TEORI IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PUBLIK
Rabu, 10 September 2014
Tambah Komentar
Generasi awal
yang mengembangkan studi mengenai implementasi kebijakan ini, nafas awalnya
adalah kajian-kajian yang sangat pesimistis mengenai implementasi kebijakan
yang dilaksanakan pemerintah. Karena fokus kajiannya adalah pada
masalah-masalah seperti kegagalan pemerintah AS merespon kebutuhan publik,
dampak-dampak dari kebijakan pembangunanisme yang diusung pemerintah dan sebagainya.
Hal-hal pesimistis tersebut muncul karena generasi awal pengembang teori
implementasi kebijakan publik ini mengambil sikap oposisi/kritis terhadap
pemerintah. Hal ini ditunjukan dengan pegulatan kristis mereka terhadap nafas Top-Down
centris yang diusung dalam sistem implementasi kebijakan pemerintah kala itu
yang dikatakan masih menganut sistem Klasik. ( 1970-an )
Kemudian muncul
generasi kedua dari teori ini, generasi kedua dari studi implementasi kebijakan
ini mulai menggeser pakem pergulatan teoritis yang dimulai oleh generasi
pertama. Di generasi kedua ini telah lahir satu alternative teori yang menjadi
antitesa dari teori Top Down yang dikatakan diusung oleh tradisi-tradisi
pemerintahan Klasik terdahulu, teori tersebut disebut teori Bottom-Up.
Dan pada generasi kedua inilah pergulatan dialektika teoritis mengenai
implementasi kebijakan tersentralisir pada pergulatan antar-dua kutub teori
yaitu Top-Down dan Bottom-Up. (1980-an )
Setelah
perdebatan panjang yang tidak memunculkan satu kesepakatan pun munculah
generasi ketiga, yang menjadi penengah atau alternatif kompromis dari
perdebatan dua-kutub teori implementasi kebijakan tersebut. Dari sinilah
kemudian muncul suatu alternatif penengahnya yang mencoba untuk memediasikan
perdebatan teoritis tersebut. Munculah teori yang menyebut dirinya sebagai hybrid
theory. Teori yang mencoba melihat masalah implementasi kebijakan publik
secara lebih objektif dan empiris, teori hybrid mendasarkan dirinya pada
indikator-indikator terukur dan rasional untuk menganalisa masalah implementasi
kebijakan. Bahkan cenderung lebih pragmatis dalam mendekati masalah. ( 1990-an )
Implementasi
Kebijakan Publik Model Van Meter Van Horn: The Policy
Implementation Process
Proses implementasi ini merupakan
sebuah abstraksi atau performansi suatu pengejewantahan kebijakan yang pada
dasarnya secara sengaja dilakukan untuk meraih kinerja implementasi kebijakan
yang tinggi yang berlangsung dalam hubungan berbagai variabel. Model ini
mengandaikan bahwa implementasi kebijakan berjalan secara linear dari keputusan
politik, pelaksana dan kinerja kebijakan publik. Model ini menjelaskan bahwa
kinerja kebijakan dipengaruhi oleh beberapa variabel yang saling berkaitan,
variable-variabel tersebut yaitu:
1.
Standar dan sasaran kebijakan / ukuran dan tujuan kebijakan
Van
Meter dan Van Horn (dalam Sulaeman, 1998) mengemukakan untuk mengukur kinerja
implementasi kebijakan tentunya menegaskan standar dan sasaran tertentu yang
harus dicapai oleh para pelaksana kebijakan, kinerja kebijakan pada dasarnya
merupakan penilaian atas tingkat ketercapaian standar dan sasaran tersebut.
Pemahaman
tentang maksud umum dari suatu standar dan tujuan kebijakan adalah penting.
Implementasi kebijakan yang berhasil, bisa jadi gagal (frustated) ketika
para pelaksana (officials), tidak sepenuhnya menyadari terhadap standar
dan tujuan kebijakan. Standar dan tujuan kebijakan memiliki hubungan erat
dengan disposisi para pelaksana (implementors). Arah disposisi para
pelaksana (implementors) terhadap standar dan tujuan kebijakan juga
merupakan hal yang “crucial”. Implementors mungkin bisa jadi gagal dalam
melaksanakan kebijakan, dikarenakan mereka menolak atau tidak mengerti apa yang
menjadi tujuan suatu kebijakan (Van Mater dan Van Horn, 1974).
