Tugas Etika Administrasi Publik

1. Deontologis
Etika Deontologis, berasal dari kata Yunani deon yang berarti kewajiban. Etika deontologi menekankan kewajiban manusia untuk bertindak secara baik. Menurut teori ini tindakan dikatakan baik bukan karena tindakan itu mendatangkan akibat baik, melainkan berdasarkan tindakan sendiri sebagai baik pada dirinya sendiri. Contoh : manusia beribadah kepada Tuhan karena sudah merupakan kewajiban manusia untuk menyembah Tuhannya, bukan karena perbuatan tersebut akan mendapatkan pahala.
 
Etika deontologis adalah teori filsafat moral yang mengajarkan bahwa sebuah tindakan itu benar kalau tindakan tersebut selaras dengan prinsip kewajiban yang relevan untuknya. Akar kata Yunani deon berarti 'kewajiban yang mengikat'. Istilah "deontology" dipakai pertama kali oleh C.D. Broad dalam bukunya Five Types of Ethical Theory. Etika deontologis juga sering disebut sebagai etika yang tidak menganggap akibat tindakan sebagai faktor yang relevan untuk diperhatikan dalam menilai moralitas suatu tindakan. (non-consequentialist theory of ethics).
            Para penganut etika deontologis, seperti Immanuel Kant (1724-1804) sebagai pelopornya misalnya, berpendapat bahwa norma moral itu mengikat secara mutlak dan tidak tergantung dari apakah ketaatan atas norma itu membawa hasil yang menguntungkan atau tidak. Misalnya norma moral "jangan bohong" atau "bertindaklah secara adil" tidak perlu dipertimbangkan terlebih dulu apakah menguntungkan atau tidak, disenangi atau tidak, melainkan selalu dan di mana saja harus ditaati, entah apa pun akibatnya. Hukum moral mengikat mutalk semua manusia sebagai makhluk rasional.

            Menurut paham etika deontologis, pendekatan etika teleologis (entah dalam bentuk egoisme, eudaimonisme atau utilitarisme) yang menghubungkan kewajiban moral dengan akibat baik atau buruk, justru merusak sifat moral. Tidak berbohong hanya kalau itu menguntungkan si pelaku atau hanya bila itu membawa akibat baik yang lebih besar dari akibat buruknya, akan merendahkan martabat moral. Menurut Kant, manusia baru bersikap moral sungguh-sungguh apabila ia secara prinsipial tidak bohong, entah itu membawa keuntungan atau kerugian. Maka kaidah etika deontologis bisa dirumuskan sebagai berikut: Betul-salahnya suatu sikap atau tindakan tidak tergantung dari apakah sikap atau tindakan itu mempunyai akibat baik atau buruk, melainkan apakah sesuai dengan norma-norma atau hukum moral atau tidak.
 

2. Teleologis
Etika Teleologis, berasal dari kata Yunani telos yang berarti tujuan, sasaran, akibat dan hasil. Menurut teori ini, suatu tindakan dikatakan baik jika tujuannya baik  dan membawa akibat yang baik dan berguna.

Dari sudup pandang  “apa tujuannya” etika teleologi dibedakan menjadi dua yaitu : (1) Teleologis Hedonisme (hedone = kenikmatan) yaitu tindakan yanitu bertujuan untukmencari  kenikmatan dan kesenangan. (2) Teleologis Eudamonisme (eudamonia = kebahagiaan) yaitu tindakan yang bertujuan mencari kebahagiaan hakiki.

Dari sudut pandang “untuk siapa tujuannya” etika   teleologi dibedakan menjadi dua yaitu : (1) Egoisme Etis, yaitu tindakan yang pada dasarnya bertujuan untuk mengejar kepentingan pribadi dan memajukan dirinnya sendiri. (2) Utilitarianisme, yaitu tindakan yang berguna dan membawa manfaat bagi semua pihak.
 
Dalam dunia etika, teleologi bisa diartikan sebagai pertimbangan moral akan baik buruknya  suatu tindakan dilakukan , Teleologi mengerti benar mana yang benar, dan mana yang salah, tetapi itu bukan ukuran yang terakhir.Yang lebih penting adalah tujuan dan akibat.Betapapun salahnya sebuah tindakan menurut hukum, tetapi jika itu bertujuan dan berakibat baik, maka tindakan itu dinilai baik.Ajaran teleologis dapat menimbulkan bahaya menghalalkan segala cara. Dengan demikian tujuan yang baik harus diikuti dengan tindakan yang benar menurut hukum.Perbincangan “baik” dan “jahat” harus diimbangi dengan “benar” dan “salah”. Lebih mendalam lagi, ajaran teleologis ini dapat menciptakan hedonisme, ketika “yang baik” itu dipersempit menjadi “yang baik bagi diri sendiri. 
 
