan subnasional. Perencanaan pada tingkat ini lebih sesuai bagi model “ belajar dan adaptasi” yang diajukan  oleh Chambers itu. Perencanaan nasional justru karena mandate dan otoritasnya yang lebih luas dan komperhensif, merupakan masalah yang demikian besar, dituntut adanya dokumen-dokumen yang menyatakan kemampuan teknis yang cukup tinggi yang diisyaratkan dan diteliti secara seksama oleh IMF, IBRD dan system PBB. Karena banyaknya agregasi yang dibutuhkannya, proses ini tidak lagi merupakan sesuatu yang dapat dikerjakan pada tingkat subnasional.

Alasan lain kehadiran perencanaan nasional adalah justru karena perencanaan ini  menggunakan suatu perspektif nasional yang meliputi cakrawala waktu yang lebih panjang; “pencangkokan dan modifikasi prosedur” yang terburu-buru dapat membuat perencanaan itu terlalu rentan dan rapuh terhadap kepentingan-kepentingan khusus jangka pendek. Singkatnya, perencanaan pembangunan nasional perlu meniti secara berhati-hati di tengah, agar jangan sampai tersapih dari perbenturan kepentingan yang terjadi sehari-hari sambil cukup tanggap sehingga dapat diandalkan oleh pimpinan politik.

Bercermin dari berbagai kondisi yang ada, meskipun perencanaan secara luas diyakini akan dapat menghilangkan atau mengentaskan kemiskinan, serta mengurangi ketidakadilan dan memperkecil pengangguran, tetapi dalam kenyataanya praktek perencanaan di kebanyakan negara berkembang tanpa disadari justru telah melestarikan atau bahkan kian memperparah keadaan tersebut. Penjelasan pokok atas terjadinya perkembangan yang memprihatinkan tersebut bersumber dari kegagalan perencanaan itu sendiri, selanjutnya, kegagalan proses perencanaan ini diakibatkan oleh sejumlah masalah khusus tertentu sebagai berikut ;[7]

