Tugas Etika Administrasi Publik
Jumat, 19 September 2014
Tambah Komentar
1. Deontologis
Etika Deontologis, berasal dari
kata Yunani deon yang berarti kewajiban. Etika deontologi menekankan
kewajiban manusia untuk bertindak secara baik. Menurut teori ini
tindakan dikatakan baik bukan karena tindakan itu mendatangkan akibat
baik, melainkan berdasarkan tindakan sendiri sebagai baik pada dirinya
sendiri. Contoh : manusia beribadah kepada Tuhan karena sudah merupakan
kewajiban manusia untuk menyembah Tuhannya, bukan karena perbuatan
tersebut akan mendapatkan pahala.
Etika
deontologis adalah teori filsafat moral yang mengajarkan bahwa sebuah tindakan
itu benar kalau tindakan tersebut selaras dengan prinsip kewajiban yang relevan
untuknya. Akar kata Yunani deon berarti 'kewajiban yang mengikat'.
Istilah "deontology" dipakai pertama kali oleh C.D. Broad dalam
bukunya Five Types of Ethical Theory. Etika deontologis juga sering
disebut sebagai etika yang tidak menganggap akibat tindakan sebagai faktor yang
relevan untuk diperhatikan dalam menilai moralitas suatu tindakan. (non-consequentialist
theory of ethics).
Para
penganut etika deontologis, seperti Immanuel Kant (1724-1804) sebagai
pelopornya misalnya, berpendapat bahwa norma moral itu mengikat secara mutlak
dan tidak tergantung dari apakah ketaatan atas norma itu membawa hasil yang
menguntungkan atau tidak. Misalnya norma moral "jangan bohong" atau
"bertindaklah secara adil" tidak perlu dipertimbangkan terlebih dulu
apakah menguntungkan atau tidak, disenangi atau tidak, melainkan selalu dan di
mana saja harus ditaati, entah apa pun akibatnya. Hukum moral mengikat mutalk
semua manusia sebagai makhluk rasional.
Menurut
paham etika deontologis, pendekatan etika teleologis (entah dalam bentuk
egoisme, eudaimonisme atau utilitarisme) yang menghubungkan kewajiban moral
dengan akibat baik atau buruk, justru merusak sifat moral. Tidak berbohong
hanya kalau itu menguntungkan si pelaku atau hanya bila itu membawa akibat baik
yang lebih besar dari akibat buruknya, akan merendahkan martabat moral. Menurut
Kant, manusia baru bersikap moral sungguh-sungguh apabila ia secara
prinsipial tidak bohong, entah itu membawa keuntungan atau kerugian. Maka
kaidah etika deontologis bisa dirumuskan sebagai berikut: Betul-salahnya suatu
sikap atau tindakan tidak tergantung dari apakah sikap atau tindakan itu
mempunyai akibat baik atau buruk, melainkan apakah sesuai dengan norma-norma
atau hukum moral atau tidak.
2. Teleologis
Etika Teleologis, berasal dari
kata Yunani telos yang berarti tujuan, sasaran, akibat dan hasil.
Menurut teori ini, suatu tindakan dikatakan baik jika tujuannya baik
dan membawa akibat yang baik dan berguna.
Dari sudup pandang “apa tujuannya” etika teleologi
dibedakan menjadi dua yaitu : (1) Teleologis Hedonisme (hedone =
kenikmatan) yaitu tindakan yanitu bertujuan untukmencari kenikmatan dan
kesenangan. (2) Teleologis Eudamonisme (eudamonia = kebahagiaan) yaitu
tindakan yang bertujuan mencari kebahagiaan hakiki.
Dari sudut pandang “untuk siapa tujuannya” etika
teleologi dibedakan menjadi dua yaitu : (1) Egoisme Etis, yaitu
tindakan yang pada dasarnya bertujuan untuk mengejar kepentingan pribadi
dan memajukan dirinnya sendiri. (2) Utilitarianisme, yaitu tindakan
yang berguna dan membawa manfaat bagi semua pihak.
Dalam dunia etika, teleologi bisa diartikan sebagai pertimbangan moral
akan baik buruknya suatu tindakan dilakukan , Teleologi mengerti benar
mana yang benar, dan mana yang salah, tetapi itu bukan ukuran yang terakhir.Yang
lebih penting adalah tujuan dan akibat.Betapapun salahnya sebuah
tindakan menurut hukum, tetapi jika itu bertujuan dan berakibat baik,
maka tindakan itu dinilai baik.Ajaran teleologis dapat menimbulkan
bahaya menghalalkan segala cara. Dengan demikian tujuan yang baik harus
diikuti dengan tindakan yang benar menurut hukum.Perbincangan “baik” dan
“jahat” harus diimbangi dengan “benar” dan “salah”. Lebih mendalam
lagi, ajaran teleologis ini dapat menciptakan hedonisme, ketika “yang
baik” itu dipersempit menjadi “yang baik bagi diri sendiri.