3. Utilitarianisme
 
Utilitarisme berasal dari kata Latin utilis yang berarti “bermanfaat”. Menurut teori ini, suatu perbuatan adalah baik jika membawa manfaat, berfaedah atau berguna, tapi menfaat itu harus menyangkut bukan saja satu dua orang melainkan masyarakat sebagai keseluruhan. Aliran ini memberikan suatu norma bahwa baik buruknya suatu tindakan oleh akibat perbuatan itu sendiri. Tingkah laku yang baik adalah yang menghasilkan akibat-akibat baik sebanyak mungkin dibandingkan dengan akibat-akiba tburuknya. Setiap tindakan manusia harus selalu dipikirkan, apa akibat dari tindakannya tersebut bagi dirinya maupun orang lain dan masyarakat. Utilitarisme mempunyai tanggung jawab kepada orang yang melakukan suatu tindakan, apakah tindakan tersebut baik atau buruk. Menurut suatu perumusan terkenal, dalam rangka pemikiran utilitarisme (utilitarianism) kriteria untuk menentukan baik buruknya suatu perbuatan adalah the greatest happiness of the greatest number, kebahagiaan terbesar dari jumlah orang terbesar.
Utilitarisme disebut lagi suatu teori teleoligis ( dari kata Yunani telos = tujuan), sebab menurut teori ini kualitas etis suatu perbuatan diperoleh dengan dicapainya tujuan perbuatan. Dalam perdebatan antara para etikawan, teori utilitarisme menemui banyak kritik. Keberatan utama yang dikemukakan adalah bahwa utilitarisme tidak berhasil menampung dalam teorinya dua paham etis yang amat penting, yaitu keadilan dan hak. Jika suatu perbuatan membawa manfaat sebesar – besarnya untuk jumlah orang terbesar, maka menurut utilitarisme perbuatan itu harus dianggap baik. Jika mereka mau konsisten, para pendukung utilitarisme mesti mengatakan bahwa dalam hal itu perbuatannya harus dinilai baik. Jadi, kalau mau konsisten, mereka harus mengorbankan keadilan dan hak kepada manfaat. Namun kesimpulan itu sulit diterima oleh kebanyakan etika-wan. Sebagai contoh bisa disebut kewajiban untuk menepati janji. Dasarnya adalah kewajiban dan hak.
Utilitarianisme merupakan bagian dari etika filsafat mulai berkembang pada abad ke 19 sebagai kritik atas dominasi hukum alam. Sebagai teori etis secara sistematis teori utilitarianisme di kembangkan Jeremy Betham dan muridnya, John Stuart Mill. Mnenurut mereka Utilitarianisme disebut sebagai teori kebahagiaan terbesar (the greatest happines theory). Karena utilitiarianisme dalam konsepsi Bentham berprinsip the greatest happiness of the greatest number. Kebahagiaan tersebut menjadi landasan moral utama kaum utilitarianisme, tetapi kemudian konsep tersebut di rekonstruksi Mill menjadi bukan kebahagiaan pelaku saja, melainkan demi kebahagiaan semua. Dengan prinsip seperti itu, seolah-olah utilitarianisme menjadi teori etika konsekuensialisme dan welfarisme.
Menurut (Shomali, 2005: 11), Utilitarianisme terkadang disebut dengan Teori Kebahagiaan Terbesar yang mengajarkan tiap manusia untuk meraih kebahagiaan (kenikmatan) terbesar untuk orang terbanyak. Karena, kenikmatan adalah satu-satunya kebaikan intrinsik, dan penderitaan adalah satu-satunya kejahatan intrinsik. Oleh karena itu, sesuatu yang paling utama bagi manusia menurut Betham adalah bahwa kita harus bertindak sedemikian rupa sehingga menghasilkan akibat-akibat baik sebanyak mungkin dan sedapat dapatnya mengelakan akibat-akibat buruk. Karena kebahagianlah yang baik dan penderitaanlah yang buruk.
Kebahagiaan tercapai jika ia memiliki kesenangan dan bebas dari kesusahan. Suatu perbuatan dapat dinilai baik atau buruk sejauh dapat meningkatkan atau mengurangi kebahagiaan sebanyak mungkin orang. Prinsip kegunaan harus diterapkan secara kuantitatif, karena kualitas kesenangan selalu sama sedangkan aspek kuantitasnya dapat berbeda-beda.
 

Belum ada Komentar untuk "Tugas Etika Administrasi Publik "

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel