Tugas Analisis Kebijakan Publik
Rabu, 10 September 2014
Tambah Komentar
Konflik
Pertanahan Antara Petani Hutan Kemenyan di Humbang Hasundutan dengan PT. Toba
Pulp Lestari
Disusun
Oleh:
WANDI S
. SIAGIAN 110903003
WANDI NAPITUPULU 110903047
WANDI NAPITUPULU 110903047
VIRGINIA BASANA L S 110903049
DEPARTEMEN ILMU ADMINISTRASI NEGARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2013
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kemenyan merupakan
salah satu mata pencaharian utama masyarakat Humbang Hasundutan. Pohon
kemenyan ditananam masyarakat di lahan
yang tidak ditanami tanaman pertanian. Pohon Kemenyan yang dihasilkan
masyarakat di daerah ini kemudian dipasarkan di sentra perdagangan kemenyan.
Kabupaten Humbang Hasundutan memiliki hutan kemenyan kurang lebih seluas 5.593
ha.
Secara
geografis Kabupaten Humbang Hasundutan terletak pada 02001’ – 02020’ Lintang
Utara (LU) dan 98010’ – 98038’ Bujur Timur (BT). Kabupaten ini terletak pada
bagian tengah Provinsi Sumatera Utara. Luas wilayah kabupaten Humbang
Hasundutan mencapai 251.765,93 ha yang meliputi daratan dan perairan. Adapun
daratan memiliki luasan 250.271,02 ha dan perairan berupa danau (bagian dari
Danau Toba) seluas 149,91 ha. Kabupaten Humbang Hasundutan merupakan daerah
yang berada pada deretan pegunungan Bukit Barisan dengan ketinggian berada pada
kisaran antara 330 – 2.072 m di atas permukaan air laut. Topografi lahan
Kabupaten Humbang Hasundutan sendiri sangat bervariasi mulai dari datar,
landai, miring dan curam. Sebaran luas kawasan hutan berdasarkan fungsinya
didominasi oleh hutan produksi yang mencapai 64%, diikuti hutan lindung 33% dan
hutan produksi terbatas (HPT) sebanyak 3% dari luas kawasan hutan total.
Pengelolaan hutan produksi yang ada di wilayah administrasi Kabupaten Humbang
Hasundutan sebagian besar telah melibatkan pihak swasta dengan membangun hutan
tanaman sebagai bahan baku bubur kertas (pulp).
Hutan
kemenyan ini memiliki potensi yang sangat besar untuk dikembangkan sebagai
sarana meningkatkan pendapatan petani kemenyan secara langsung dan meningkatkan
perekonomian pedesaan secara tidak langsung. Oleh karena itu, dalam rangka
mengembangkan dan meningkatkan manfaat dari hutan kemenyan di Kabupaten Humbang
Hasundutan ini diperlukan penelitian-penelitian baik dari aspek ekologi maupun
sosial-ekonomi petani pengelolanya.
Pemanfaatan
kemenyan oleh masyarakat di beberapa daerah telah menjadi sumber pendapatan
mereka terutama petani kemenyan yang tinggal di sekitar kawasan hutan.
Salah satu potensi yang diharapkan yaitu didirikannya perusahaan industri
pengolah getah kemenyan di Kab. Humbang Hasundutan. Hal ini akan berpengaruh
besar terhadap pengembangan kota Dolok Sanggul dimana faktor produksi dan jasa
yang akan diperoleh semakin besar sehingga masyarakat secara keseluruhan dapat
merasakan dampak dari komoditi ini. Dengan adanya industri pengolah getah
kemenyan masyarakat pengelola pohon kemenyan dapat merasakan akses pasar yang
cepat dan mengetahui harga pasar tanpa agen pemasaran. Getah kemenyan merupakan
komoditi ekspor yang memiliki peminat di pasar internasional. Harga dan peluang
pasarnya yang cukup prospektif seharusnya memberikan motivasi bagi berbagai
pihak untuk mengembangkan tanaman kemenyan ini. Oleh karena itu, kemenyan
diharapkan dapat dijadikan komoditi unggulan dalam pengembangan hutan rakyat
dan hutan tanaman.
Salah satu permasalahan dalam pengelolaan
pohon kemenyan adalah rendahnya pendapatan masyarakat dari usaha kehutanan
serta belakangan ini muncul konflik antara petani kemenyan denga PT. Toba Pulp
Lestari ( TPL) Mengenai Persengketaan lahan dimana PT. TPL yang memiliki
wilayah sektor terbesar di Kab. Humbang Hasundutan. Sektor PT.TPL memasuki
wilayah hutan kemenyan masyarakat sehingga sering terjadi konflik antar kedua
bela pihak. Pihak TPL akan menanami pohon eukaliptus di hutan rakyat sebagai
bahan baku pulp sehingga menyebabkan konflik antara PT. TPL dengan masyarakat
petani kemenyan yang memperoleh penghasilan dari pertanian kemenyan.
Berdasarkan uraian tersebut diatas, kami tertarik untuk membahas tentang konflik yang terjadi antara Petani kemenyan di Humbang Hasundutan dengan PT. Toba Pulp Lestari.
1.2 PERUMUSAN
MASALAH
Berdasarkan uraian latar belakang
masalah yang telah di kemukakan di atas maka rumusan masalah yang timbul dan
akan di jawab melalui penelitian adalah: “ Apa yang menyebabkan terjadinya Konflik antara Petani kemenyan di Humbang
Hasundutan dengan PT. Toba Pulp Lestari? “
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Data Luas Hutan
kemenyan di Kabupaten Humbang Hasundutan
Menurut data dari BPS
Kab. Humbang Hasundutan (2009) tanaman kemenyan tersebar di 7 kecamatan dari
sepuluh kecamatan secara keseluruhan artinya tidak semua kecamatan memiliki
kebun kemenyan. Perbandingan sebaran luas tanaman kemenyan beserta produksinya pada
masing-masing kecamatan disajikan pada Tabel 7.
Tabel
7. Sebaran tanaman kemenyan di Kabupaten Humbang Hasundutan
No Nama Kecamatan Luas Tanaman
Kemenyan (ha) Produksi Kemenyan
(ton)
1 Pakkat 57,00 16,53
2 Onan Ganjang 1.039,00 294,25
3 Sijamapolang 592,00 125,25
4 Lintong Nihuta 0,00 0,00
5 Paranginan 0,00 0,00
6 Dolok Sanggul 1.403,50 416,99
7 Pollung 284,00 84,21
8 Parlilitan 818,50 357,09
9 Tarabintang 27,00 10,50
10 Baktiraja 0,00 0,00
TOTAL 4.221,00 1.304,82
2 Onan Ganjang 1.039,00 294,25
3 Sijamapolang 592,00 125,25
4 Lintong Nihuta 0,00 0,00
5 Paranginan 0,00 0,00
6 Dolok Sanggul 1.403,50 416,99
7 Pollung 284,00 84,21
8 Parlilitan 818,50 357,09
9 Tarabintang 27,00 10,50
10 Baktiraja 0,00 0,00
TOTAL 4.221,00 1.304,82
Sumber:
BPS Kab. Humbang Hasundutan Tahun 2009
Tombak Haminjon merupakan
sumber hidup utama, (60% rakyat Kab.Humbahas petani kemenyan);
• Dari sektor pertanian/perkebunan, haminjon merupakan komoditi
unggulan daerah dengan jumlah produksi + 60 ton/bulan.
• Data Dinas Pertanian Kabupaten Humbang Hasundutan, produksi kemenyan pada tahun
2004 sebesar 1.129,30 ton dan 4.559,28 ton pada tahun 2005, dengan nilai transaksi
diperkirakan mencapai Rp 2,1 Miliar tiap minggunya.
• Untuk kecamatan Pollung, berdasarkan data Dinas Pertanian Humbang
Hasundutan, Produksi Tanaman kemenyan tahun 2005 sebesar 14, 64 ton.
Haminjon (Kemenyan) merupakan tanaman endemik (hanya tumbuh di tempat
tertentu di bumi); karena itu harus diselamatkan dari kepunahan.Tombak Haminjon
merupakan hulu sungai-sungai (Binanga Bolon, Aek Sigarang-garang, Aek Sisaetek, Aek Pollung, Aek
Pansurbatu. Kelima aliran sungai ini bertemu di Aek Silang yang
selanjutnya mengalir ke kecamatan Bakti Raja dan akhirnya bermuara di Danau
Toba. Selain itu ada beberapa sungai lainnya yakni Aek Simonggo yang
mengalir ke arah kecamatan Parlilitan dan Tarabintang; Aek Sibundong
yang mengalir ke kecamatan Doloksanggul-Sijamapolang dan Onan Ganjang, aek
Hirta yang mengalir ke kecamatan Pakkat, Tara Bintang, Parlilitan, Onan
Ganjang, Sijamapolang, Doloksanggul, dan Bakti Raja. Selain hulu sungai, kawasan ini juga merupakan DTA Danau Toba. Haminjon tumbuh dan menghasilkan kalau ada tanaman pelindung (kayu alam
lainnya).Tombak Haminjon merupakan identitas diri masyarakat adat dua huta.
Haminjon berfungsi sebagai bahan obat-obatan, kosmetik, upacara ritual adat dan
keagamaan.
2.2 Gambaran Konfil yang terjadi antara Petani Kemenyan di Humbang
Hasundutan
dengan PT. Toba Pulp Lestari
dengan PT. Toba Pulp Lestari
·
Petani Kemenyan Bentrok dengan Karyawan
TPL
Rabu, 27 Februari 2013
Rabu, 27 Februari 2013
MEDAN (Suara Karya): Puluhan petani kemenyan di Desa Pandumaan dan
Sipituhuta, Kecamatan Polung, Kabupaten Humbang Hasundutan (Humbahas), Sumatera
Utara, kembali terlibat bentrok dengan karyawan PT Toba Pulp Lestari (TPL).
Bentrokan itu terjadi
karena puluhan warga keberatan lahan hutan kemenyan yang mereka anggap sebagai
hak ulayat dimasuki karyawan perusahaan, yang hendak melakukan penebangan.
Sebanyak 14 petani ditangkap petugas Brimob dalam bentrokan tersebut.
Informasi diperoleh dari
masyarakat setempat, bentrok bermula saat puluhan petani memblokir jalan menuju
hutan ekaliptus. Langkah itu diambil berdasarkan kesepakatan petani, TPL,
kontraktor, Kapolres Humbang Hasundutan, serta Camat Polung, pada 20 Februari
2013, yang menetapkan area itu sebagai kawasan berkonflik.
Namun, pada 23 Februari
2013, petani kembali menemukan karyawan TPL memasuki kawasan tersebut secara
beramai-ramai dan melakukan penebangan. Meski para karyawan menanami kembali
pohon yang mereka tebang, tapi warga tetap tidak terima. Mereka lantas
mengajukan keberatan secara langsung ke TPL, didampingi sejumlah aktivis.
Keesokan harinya, petani yang berjaga juga kembali menemukan karyawan TPL
melakukan penebangan, sehingga bentrok nyaris pecah. Bentrok baru terjadi pada
Senin (25/2). Para petani datang dengan jumlah lebih banyak. Sekitar 250 orang
mendatangi wilayah tombak di Dolok Ginjang untuk mengusir para pekerja TPL.
Ke-14 petani yang
ditahan berasal dari Desa Sipituhuta yakni Hanup Marbun (37), Leo Marbun (40),
Onri Marbun (35), Jusman Sinambela (50), Jaman Lumbanbatu (40), Roy Marbun
(35), Fernando Lumban Gaol (30), Filter Lumban Batu (45) dan Daud Marbun (35).
Lalu dari Desa Pandumaan yakni Elister Lumban Gaol (45), Janser Lumban gaol
(35), Poster Pasaribu (32), Madilaham Lumban Gaol (32), Tumpal Pandiangan (40).
Direktur Kelompok Studi
dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM) Sumut, Suryati Simanjuntak, yang
mengadvokasi kelompok tani ekaliptus, menyesalkan sikap TPL yang seolah tidak
konsisten dengan kesepakatan yang telah dibuat. TPL dinilai telah mengangkangi
para pengambil kebijakan di Humbahas, yang ikut serta dalam kesepakatan
tersebut.
Dia juga mengaku heran
dengan sikap polisi yang cenderung berpihak pada perusahaan pengolahan bubur
kertas itu. Saat protes berlangsung, petani justru berhadapan dengan polisi.
·
Pertahankan Pohon Kemenyan, 21 Petani Ditangkap
Rabu, 27
Februari 2013 02:49 WIB
Berita Terkait
* Sengketa Lahan
MEDAN - Konflik kepemilikan lahan kembali berujung bentrok antara petani dengan pekerja PT Toba Pulp Lestari (TPL) di Kabupaten Humbanghasundutan (Humbahas), Sumut. Sedikitnya 21 petani ditangkap dalam dua operasi terpisah ketika mempertahankan tanaman kemenyan dari perusahaan yang memroduksi kertas itu.
Penangkapan itu langsung menimbulkan reaksi keras karena polisi dianggap tidak adil. Sebab kata Direktur Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM) Suryati, bentrokan itu diawali aktivitas PT TPL di lahan adat yang selama ini dikenal hutan kemenyan. “Petani cuma mempertahankan haknya. Dan setelah bentrok terjadi, kenapa hanya dari kelompok petani yang ditangkap,” kata Suryati, Selasa (26/2).
Bentrokan itu pecah Senin (25/2) sore yang berujung penangkapan 16 petani. Selanjutnya pada Selasa (26/2) dini hari, polisi menyeweeping pemukiman penduduk dan kembali menangkap lima petani lainnya. Suryati mengatakan para petani itu umumnya penduduk Desa Pandumaan, dan Desa Sipituhuta, Kecamatan Pollung, Humbahas.
“Kami akan mengadvokasi mereka agar segera dibebaskan. Aparat kita ini terlalu tegas kepada kaum lemah,” ujarnya.
Ketegangan itu sendiri diakuinya sudah terjadi awal Januari 2013 ketika ada informasi PT TPL mendapat izin rencana kerja tahunan (RKT) 2013 untuk mengelolah lahan seluas 3.000 hektar di lokasi itu. Warga yang tak ingin tanaman kemenyan ditumbangkan untuk diganti dengan tanaman eucalyptus langsung bersiaga penuh.
Suryati menilai apa yang dilakukan petani sangat wajar, karena hutan adat itu telah menjadi sumber kehidupan selama ini. Justru dalam kasus ini Suryati meminta polisi mengusut kronologis keluarnya izin operasional PT TPL yang merambah hingga ke hutan adat.
Pihak kepolisian sendiri belum memberikan keterangan apapun mengenai ketegangan itu. Kabid Humas Polda Sumut Kombes Heru Prakoso sama sekali tak menanggapi permasalahan itu ketika dikonfirmasi.(mad)
MEDAN - Konflik kepemilikan lahan kembali berujung bentrok antara petani dengan pekerja PT Toba Pulp Lestari (TPL) di Kabupaten Humbanghasundutan (Humbahas), Sumut. Sedikitnya 21 petani ditangkap dalam dua operasi terpisah ketika mempertahankan tanaman kemenyan dari perusahaan yang memroduksi kertas itu.
Penangkapan itu langsung menimbulkan reaksi keras karena polisi dianggap tidak adil. Sebab kata Direktur Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM) Suryati, bentrokan itu diawali aktivitas PT TPL di lahan adat yang selama ini dikenal hutan kemenyan. “Petani cuma mempertahankan haknya. Dan setelah bentrok terjadi, kenapa hanya dari kelompok petani yang ditangkap,” kata Suryati, Selasa (26/2).
Bentrokan itu pecah Senin (25/2) sore yang berujung penangkapan 16 petani. Selanjutnya pada Selasa (26/2) dini hari, polisi menyeweeping pemukiman penduduk dan kembali menangkap lima petani lainnya. Suryati mengatakan para petani itu umumnya penduduk Desa Pandumaan, dan Desa Sipituhuta, Kecamatan Pollung, Humbahas.
“Kami akan mengadvokasi mereka agar segera dibebaskan. Aparat kita ini terlalu tegas kepada kaum lemah,” ujarnya.
Ketegangan itu sendiri diakuinya sudah terjadi awal Januari 2013 ketika ada informasi PT TPL mendapat izin rencana kerja tahunan (RKT) 2013 untuk mengelolah lahan seluas 3.000 hektar di lokasi itu. Warga yang tak ingin tanaman kemenyan ditumbangkan untuk diganti dengan tanaman eucalyptus langsung bersiaga penuh.
Suryati menilai apa yang dilakukan petani sangat wajar, karena hutan adat itu telah menjadi sumber kehidupan selama ini. Justru dalam kasus ini Suryati meminta polisi mengusut kronologis keluarnya izin operasional PT TPL yang merambah hingga ke hutan adat.
Pihak kepolisian sendiri belum memberikan keterangan apapun mengenai ketegangan itu. Kabid Humas Polda Sumut Kombes Heru Prakoso sama sekali tak menanggapi permasalahan itu ketika dikonfirmasi.(mad)
·
Petani Kemenyan Demo di
Mapoldasu
Submitted by
harianmandiri on Wed, 24/10/2012 - 12:34
MEDAN, MANDIRI:Ratusan petani di Desa Pandumaan
Sipituhuta, Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbang Hasundutan (Humbahas)
menggelar aksi demo, di depan Mapoldasu meminta agar rekan mereka yang
ditangkap segera di bebaskan, Selasa (23/10).
Kordinator aksi, P Marbun dalam orasinya mengatakan, penangkapan delapan orang petani yang dilakukan oleh polisi sangatlah tidak mendasar dan terkesan memihak kepada pihak perusahaan, karena jelas-jelas pihak perusahaan PT TPL (Toba Pulp Lestari) merebut tanah rakyat.
Kordinator aksi, P Marbun dalam orasinya mengatakan, penangkapan delapan orang petani yang dilakukan oleh polisi sangatlah tidak mendasar dan terkesan memihak kepada pihak perusahaan, karena jelas-jelas pihak perusahaan PT TPL (Toba Pulp Lestari) merebut tanah rakyat.
Dia menjelaskan, masyarakat hanyalah mempertahankan
haknya yaitu mengelola lahan hutan kemenyan yang telah dikelola dari ratusan
tahun yang lalu, dan tanah tersebut merupakan tanah adat yang dimiliki nenek
moyang kami.
"Kami minta delapan warga yang ditangkap segera
dibebaskan, karena lahan yang dikelola sebanyak 4100 ha adalah milik warga,
bukan milik perusahaan," katanya.
Disebutkan, polisi tidak berani menangkap dan menutup PT TPL yang melakukan aktifitas penebangan pohon (illegal loging, red). Apakah karena polisi mendapatkan setoran setiap bulannya. "Diduga polisi menerima upeti dari perusahaan," bilangnya.
Dalam tuntutannya, pendemo meminta agar polisi menutup dan mencabut izin PT TPL, bebaskan delapan warga yang ditangkap, tarik personil Sat Brimob dari tanah rakyat Pandumaan dan Sipituhuta, selamatkan hutan kemenyan dari penebangan PT TPL, dan mendesak pemerintah menyelesaikan konflik agraria.Berdasarkan pantauan, massa aksi yang tergabung dari beberapa elemen yaitu Bakumsu, KSPPM, LBH Medan, Kontras, dan GMKI Medan menutup pintu keluar Mapoldasu Jalan Sisingamangaraja Km 10,5 Medan, sehingga membuat aktifitas keluar masuk menjadi terhambat.
Disebutkan, polisi tidak berani menangkap dan menutup PT TPL yang melakukan aktifitas penebangan pohon (illegal loging, red). Apakah karena polisi mendapatkan setoran setiap bulannya. "Diduga polisi menerima upeti dari perusahaan," bilangnya.
Dalam tuntutannya, pendemo meminta agar polisi menutup dan mencabut izin PT TPL, bebaskan delapan warga yang ditangkap, tarik personil Sat Brimob dari tanah rakyat Pandumaan dan Sipituhuta, selamatkan hutan kemenyan dari penebangan PT TPL, dan mendesak pemerintah menyelesaikan konflik agraria.Berdasarkan pantauan, massa aksi yang tergabung dari beberapa elemen yaitu Bakumsu, KSPPM, LBH Medan, Kontras, dan GMKI Medan menutup pintu keluar Mapoldasu Jalan Sisingamangaraja Km 10,5 Medan, sehingga membuat aktifitas keluar masuk menjadi terhambat.
·
Poldasu Didemo Petani Hutan
Kemenyan Humbahas
Laporan:
Jhonson Susanto
Poldasu diminta tidak membawa konflik lahan antara PT Toba Pulp Lestari (TPL) dan masyarakat adat Petani Hutan Kemenyan Pandumaan dan Sipituhuta, Kabupaten Humbang Hasundutan (Humbahas), keranah hukum. Pasalnya, konflik itu masih menunggu jawaban dari Kementerian Kehutanan terkait desakan melalui surat Bupati Humbang Hasundutan dengan surat Nomor:522/083/DKLH/2012 tertanggal 25 Juni 2012.
"Kementerian Kehutanan RI seharusnya mempercepat mengeluarkan keputusan sesuai surat Bupati Humbahas dengan surat Nomor:522/083/DKLH/2012 tertanggal 25 Juni 2012, agar tanah/wilayah adat ini dikeluarkan dari konsesi TPL dan kawasan hutan Negara. Dan sesuai Keputusan DPRD Humbahas Nomor 14 Tahun 2012 tentang Rekomendasi Panitia Khusus SK 44/Menhut-II/2005 dan Eksistensi PT Toba Pulp Lestari di Humbahas. Poldasu harus bijak dan bukan menjawab hukum semata apalagi menahan 16 warga Humbahas, karena masih dalam menunggu keputusan Kementerian Kehutanan," tegas Koordinator Tim Advokad Masyarakat Korban PT TPL (Tamak TPL), Mangaliat Simarmata SH saat mendatangi Mapoldasu bersama masyarakat Petani Hutan Kemenyan di Jalan Sisingamangaraja Km 10,5, Medan, Selasa (5/3/2013).
Mangaliat Simarmata SH dan Tamak TPL menyebutkan, ratusan masyarakat Desa Pandumaan dan Desa Sipituhuta, Humbahas serta kelompok elemen mahasiswa yang mengatasnamakan Serikat Bersama (Sekber) Tutup PT TPL mendatangi Poldasu ini dengan tegas meminta 16 warga Desa Pandumaan dan Desa Sipituhuta, Humbahas dibebaskan dari tahanan.
16 warga yang ditahan di Direktorat Tahanan dan Titipan Barang Bukti (Dit Tahti) Poldasu yakni Zaman Lumbanbatu, Tumpal Pandiangan, Mampu Lumbangaol, Bitler Lumbanbatu, Leo Lumbanbatu, Madilaham Lumbangaol, Irianto Lumbangaol, Ranap Lumbangaol, Giot Tariper Lumbangaol, Gaol Lumbangaol, Roy Marbun, Karson Pasaribu, Janter Lumbangaol, Jusman Sinambela, Elister Lumbangaol dan seorang pendeta yakni Pdt Haposan Sinambela.
Menurut Mangaliat, konflik itu memanas pada, Senin (25/02/2013), dimana kondisi ini karena TPL mulai menanam Kayu Putih (Eucalyptus) di wilayah Hutan Kemenyan di Dolok Ginjang, padahal sesuai kesepakatan proses tanam menanam dihentikan dahulu. Warga protes hingga terjadi bentrok dengan massa karyawan TPL.
Parahnya, petugas Brimob yang menjaga perusahaan menangkapi sekitar 31 warga, 16 orang ditetapkan tersangka dan 15 dibebaskan dengan alasan tidak terbukti bersalah.
Diterangkannya, kejadian penangkapan ini berawal, Rabu (20/02/13), ada pertemuan di Hutan Dolok Ginjang, Pandumaan, dihadiri puluhan orang terdiri dari Petani Hutan Kemenyan, TPL, kontraktor, Kapolres dan Camat Pollung. Pertemuan menyepakati, sementara karyawan TPL tidak bisa memasuki kawasan berkonflik, termasuk menebangi kemenyan yang dipandang warga bermasalah.
"Yang disesalkan, Sabtu (23/02/2013), petani hutan kemenyan memergoki karyawan TPL memasuki kawasan berkonflik secara beramai-ramai. Mereka menebangi kemenyan dan segera menanami. Warga yang tidak terima protes, tetapi tidak diindahkan TPL," bebernya.
Lanjut Mangaliat, Minggu (24/02/2013), bentrokan antara massa karyawan TPL dengan warga desa terjadi di hutan kemenyan. Kalah jumlah, warga desa pulang ke perkampungan.
"Senin (25/02/13), pukul 08.00 WIB, sekitar 250 laki-laki pergi ke Tombak di Dolok Ginjang menyusul informasi mengatakan TPL menebang dan menanam serta memupuk kayu putih," cerita Mangaliat.
Katanya, pada hari yang sama sekitar pukul 13.52 WIB, warga Desa Pandumaan membunyikan lonceng gereja.
Berdasarkan kabar dari Tombak bahwa Roy Lumbanbatu, pemuda dari Sipituhuta, ditangkap Brimob. Mobil polisi lewat Marade, sebuah persimpangan jalan menuju lokasi konflik.
Kaum ibu memberhentikan mobil dengan kayu. Namun, mobil Brimob tidak berhenti dan mobil itu hampir menabrak ibu-ibu ini. Tiba-tiba terdengar suara seperti tembakan. Kaum ibu mundur dan dua mobil pun meneruskan perjalanan.
"Parahnya lagi, penangkapan yang dilakukan oknum anggota Brimob, seakan-akan masyarakat yang melakukan kejahatan. Cara penangkapan yang sadis, diseret hingga berujung kekerasan terhadap wanita yang dilakukan oknum Brimob. Seharusnya polisi melihat kronologis kasus tersebut kenapa bisa terjadi bentrok antara warga dan PT TPL. Dengan kasus ini, kita menilai kinerja Polri bukan lagi melayani, mengayomi, melindungi masyarakat dan penegakan hukum, namun ada kuat indikasi keberpihakan kepada pengusaha," tegasnya.
Tampak para anggota keluarga diperkenankan bertemu dengan suami dan anak yang di tahan. Namun desakan untuk pembebasan tahanan tersebut belum dikabulkan. Pasalnya, pihak Poldasu masih melakukan proses yang harus dipenuhi.
Sekadar mengingatkan, konflik dilatarbelakangi keberadaan TPL yang telah mendapatkan konsesi hingga 200.000 hektar. Padahal hutan kemenyan telah turun menurun, sejak 1800, menjadi tumpuan hidup warga.
Berbagai upaya dilakukan masyarakat, mengadukan persoalan ini di daerah sampai pusat. Terakhir, bersama Pansus DPRD Kabupaten Humbang Hasundutan sudah pemetaan menentukan tapal batas.
Hasil dari pemetaan ini pun sudah disampaikan ke Kementerian Kehutanan melalui Bupati Humbang Hasundutan dengan surat Nomor:522/083/DKLH/2012 tertanggal 25 Juni 2012.
Isinya, agar tanah atau wilayah adat ini dikeluarkan dari konsesi TPL dan kawasan hutan negara dan ini juga sesuai Keputusan DPRD Kabupaten Humbang Hasundutan Nomor 14 Tahun 2012 tentang Rekomendasi Panitia Khusus SK 44/Menhut-II/2005 dan Eksistensi PT Toba Pulp Lestari di Kabupaten Humbang Hasundutan. Namun, hingga kini, belum ada kejelasan dari Kementerian Kehutanan. [ans]
· TPL Bantah Langgar Kesepakatan dengan Petani Kemenyan
Wahyudi Siregar - Okezone
Kamis, 28 Februari 2013 14:49 wib
Browser anda tidak mendukung iFrame
Ilustrasi
Petani yang ditangkap karena dianggap merusak kendaraan operasional serta tanaman di lahan konsesi, balik menuding perusahaan dan Kapolres Humbas ingkar dengan kesepakatan yang dibuat pada 20 Januari. Kesepakan itu menyebutkan lahan konsesi yang menjadi subjek konflik berstatus stanvas.
Direktur Badan Bantuan Hukum Sumut, Benget Silitonga, mengatakan, perusahaan pengelola bubur kertas tersebut memang kerap ingkar janji. Pada 1986 ketika masih berlaberl Indorayon, perusahan pernah membuat kesepakatan di depan masyarakat untuk menghentikan operasional, tapi nyatanya kegiatan tetap dilakukan.
Dia melanjutkan, DPRD Sumut telah merekomendasikan agar Kementerian Kehutanan mengeluarkan tanah sengeketa yang ada di konsesi TPL, namun perusahaan membandel lantaran memegang SK Menhut sebagai dasar untuk beroperasi. Ironisnya Menhut sendiri tidak pernah turun tangan berupaya menyelesaikan sengketa tersebut dan tidak menanggapi rekomandasi dari DPRD Sumut.
Sehingga menurutnya, pembakaran kendaraan perusahaan oleh para petani merupakan bentuk kekecewaan dari persoalan yang berkepanjangan. "Kasus ini bukan persoalan baru dan sudah ada rekomendasi dari DPRD Sumut agar Menhut mengeluarkan tanah yang dipersengketakan dari konsesi TPL," jelas Benget Silitonga kepada Okezone di Medan Kamis, (28/2/2013).
Sementara itu, PT Toba Pulp Lestari bersikeras bila operasional mereka di lahan yang disebut masyarakat petani sebagai hak ulayatnya, memiliki dasar hukum. Kepala Divisi Humas TPL, Chairudin dalam keterangan persnya mengatakan, jika kesepakatan yang ditandatangi TPL bersama petani di depan Polresta Humbahas adalah kesepakatan untuk menghentikan operasional selama seminggu bukan seterusnya.
Dia menerangkan, konsesi HTI kita berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 493/Kpts-II/1992 tanggal 1 Juni 1992, jo SK No 58/Menhut-II/2011 tanggal 28 Februari 2011. RKU (Rencana Kerja Umum)-nya berdasarkan SK Menteri Kehutanan No SK 109/VI-BHt/2010, dan Rencana Kerja Tahunan (RKT)-nya untuk 2012 berdasarkan Keputusan No.427/TPL-Um/V/2012 tanggal 30 Mei 2012.
Toba Pulp adalah pemegang sertifikat PHPL (Pengelolaan Hutan Produksi Lestari) berdasarkan sertifikat nomor PHPL 00001 tanggal 25 Oktober 2010, dan izin Self Approval dari Dirjen Bina Usaha Kehutanan No. S 693/BUHT-3/2011 tanggal 22 Desember 2011.
"Jadi kita punya dasar hukum. Memang pernah ada kesepakatan penghentian produksi, tapi itu hanya untuk seminggu karena untuk menghindari bentrokan,” bantahnya.
·
Buntut Bentrokan Antara Karyawan TPL Dengan Petani
Kemenyan
Ratusan Warga Humbahas Gelar
Kebaktian di Depan Polres
27 February, 2013
DOLOKSANGGUL- Ratusan warga Desa Pandumaan dan Sipituhuta,
Kecamatan Pollung, Humbang Hasundutan (Humbahas), mendatangi Polres Humbahas. Kedatangan
warga tersebut untuk mendesak di bebaskannya 31 warga dari 2 desa yang ditahan
Polres Humbahas, akibat insiden dengan pihak PT Tuba Pulb Lestari (TPL).
Kedatangan para petani kemenyan ini langsung menggelar
kebaktian massal di depan kantor Polres Humbahas. Aksi ibadah massal itu mereka
gelar di badan Jalan Lintas Sumatera (Jalinsum) Humbahas dan langsung dipimpin
beberapa pendeta dari Persatuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI), gereja Katolik
dan Praeses HKBP Humbahas. Tanpa memperdulikan hujan turun pelaksanaan ibadah
massal ini mereka lakukan dengan tertib dan hikmat.
Selain menuntut pelepasan 31 warga yang ditahan, PGI juga
sangat menyesalkan aksi penyerangan yang dilakukan Polres Humbahas ke
perkampungan warga pada Selasa dini hari (26/2) kemarin. “Laporan kejadian ini
kami dapat dari jemaat gereja di Pollung. Kami sangat menyesalkan sikap
kepolisian yang demikian,” ujar Ketua PGI Humbahas, Jendyaman Gultom.
Petinggi lainnya juga menilai, tindakan yang dilakukan aparat
kepolisian adalah bentuk tekanan atas sejumlah kepentingan para pemodal. Polisi
juga diminta memahami letak dasar persoalan. Pasalnya warga juga tidak
menginginkan terjadinya insiden kekerasan antara masyarakat adat dengan pekerja
TPL.
“Masyarakat tidak memiliki kekuatan hukum, karena adanya
alasan izin menteri dan sejumlah peraturan pendukung lainnya. Kami juga
menyesalkan Pemkab yang tidak memberikan dukungan hukum atas perjuangan
masyarakat adat, seperti pembuatan perda tanah adat,” ujar Erikson Simbolon
perwakilan Khatolik.
Sebelumnya, aksi warga dipicu ketika para petani kemenyan
mengetahui adanya pengerjaan lahan di kawasan hutan kemenyan yang sudah
dikelola warga secara turun temurun hingga 26 generasi.
Warga masuk ke kawasan hutan dan meminta para pekerja
perusahaan pembuburan kayu tersebut untuk menghentikan aktivitas. Lantaran
tidak terima, maka adu mulut pun terjadi yang berujung dengan kontak fisik
antara warga dengan pekerja. Akibat aksi tersebut, satu unit truk PT TPL
dibakar massa.
Dalam aksi itu, 16 orang ditahan pihak kepolisian. Karena ada
pemblokade-an yang dilakukan aparat polisi disusul dengan penangkapan 15 warga
lainnya. Hingga saat ini total warga yang ditahan mencapai 31 orang dengan
keseluruhannya laki-laki.
Usai pelaksanaan ibadah, Benson Lumbanbatu menjelaskan bahwa
setelah melakukan penangkapan terhadap 16 warga, Kapolres Humbahas turun
langsung bersama anggotanya ke 2 desa untuk melakukan penyisiran. Dalam
penyisiran tersebut banyak rumah warga yang dirusak, bahkan lemari salah
seorang warga juga dirusak sehingga warga tersebut kehilangan 10 gram emas.
Dalam setuasi tersebut warga dari 2 desa tetap bertahan
didepan Mapolres Humbahas, tanpa memperdulikan cuaca dingin dan hujan.
Sementara pihak Polres Humbahas belum dapat dimintai keterangan seputar
peristiwa tersebut. (mag 20)
|
BERITA -
sumatera.infogue.com - MEDAN, -dot-dot-com - PT
Toba Pulp Lestari untuk sementara diminta tidak menebangi pohon kemenyan
di hutan-hutan yang masuk wilayah Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera
Utara. Selama ini, petani kemenyan di Humbang Hasundutan resah oleh
penebangan pohon kemenyan secara sporadis oleh PT Toba Pulp
Lestari.
Dalam pertemuan yang difasilitasi, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) asal Sumatera Utara (Sumut) PT Toba Pulp Lestari (TPL) dengan Pemerintah Kabupaten Humbang Hasundutan beserta DPRD setempat di Medan, Selasa (14/7), diputuskan, untuk sementa ra waktu PT TPL dilarang menebangi pohon kemenyan di wilayah hutan Kabupaten Humbang Hasundutan. Menurut Anggota DPD asal Sumut Parlindungan Purba, petani kemenyan di Humbang Hasundutan selama ini mengeluhkan penebangan yang dilakukan TPL secara sporadis. Sementara masyarakat Humbang Hasundutan penghasilannya sangat bergantung getah kemenyan yang mereka sadap. "Selama ini memang tidak jelas, mana kemenyan milik masyarakat dengan pohon kemenyan yang masuk dalam wilayah RKT (rencana kerja tahunan) HTI PT TPL di Humbang Hasundutan," ujar Parlindungan. Untuk itu, kata Parlindungan, pertemuan PT TPL dengan Pemkab Humbang Hasundutan dan DPRD setempat bisa dianggap positif. "Karena sebelumnya memang PT TPL, Pemkab Humbang Hasundutan dan DPRD tidak pernah duduk bersama membicarakan, mana saja pohon kemenyan yang boleh ditebang," katanya. Menurut Asisten I Pemkab Humbang Hasundutan Onggung Silaban, masyarakat di wilayahnya memang turun temurun menjadi petani kemenyan. Masyarakat tidak mempermasalahkan izin HTI PT TPL di Kabupaten Humbang Hasundutan. "Mereka hanya meminta PT TPL memiliki hati nurani, agar tidak mematikan sumber penghidupan masyarakat sebagai petani kemenyan," ujar Onggung. Selain itu, penebangan pohon kemenyan di wilayah hutan Kabupaten Humbang Hasundutan kata Onggung membawa dampak lain, selain semakin berkurangnya sumber penghasila masyarakat. Penebangan oleh PT TPL membawa dampak lain berupa menyusutnya air sungai di hutan-hutan tersebut. "Dan sekarang dampak tersebut sudah sangat dirasakan masyarakat," katanya. Pemkab Humbang Hasundutan menurut Onggung dalam posisi menyampaikan aspirasi warganya yang mengeluhkan penebangan pohon kemenyan oleh PT TPL. Selama ini kami memang tidak secara resmi bertemu dengan PT TPL. "Apa yang kami sampaikan ini merupakan keluhan warga," katanya. Tak menebang Menurut Direktur PT TPL Juanda Panjaitan, pada prinsipnya PT TPL tak berkeberatan dengan keluhan petani kemenyan. Dia mengatakan, PT TPL sudah memberhentikan operasi di wilayah-wilayah yang menjadi sengketa dengan masyarakat. Namun Juanda menyatakan, PT TPL juga meminta agar masyarakat maupun Pemkab Humbang Hasundutan melihat dengan jelas fakta di lapangan, terkait wilayah RKT HPHTI PT TPL. "Kami tidak asal menjalankan operasi, karena ada aturan dan ketentuannya dari Departemen Kehutanan. Kalau memang kami sudah memberhentikan operasi di satu wilayah, jangan juga kemudian ada pihak-pihak yang memanfaatkan kondisi ini dengan menyebarkan isu kami melakukan penebangan kemenyan malam-malam," kata Juanda. Juanda mengatakan, PT TPL siap melakukan mapping bersama Pemkab Humbang Hasundutan, DPRD dan masyarakat, melihat dimana pohon-pohon kemenyan yang telah disadap masyarakat. "Kami tidak akan menebang pohon-pohon yang telah disa dap masyarakat, meski pohon-pohon tersebut masuk dalam wilayah HP HTI PT TPL," katanya. |
·
MEDAN, KOMPAS.com — Sekitar 100
orang warga Pandumaan dan Siputuhuta, Kabupaten Humbang Hasundutan, bersama puluhan
aktivis di Sumatera Utara mendemo Polda Sumatera Utara, Selasa (5/3/2013).
Mereka meminta pembebasan 16 warga dua desa yang ditangkap karena konflik
lahan kemenyan dengan PT Toba Pulp Lestari.Benget Silitonga, salah seorang orator mengatakan, dirinya tahu hukum sehingga menuntut pembebasan warga. "Kami tidak mau polisi menjadi centeng korporasi," tuturnya.
Bentrokan terjadi di lahan yang masih status quo. Petani mempertahankan lahan kemenyan yang ditanami pohon ekaliptus oleh perusahaan. Polisi dinilai lebih berpihak kepada perusahaan.
Pengunjuk rasa minta bertemu dengan Kapolda Sumut, tetapi Kapolda belum muncul.
Mereka juga membakar kemenyan selama demonstrasi. Bau harum kemenyan ikut mewarnai demonstrasi.
Konflik lahan kemenyan warga Sipituhuta dan Pandumaan dengan PT TPL telah berlangsung sejak tahun 2009. Dewan Kehutanan Nasional bahkan telah merekomendasikan dikeluarkannya lahan itu dari kawasan hutan dan konsesi perusahaan. Namun, hingga kini rekomendasi tidak dijalankan.
·
Petani Kemenyan Serbu DPRD Humbahas, Tolak RUU Pertanahaan
Massa yang mengatasnamakan aliansi
masyarakat adat kabupaten Humbahas tampak duduk bersama dengan DPRD Humbahas.
Rabu 21 September 2011. Massa yang duduk bersama dengan DPRD, meminta agar
menolak RUU pertanahaan karena akan menghancurkan masyarakat petani khususnya
petani Humbahas ini.
Tidak setuju atas rancangan
undang-undang pertanahaan yang kini masih digodok di, DPR RI. Ratusan
masyarakat petani kemenyan ‘serbu’ kantor, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD) Humbahas menuntut dalam penolakkan rancangan undang-undang pertanahaan,
Rabu 21 September 2011 sekira pukul 09.45 WIB.
Menurut kedatangan masyarakat ini,
bahwasanya apabila terjadi undang-undang tersebut akan menghancurkan tanah
seluruh, Indonesia dan juga tanah adat di Kabupaten Humbang Hasundutan
(Humbahas). Sehingga, akan bagi pemodal sesukanya untuk melakukan pembangunan
tanpa memikirkan rakyat.
“Salah satunya kami yang merasa
terus dirugikan akibat ulah perusahaan raksasa (PT TPL), tanah adat yang sudah
lama kami fungsikan dalam pertanian kemenyan tak kunjung dapat di selesaikan.
Hingga hal ini, kami meminta kepada bapak-bapak dewan agar menolak rancangan undang-undang pertanahaan tersebut. Karena,
hal itu benar-benar merugikan masyarakat dan apabila terjadi sehingga tanah
adat kami yang sudah kami usahai sampai saat ini akan hilang," kata salah
seorang masyarakat dalam orasinya di depan kantor DPRD.
Petani kemenyan ini ‘menyerbu’
kantor wakil rakyat di Humbahas ini terlebih dahulu kampanye keliling kota
Doloksanggul dengan menaiki mobil angkutan dan mobil truk serta ada yang
menaiki sepeda motor.
Anggota dewan Marganda
Pasaribu mengatakan Ketua DPRD sedang berada di Dirjen Kehutanan yang
bersama-sama dengan komisi C bagian kehutanan. "Kami yang hadir disini
tetap merespon apa keluhan masyarakat dan akan dibahas," katanya.
Beberapa tuntutan mereka antara
lain, penolakkan rancangan undang-undang pertanahaan, menyatakan mosi tidak
percaya kepada DPR dan partai-partai politik pendukung neoliberalisme karena
hanya akan memunculkan kebijakan-kebijakan untuk mendukung agenda
neoliberalisme yang tidak berpihak kepada rakyat, mendesak pemerintah untuk
menghapus atau mencabut kebijakan-kebijakan lainnya yang bertentangan dengan
UUPA, menuntut pemerintah agar segera menyelesaikan konflik-konflik pertanian
dan mengembalikan tanah-tanah petani yang dulunya merupakan lahan pertanian dan
perkampungan kepada petani, mempercepat penyelesaian konflik tanah hutan
kemenyan dan hutan adat yang ada di Humbang Hasundutan seperti di Pandumaan,
Sipituhuta, Aek Lung dan Parlilitan sekitarnya, penyelesaian kasus-kasus
percepat penyusunan perda pengakuan tanah adat humbahas.
·
PDIP Tolak RUU Pertanahaan
Marganda Pasaribu menegaskan,
persoalan RUU ini sudah diperbincangkan dimana-mana baik itu dikalangan DPRD
lainnya maupun di kalangan DPR RI. Malahaan, katanya, yang paling mengotot agar
RUU tersebut ditolak adalah dari partai PDI Perjuangan.
“Bagi siapa bapak-bapak dewan ini
dari partai PDI Perjuangan pasti turut juga akan penolakan itu. Namun kalau
memang itu dubutuhkan, kami bisa menyiapkan apa isi RUU tersebut, apakah bapak
dewan ini memiliki flesdis kalau tidak buka saja di situs internet pasti ada,”
bebernya.
Sumber: http://eksposnews.com/
BAB III
PENUTUP
3.1 Analisis Terhadap Konflik yang
Terjadi antara Petani Hutan Kemenyan di Humbang Hasundutan dengan PT. Toba Pulp
Lestari
Berdasarkan data dan informasi yang diperoleh dari berbagai media, maka dapat dianalisis faktor – faktor apa yang menyebabkan terjadinya konflik antara petani kemenyan Humbang hasundutan dengan PT. Toba Pulp Lestari.
Hutan kemenyan di Humbang Hasundutan menjadi kekhawatiran bagi para petani kemenyan karena status hutan kemenyan yang mereka kuasai sejak ratusan tahun yang lalu ditetapkan oleh pemerintah sebagai kawasan hutan negara. Petani merasa takut dan khawatir bahwa dengan status ini menjadikan lahan mereka akan diambil alih oleh negara dan mereka akan dipindahkan dari wilayah itu. Kekhawatiran ini diperkuat dengan kehadiran pihak swasta yang diberi izin oleh pemerintah untuk mengelola hutan. Kejadian ini sudah terjadi di beberapa desa dimana pihak swasta sudah mulai menebangi tanaman kemenyan untuk perluasan areal penanaman hutan tanaman industry (HTI). Batas-batas lahan antara kawasan hutan negara dan lahan milik masyarakat tidak ditemukan di lapangan. Pada umumnya yang terjadi sekarang ini adalah masyarakat mengklaim bahwa lahan yang dikelola sekarang merupakan tanah milik mereka sementara dari pihak pemerintah menetapkan statusnya sebagai kawasan hutan negara. Dualisme status lahan ini diperkeruh dengan diterbitkannya Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 44 Tahun 2005 tentang Penunjukan Kawasan Hutan Negara. Masyarakat memiliki posisi yang lemah karena lahan mereka tidak disertai dengan sertifikat yang sah. Hadirnya pihak swasta dalam pengelolaan hutan produksi di daerah Humbang Hasundutan telah menimbulkan keresahan bagi petani kemenyan khususnya pada petani yang lokasi kemenyannya masuk dan/atau berbatasan langsung dengan areal konsesi perusahaan. Dengan izin yang diberikan oleh pemerintah pusat (Kementerian Kehutanan), pihak perusahaan melakukan perluasan areal penanaman hutan tanaman insdustri. Demi kepentingan perusahaan, hutan kemenyan yang masuk dalam areal konsesi perusahaan ditebangi dan diganti dengan eucalyptus sebagai bahan baku industri pulp. Situasi seperti ini sudah terjadi dibeberapa lokasi dan berpeluang terjadi di lokasi-lokasi lain di Humbang Hasundutan. Sehingga para petani Kemenyan melakukan aksi perlawanan terhadap para pekerja PT.TPL yang menebangi pohon kemenyan yang sebelumnya sudah disepakati sebagai kawasan berkonflik.
Ancaman ini tentunya sangat merugikan petani selain karena akan
hilangnya sumber mata pencaharian ditandai dengan menurunnya jumlah komoditas kemenyan,
mereka juga harus terpinggirkan (dalam hal pengelolaan lahan).
Belum ada Komentar untuk "Tugas Analisis Kebijakan Publik"
Posting Komentar