3. Utilitarianisme
Utilitarisme berasal dari kata Latin utilis yang berarti “bermanfaat”. Menurut teori ini, suatu perbuatan adalah baik jika membawa manfaat, berfaedah atau berguna, tapi menfaat itu harus menyangkut bukan saja satu dua orang melainkan masyarakat sebagai keseluruhan. Aliran
ini memberikan suatu norma bahwa baik buruknya suatu tindakan oleh
akibat perbuatan itu sendiri. Tingkah laku yang baik adalah yang
menghasilkan akibat-akibat baik sebanyak mungkin dibandingkan dengan
akibat-akiba tburuknya. Setiap tindakan manusia harus selalu dipikirkan,
apa akibat dari tindakannya tersebut bagi dirinya maupun orang lain dan
masyarakat. Utilitarisme mempunyai tanggung jawab kepada orang yang
melakukan suatu tindakan, apakah tindakan tersebut baik atau buruk.
Menurut suatu perumusan terkenal, dalam rangka pemikiran utilitarisme
(utilitarianism) kriteria untuk menentukan baik buruknya suatu perbuatan
adalah the greatest happiness of the greatest number, kebahagiaan
terbesar dari jumlah orang terbesar.
Utilitarisme disebut lagi suatu teori teleoligis ( dari kata Yunani telos
= tujuan), sebab menurut teori ini kualitas etis suatu perbuatan
diperoleh dengan dicapainya tujuan perbuatan. Dalam perdebatan antara
para etikawan, teori utilitarisme menemui banyak kritik. Keberatan utama
yang dikemukakan adalah bahwa utilitarisme tidak berhasil menampung
dalam teorinya dua paham etis yang amat penting, yaitu keadilan dan hak.
Jika suatu perbuatan membawa manfaat sebesar – besarnya untuk jumlah
orang terbesar, maka menurut utilitarisme perbuatan itu harus dianggap
baik. Jika mereka mau konsisten, para pendukung utilitarisme mesti
mengatakan bahwa dalam hal itu perbuatannya harus dinilai baik. Jadi,
kalau mau konsisten, mereka harus mengorbankan keadilan dan hak kepada
manfaat. Namun kesimpulan itu sulit diterima oleh kebanyakan etika-wan.
Sebagai contoh bisa disebut kewajiban untuk menepati janji. Dasarnya
adalah kewajiban dan hak.
Utilitarianisme merupakan bagian dari etika
filsafat mulai berkembang pada abad ke 19 sebagai kritik atas dominasi hukum
alam. Sebagai teori etis secara sistematis teori utilitarianisme di kembangkan Jeremy Betham dan muridnya, John Stuart Mill. Mnenurut
mereka Utilitarianisme disebut sebagai teori kebahagiaan terbesar (the greatest
happines theory). Karena utilitiarianisme dalam konsepsi Bentham berprinsip the
greatest happiness of the greatest number. Kebahagiaan tersebut menjadi
landasan moral utama kaum utilitarianisme, tetapi kemudian konsep tersebut di
rekonstruksi Mill menjadi bukan kebahagiaan pelaku saja, melainkan demi
kebahagiaan semua. Dengan prinsip seperti itu, seolah-olah utilitarianisme
menjadi teori etika konsekuensialisme dan welfarisme.
Menurut (Shomali, 2005: 11),
Utilitarianisme terkadang disebut dengan Teori Kebahagiaan Terbesar yang
mengajarkan tiap manusia untuk meraih kebahagiaan (kenikmatan) terbesar untuk
orang terbanyak. Karena, kenikmatan adalah satu-satunya kebaikan intrinsik, dan
penderitaan adalah satu-satunya kejahatan intrinsik. Oleh karena itu, sesuatu
yang paling utama bagi manusia menurut Betham adalah bahwa kita harus bertindak
sedemikian rupa sehingga menghasilkan akibat-akibat baik sebanyak mungkin dan
sedapat dapatnya mengelakan akibat-akibat buruk. Karena kebahagianlah yang baik
dan penderitaanlah yang buruk.
Kebahagiaan tercapai jika ia memiliki kesenangan dan bebas dari kesusahan.
Suatu perbuatan dapat dinilai baik atau buruk sejauh dapat meningkatkan atau mengurangi
kebahagiaan sebanyak mungkin orang. Prinsip kegunaan harus diterapkan secara
kuantitatif, karena kualitas kesenangan selalu sama sedangkan aspek
kuantitasnya dapat berbeda-beda.
Belum ada Komentar untuk "Tugas Etika Administrasi Publik "
Posting Komentar