2.
Sumber daya
Keberhasilan
implementasi kebijakan sangat tergantung dari kemampuan memanfaatkan sumber
daya yang tersedia. Manusia merupakan sumber daya yang terpenting dalam
menentukan keberhasilan suatu implementasi kebijakan. Setiap tahap implementasi
menuntut adanya sumber daya manusia yang berkualitas sesuai dengan pekerjaan
yang diisyaratkan oleh kebijakan yang telah ditetapkan secara apolitik. Selain
sumber daya manusia, sumber daya finansial dan waktu menjadi perhitungan
penting dalam keberhasilan implementasi kebijakan. Sebagaimana yang dikemukakan
oleh Derthicks (dalam Van Mater dan Van Horn, 1974) bahwa: ”New town study
suggest that the limited supply of federal incentives was a major contributor
to the failure of the program”.
Van
Mater dan Van Horn (dalam Widodo 1974) menegaskan bahwa:
”Sumber
daya kebijakan (policy resources) tidak kalah pentingnya dengan
komunikasi. Sumber daya kebijakan ini harus juga tersedia dalam rangka untuk
memperlancar administrasi implementasi suatu kebijakan. Sumber daya ini terdiri
atas dana atau insentif lain yang dapat memperlancar pelaksanaan (implementasi)
suatu kebijakan. Kurangnya atau terbatasnya dana atau insentif lain dalam
implementasi kebijakan, adalah merupakan sumbangan besar terhadap gagalnya
implementasi kebijakan.”
3.
Karakteristik Organisasi Pelaksana
Pusat
perhatian pada agen pelaksana meliputi organisasi formal dan organisasi
informal yang akan terlibat dalam pengimplementasian kebijakan. Hal ini penting
karena kinerja implementasi kebijakan akan sangat dipengaruhi oleh ciri yang
tepat serta cocok dengan para agen pelaksananya. Hal ini berkaitan dengan
konteks kebijakan yang akan dilaksanakan pada beberapa kebijakan dituntut
pelaksana kebijakan yang ketat dan displin. Pada konteks lain diperlukan agen
pelaksana yang demokratis dan persuasif. Selaian itu, cakupan atau luas wilayah
menjadi pertimbangan penting dalam menentukan agen pelaksana kebijakan.
Menurut
Edward III, 2 (buah) karakteristik utama dari struktur birokrasi adalah
prosedur-prosedur kerja standar (SOP = Standard Operating Procedures)
dan fragmentasi.
1. Standard Operating Procedures (SOP). SOP dikembangkan sebagai
respon internal terhadap keterbatasan waktu dan sumber daya dari pelaksana dan
keinginan untuk keseragaman dalam bekerjanya organisasi-organisasi yang
kompleks dan tersebar luas. SOP yang bersifat rutin didesain untuk situasi
tipikal di masa lalu mungkin mengambat perubahan dalam kebijakan karena tidak
sesuai dengan situasi atau program baru. SOP sangat mungkin menghalangi
implementasi kebijakan-kebijakan baru yang membutuhkan cara-cara kerja baru
atau tipe-tipe personil baru untuk mengimplementasikan kebijakan. Semakin besar
kebijakan membutuhkan perubahan dalam cara-cara yang rutin dari suatu
organisasi, semakin besar probabilitas SOP menghambat implementasi (Edward III,
1980).