  1. Keterbatasan penyusunan rencana dan pelaksanaan rencana-rencana yang ditetapkan pemerintah di berbagai negara-negara berkembang seringkali terlalu ambisius.
Mereka mencoba untuk melaksanakan sekian banyak tujuan sekaligus tanpa mempertimbangkan bahwa beberapa dari tujuan tersebut sebenarnya bersaing atau bahkan saling bertentangan. Banyak personil pemerintah yang begitu hebat dalam membuat rancangan, akan tetapi rincian kebijakan untuk mencapai tujuan-tujuan yang ditetapkannya tidaklah jelas. Kesenjangan antara perumusan perencanaan dengan pelaksanaannya tersebut, seringkali sangat besar
  1. Data-data yang tidak memadai dan tidak andal.
 Kebijakan-kebijakan ekonnomi dalam suatu rencana pembangunan sangat bergantung pada kualitas serta keandalan data-data statistic, yang mendasarinya. Apabila data tersebut lemah, tidak andal (kurang dapat dipercaya), atau bahkan tidak tersedia sama sekali seperti yang sering terjadi di berbagai Negara miskin, maka dengan sendirinya ketepatan dan konsistensi rencana-rencana  ekonomi kuantitatifnya pun sangat tipis, atau bahkan hamper tak ada sama sekali. Apabila kelangkaan data tersebut masih diperparah lagi oleh kelangkaan  ahli ekonomi, pakar statistic dan tenaga perencana yang berkualitas maka usaha untuk merumuskan dan melaksnaakan rencana pembangunan yang komperhensif dan terperinci nampaknya akan membuahkan kekecewaan dan rasa frustasi. Dalam situasi seperti ini, pembuatan perencanaan yang ekstensif hanya merupakan suatu ekspansi kebodohn dan pemborosan yang membuang-buang sumber-sumber daya berharga yang langka.
  1. Gejolak ekonomi.
Karena kebanyakan Negara-negara berkembang telah terlanjur menganut system perekonomian terbuka yang dengan sendirinya membuat mereka peka terhadap pengaruh, kondisi, perubahan-perubahan dan perkembangan arus perdagangan internasional, bantuan setara investasi swasta asing , maka Negara-negara berkembang yang bersangkutan sangat sulit untuk menyusun prediksi yang tetap dan tepat dalam jangka pendek, apalagi perencanaan berjangka panjang. Begitu banyak hal eksternal yang berpotensi mengganggu atau bahkan mengacaukan perencanaan mereka. Begitu banyak hal yang akan memaksa pemerintah negara-negara berkembang membuat revisi-revisi atau perombakan atas rencana-rencana pembangunan yang sudah disususnnya secara susah payah.
  1. Kelemahan institusional.
Kelemahan-kelemahan institusional atau kelembagaan di dalam proses perencanaan di kebanyakan Negara-negara berkembang telah banyak diulas. Beberapa topik yang menonjol disini adalah anjuran bagi dipisahkannya badan-badan perencanaan dari aparat pemerintah yang membuat keputusan sehari-hari, kegagalan para perencana, administrator dan pemimpin politik dalam mengadakan dialog dan komunikasi internal tentang berbagai ususlan dan startegi pembangunan, dan transfer praktek kelembagaan perencanaan internasional dan penyususnan organisasi yang kemudian terbukti karena sesuai dengan kondisi-kondisi setempat. Selain itu sering pula ddikemukakan tentang keprihatinan terhadap ketidakcakapan dan ketidak mampuan pegawai pemerintah, prosedur birokrasi yang berbelit-belit, kehati-hatian yang berlebihan serta keengganan terhadap inovasi dan perubahan, persaingan antarbirokrat atau antaradepartemen, lemahnya kesepakatan atas apa yang dimaksud sebagai tujuan nasional yang harus memadukan tujuan-tujuan regional, departemen, atau tujuan pribadi dari sebagian pemimpin politik dan birokrat pemerintah, dan terakhir adalah kurangnya kesadaran untuk mendahulukan kepentingan nasional di atas kepentingan pribadi yang dalam bentuk ekstremnya lantas menyuburkan praktek-praktek korupsi dan kesewenang-wenangan birokrasi yang merajalela di banyak pemerintahan di negara-negara dunia ketiga.[8]
  1. Kurangnya kemauan politik.
Penyebab terakhir , tetapi tidak kalah pentingnya, atas kegagalan perencanaan di negara-negara berkembang tidak berkaitan dengan dimensi ekonomi, melainkan politik. Dalam kenyataanya, hal-hal yang sangat menentukan keberhasilan perencanaan pembangunan bukan hanya variable dan potensi ekonomi, melainkan juga pada kemauan politik yang antara lain terjelma berupa motivasi, semangat dan kemampuan administrative. Buruknya hasil-hasil dari suatu rencana dan semakin melebarnya kesenjangan anatara perumusan rencana dengan pelaksanaanya juga menunjukkan kurangnya kesepakatan dan kemauan politik (political will) sebagian pemimpin dan pembuat keputusan tingkat tinggi di negara-negara dunia ketiga.


[1] Albert Waterston, Development Planning, Baltimore : Johns Hopkins Press, 1965, Hal :  289
[2] Mike Faber dan Dudley Seers, ed, The Crisis in Planning,  London : Chatto and Windus, 1972, Hal : 54
[3] Robert Siedman mengutip S.A. Bessanoc dalam “ Development Planning and Legal order”. Economic Planning for developing Countries of Africa (Budapest : Hungarian Academy of Science, 1974).

[4]Caiden dan Wildavsky, Planning and Budgeting, merupakan pembahasan lengkap mengenai hubungan antara Planning dan Budgeting.

[5] Robert Chambers, Managing Rural Development , Uppsala : Scandi-navia Institute of African Studies, 1974, Hal : 146
[6] Ibid
[7] Toni Killick, ‘the possibilities of development Planning”. Oxford Economic Papers, July 1976, Hal. : 164
[8] Untuk mendapatkan sebuah analisis mengenai dampak-dampak korupsi, dapat dilihat pada M.S. Alam, “Some Economic Cost of Corruption In LDCs”, Journal of Development studies 9 oktober 1990, Hal : 89-97

Belum ada Komentar untuk "KEGAGALAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DI NEGARA BERKEMBANG"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel