Paradigma Perencanaan
Selasa, 21 Oktober 2014
Tambah Komentar
Paradigma Perencanaan
Dalam mengangkat wacana tentang
paradigma perencanaan maka diperlukan
pendalaman terhadap proses perjalanan perencanaan dari masa ke masa. Eksplorasi
tentang proses-proses pelaksanaan perencanaan tersebut akan menunjukkan
berbagai warna dan kondisi perencanaan yang ada dan dikembangkan pada setiap
masa. Dari hal tersebut juga dapat dilihat bagaimana perjalanan
paradigma-paradigma perencanaan yang pernah ada dan berkembang dalam tautan
waktu. Paradigma perencanaan itu dapat diibaratkan trend perencanaan yang
dianut atau dikembangkan pada suatu maszab/masa, dimana paradigma tersebut
merupakan hal yang paling mendasar dalam
memandang sebuah perencanaan.
Perkembangan paradigma perencanaan dari masa ke masa merupakan suatu
wujud gambaran keberadaan dan pola pikir
serta situasi saat itu. Paradigma ini biasanya berkembang dari nilai-nilai
dominan yang ada dan berlaku pada suatu masa. Jadi dengan mengetahui paradigma
yang berlaku pada suatu masa berarti kita juga sudah mampu mempersepsikan
kira-kira bagaimana pola kehidupan pada masa paradigma tersebut berlaku. Jadi
dapat disimpulkan bahwa perencanaan bukanlah suatu hal yang stagnan akan tetapi
perencanaan itu akan terus berkembang secara dinamis seiring dengan
perkembangan pemikiran manusia.
Merunut pada perjalanan dan
perkembangan perencanaan dari dahulu sampai sekarang telah terjadi berbagai
perubahan-perubahan maupun pergeseran dalam berbagai aspek dan salah satunya
adalah pergeseran dari satu paradigma ke paradigma lain. Pergeseran ini
merupakan suatu kewajaran mengingat sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman.
Menurut pendapat para ahli perencanaan ada beberapa bentuk paradigma
perencanaan yang ada berkembang dari dahulu sampai sekarang.
Adapun paradigma-paradigma
tersebut yang menyangkut jenis dan inti
ajaran-nya yang berpengaruh di dalamnya yaitu [1]:
- Paradigma Utopian
Paradigma
ini menekankan pada nilai-nilai idealisme dalam sistem perencanaan. Pada masa
ini penekanan pada nilai-nilai humanis dan natural yang pada akhirnya membawa
warna tersendiri pada pelaksanaan konsep dan sistem perencanaan yang
dilaksanakan. Tokoh-tokoh yang berpengaruh pada masa paradigma utopian ini
antra lain adalah Plato, Thomas Moore, dan Robert Owen. Pada masa paradigma ini Teori-teori perencanaan lebih
menekankan pada peranan seorang perencana
sebagai agen moral dan bukan seorang problem
solver. Adapaun fokus kelompok sasaran dalam paradigma ini adalah gerakan
masyarakat luas, dengan pola normative
apporach (pendekatan normatif). Konsep perencanaan yang berkembang dan
terkenal saat ini adalah konsep perencanaan kota, konsep lingkungan dan konsep
komunitas dan persamaan tanggungjawab.
- Paradigma Positivisme
Paradigma
ini menganut ajaran penolakan terhadap methaphisik dan teologik, ilmu
pengetahuan harus terlihat nyata, tidak abstrak dan diarahkan untuk mencapai
kemajuan, difokuskan untuk menuju generalisasi fakta-fakta dengan bersandar
pada pengetahuan nyata dan pandangan-pandangan ilmiah, membatasi diri pada
hukum-hukum obyektif, merupakan jaminan yang diatur oleh cendikiawan dan
industrialis. Paradigma positivisme
berkembang pada masa pasca Perang
Dunia I. Pada saat ini orientasi program-program yang ada pada negara-negara di
dunia dalam proses pembangunan pada tatanan kehidupan yang hancur akibat Perang
Dunia I tersebut. Pada era positivime
ini ciri utama yang menjadi inti dan nilai ajaran adalah penekanan kepada ilmu
pengetahuan harus lebih realistis dan bersandarkan kepada fakta yang nyata. Paradigma
ini sangat mengagungkan konsep ilmu pengetahuan yang mengandung unsur ilmiah
dan tidak abstrak. Peranan seorang perencana pada masa ini lebih berfungsi sebagai agen moral melalui
pendekatan normatif pada gerakan masyarakat luas. Paradigma ini menekankan
perencanaan merupakan upaya untuk meningkatkan standar hidup masyarakat,
memanusiakan hubungan industri dengan masyarakat, menciptakan harmoni dan
menghilangkan konflik kelompok. Adapun tokoh-tokoh yang menganut paham
positivisme ini adalah August. C.,
John Stuart Mill dan Herbert Spenser.