2. Fragmentasi. Fragmentasi berasal
terutama dari tekanan-tekanan di luar unit-unit birokrasi, seperti
komite-komite legislatif, kelompok-kelompok kepentingan, pejabat-pejabat
eksekutif, konstitusi Negara dan sifat kebijakan yang mempengaruhi organisasi
birokrasi publik. Fragmentasi adalah penyebaran tanggung jawab terhadap suatu
wilayah kebijakan di antara beberapa unit organisasi. “fragmentation is the
dispersion of responsibility for a policy area among several organizational
units.” (Edward III, 1980). Semakin banyak aktor-aktor dan badan-badan yang
terlibat dalam suatu kebijakan tertentu dan semakin saling berkaitan
keputusan-keputusan mereka, semakin kecil kemungkinan keberhasilan
implementasi. Edward menyatakan bahwa secara umum, semakin koordinasi
dibutuhkan untuk mengimplementasikan suatu kebijakan, semakin kecil peluang
untuk berhasil (Edward III, 1980).
4.
Komunikasi antar organisasi terkait dan kegiatan-kegiatan pelaksanaan
Agar
kebijakan publik bisa dilaksanakan dengan efektif, menurut Van Horn dan
Van Mater (dalam Widodo 1974) apa yang menjadi standar tujuan harus dipahami
oleh para individu (implementors). Yang bertanggung jawab atas
pencapaian standar dan tujuan kebijakan, karena itu standar dan tujuan harus
dikomunikasikan kepada para pelaksana. Komunikasi dalam kerangka penyampaian
informasi kepada para pelaksana kebijakan tentang apa menjadi standar dan
tujuan harus konsisten dan seragam (consistency and uniformity) dari
berbagai sumber informasi.
Jika
tidak ada kejelasan dan konsistensi serta keseragaman terhadap suatu standar
dan tujuan kebijakan, maka yang menjadi standar dan tujuan kebijakan sulit
untuk bisa dicapai. Dengan kejelasan itu, para pelaksana kebijakan dapat
mengetahui apa yang diharapkan darinya dan tahu apa yang harus dilakukan. Dalam
suatu organisasi publik, pemerintah daerah misalnya, komunikasi sering
merupakan proses yang sulit dan komplek. Proses pentransferan berita kebawah di
dalam organisasi atau dari suatu organisasi ke organisasi lain, dan ke
komunikator lain, sering mengalami ganguan (distortion) baik yang
disengaja maupun tidak. Jika sumber komunikasi berbeda memberikan interprestasi
yang tidak sama (inconsistent) terhadap suatu standar dan tujuan, atau
sumber informasi sama memberikan interprestasi yang penuh dengan pertentangan (conflicting),
maka pada suatu saat pelaksana kebijakan akan menemukan suatu kejadian yang
lebih sulit untuk melaksanakan suatu kebijakan secara intensif.
Dengan
demikian, prospek implementasi kebijakan yang efektif, sangat ditentukan oleh
komunikasi kepada para pelaksana kebijakan secara akurat dan konsisten (accuracy
and consistency) (Van Mater dan Varn Horn, dalam Widodo 1974). Disamping
itu, koordinasi merupakan mekanisme yang ampuh dalam implementasi kebijakan.
Semakin baik koordinasi komunikasi di antara pihak-pihak yang terlibat dalam
implementasi kebijakan, maka kesalahan akan semakin kecil, demikian sebaliknya.
5.
Disposisi atau sikap para pelaksana
Menurut
pendapat Van Metter dan Van Horn dalam Agustinus (2006): ”sikap penerimaan atau
penolakan dari agen pelaksana kebijakan sangat mempengaruhi keberhasilan atau
kegagalan implementasi kebijakan publik. Hal ini sangat mungkin terjadi karena
kebijakan yang dilaksanakan bukanlah hasil formulasi warga setempat yang
mengenal betul permasalahan dan persoalan yang mereka rasakan. Tetapi kebijakan
publik biasanya bersifat top down yang sangat mungkin para pengambil
keputusan tidak mengetahui bahkan tak mampu menyentuh kebutuhan, keinginan atau
permasalahan yang harus diselesaikan”.
Sikap
mereka itu dipengaruhi oleh pendangannya terhadap suatu kebijakan dan cara
melihat pengaruh kebijakan itu terhadap kepentingan-kepentingan organisasinya
dan kepentingan-kepentingan pribadinya. Van Mater dan Van Horn (1974)
menjelaskan disposisi bahwa implementasi kebijakan diawali penyaringan lebih dahulu melalui persepsi dari
pelaksana dalam batas mana kebijakan itu
dilaksanakan. Terdapat tiga macam elemen respon yang dapat mempengaruhi
kemampuan dan kemauannya untuk melaksanakan suatu kebijakan, antara lain
terdiri dari pertama, pengetahuan , pemahaman
dan pendalaman terhadap kebijakan, kedua, arah respon mereka apakah menerima,
netral atau menolak dan ketiga, intensitas terhadap kebijakan.
Pemahaman
tentang maksud umum dari suatu standar dan tujuan kebijakan adalah penting.
Karena, bagaimanapun juga implementasi kebijakan yang berhasil, bisa jadi gagal ketika para pelaksana, tidak
sepenuhnya menyadari terhadap standar dan tujuan kebijakan. Arah disposisi para
pelaksana terhadap standar dan tujuan kebijakan. Arah disposisi para pelaksana
terhadap standar dan tujuan kebijakan juga merupakan hal yang “crucial”.
Implementors mungkin bisa jadi gagal dalam melaksanakan kebijakan, dikarenakan
mereka menolak apa yang menjadi tujuan suatu kebijakan (Van Mater dan Van Horn,
1974).
Sebaliknya,
penerimaan yang menyebar dan mendalam terhadap standar dan tujuan kebijakan
diantara mereka yang bertanggung jawab untuk melaksanakan kebijakan tersebut,
adalah merupakan suatu potensi yang besar terhadap keberhasilan implementasi
kebijakan (Kaufman dalam Van Mater dan Van Horn, 1974). Pada akhirnya,
intesitas disposisi para pelaksana dapat
mempengaruhi pelaksana kebijakan. Kurangnya atau terbatasnya intensitas
disposisi ini, akan bisa menyebabkan gagalnya implementasi kebijakan.
6.
Lingkungan sosial, ekonomi dan politik
Hal
terakhir yang perlu diperhatikan guna menilai kinerja implementasi kebijakan
adalah sejauh mana lingkungan eksternal turut mendorong keberhasilan kebijakan
publik. Lingkungan sosial, ekonomi dan politik yang tidak kondusif dapat
menjadi sumber masalah dari kegagalan kinerja implementasi kebijakan. Karena
itu, upaya implementasi kebijakan mensyaratkan kondisi lingkungan eksternal
yang kondusif.
Teori Marilee S. Grindle (1980)
Menurut Grindle (1980), bahwa keberhasilan
implementasi kebijakan publik dipengaruhi oleh dua variabel yang fundamental,
yakni isi kebijakan (content of policy) dan lingkungan implementasi (context
of implementation).
1)
Variabel
isi kebijakan.
Variabel isi kebijakan mencakup hal sebagai berikut,
yaitu; (1) sejauh mana kepentingan kelompok sasaran atau target groups termuat
dalam isi kebijakan publik; (2) jenis manfaat yang diterima oleh target group;
(3) sejauh mana perubahan yang diinginkan oleh kebijakan. Dalam suatu
program yang bertujuan mengubah sikap dan perilaku kelompok sasaran relatif
lebih sulit diimplementasikan daripada sekedar memberikan bantuan langsung
tunai (BLT) kepada sekelompok masyarakat miskin; (4) apakah letak sebuah
program sudah tepat; (5) apakah sebuah kebijakan telah menyebutkan
implementornya dengan rinci; dan (6) sumberdaya yang disebutkan apakah sebuah
program didukung oleh sumberdaya yang memadai.
2)
Variabel
lingkungan kebijakan.
Variabel lingkungan kebijakan mencakup hal-hal sebagai
berikut; (1) seberapa besar kekuatan, kepentingan, dan strategi yang dimiliki
oleh para aktor yang terlibat dalam implementasi kebijakan; (2) karakteristik
institusi dan rezim yang sedang berkuasa; (3) tingkat kepatuhan dan
responsivitas kelompok sasaran.
Belum ada Komentar untuk "TEORI IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PUBLIK"
Posting Komentar