- Paradigma Rasionalitas
Inti
dari paradigma ini menekankan kepada penentuan target secara jelas dan
mendeteil sehingga menjadi suatu pedoman
yang baik dan benar bagi perencanaan yang akan dibuat yang berlandaskan
kepada nilai-nilai rasionalitas (masuk akal) atau ada pertimbangan logika. Menurut ajaran ini, rasio adalah sumber pengetahuan yang
dapat dipercaya. Pengalaman bermanfaat untuk meneguhkan pengetahuan yang
diperoleh akal. Indrawi harus disikapi ragu-ragu karena tidak pasti, relatif
berubah dan cenderung menyesatkan.
Keberadaan perencanaan pada masa ini dituntut untuk tetap berpatokan kepada
rasionalitas dan akal sehat yang
digunakan untuk mengupayakan hal-hal yang berguna bagi kepentingan-kepentingan
manusia.
Paradigma
ini dikembangkan oleh tokoh-tokoh seperti Rene Descrates, Spinoza, K.R. Popper
dan A. Faludi yang menganut paham bahwa kegiatan berpikir dan bertindak, merupakan suatu aktivitas publik
di mana masyarakat dapat memutuskan dan mengontrol pembangunannya sendiri
dengan cara rasional.
Pada
masa ini sistem perencanaan memfokuskan diri kepada analisis kebijaksanaan atau planning as policy analysis yang berlandasarkan pada permasalahan dan tujuan secara berkaitan satu dengan yang lain.
Pendekatan perencanaan pada masa ini mengupayakan adanya tindakan-tindakan
pemecahan masalah (problem solving)
terhadap hasil analisis kebijakan yang dianggap kurang baik atau kurang
menguntungkan dan berpanduan kepada pendekatan planning system beserta proses-proses pengambilan keputusan
nya, dan memfokuskan diri pada penerapan
teori-teori perencanaan kedalam praktik.
- Paradigma Pluralisme
Inti
ajaran ini yaitu orientasi pengamatan dilakukan pada apa yang nampak atau
menampakkan diri dengan tujuan menemukan hakekat, menghubungkan kesadaran
subyek dan obyek (menyatukan subyek dan obyek), manusia merupakan bagian yang
menyatu dari seluruh aspek kehidupan. Pluralisme menolak bentuk-bentuk
konformitas, realitas itu dianggap relatif serta hanya dapat dipahami melalui
agregat individu. Pengaruhnya pada planning
antara lain tidak percaya pada planning
yang bersifat umum dan berlaku umum (menolak comprehensive planning dan positive
planning), planning seharusnya
berorientasi kepada masyarakat dan diarahkan pada tindakan nyata, responsif dan
mendukung terbentuknya konsensus-konsensus baru atas dasar hubungan antar
individu.
Planner berperan sebagai agen perubahan, fasilitator, trainer atau organisator. Planning
tidak berawal dari tujuan maupun sasaran melainkan dari kritik sosial tentang
keadaan disaat itu dan tujuan dirumuskan ditengah-tengah perjalanan berama-sama
masyarakat. Planning mempunyai
kekuatan arus bawah, gagasan-gagasan harus datang dari masyarakat, planner hanya berperan sebagai pendidik,
membuka kesadaran, melatih keterampilan dan meningkatkan kepercayaan diri
masyarakat. Dengan bimbingan planner,
masyarakat merumuskan kebijakan, program-program, strategi, desain, lokasi
proyek dan anggaran biaya sendiri.
Ditinjau
dari tradisi perencanaan, planning
pada konteks pluralisme berakar pada
tradisi planning sebagai pembelajaran
masyarakat, dengan fokus utama pada tindakan nyata dan akar filosofi nya adalah
pragmatisme yang artinya tindakan, suatu teori untuk melakukan tindakan nyata.
Rencana yang berisi prinsip-prinsip, proyeksi dan pedoman kegiatan di masa
datang dan bukan merupakan dogma melainkan suatu hipotesis yang harus diuji dilapangan, dapat ditolak,
diperbaharui, dikoreksi dan dilengkapi. Akar tradisi lainnya adalah planning sebagai alat mobilisasi sosial,
dengan ide dasar emansipasi sosial kesetaraan hak sosial masyarakat dalam
memanfaatkan sumber daya.
Tokoh-tokoh
pada era paradigma ini antara lain; Edmond Husseri, Mark Scheller, Maurice
Marleau Ponty dan Martin Heidegger.
[1] Wildani Hamzens, Perencanaan
di Indonesia 25 Tahun Mendatang, LABDARAWA, Bogor, 2005, Hal : 11-14.
Belum ada Komentar untuk "Paradigma Perencanaan"
Posting Komentar