Paradigma Perencanaan



Paradigma Perencanaan
Dalam mengangkat wacana tentang paradigma  perencanaan maka diperlukan pendalaman terhadap proses perjalanan perencanaan dari masa ke masa. Eksplorasi tentang proses-proses pelaksanaan perencanaan tersebut akan menunjukkan berbagai warna dan kondisi perencanaan yang ada dan dikembangkan pada setiap masa. Dari hal tersebut juga dapat dilihat bagaimana perjalanan paradigma-paradigma perencanaan yang pernah ada dan berkembang dalam tautan waktu. Paradigma perencanaan itu dapat diibaratkan trend perencanaan yang dianut atau dikembangkan pada suatu maszab/masa, dimana paradigma tersebut merupakan  hal yang paling mendasar dalam memandang sebuah perencanaan.  Perkembangan paradigma perencanaan dari masa ke masa merupakan suatu wujud gambaran  keberadaan dan pola pikir serta situasi saat itu. Paradigma ini biasanya berkembang dari nilai-nilai dominan yang ada dan berlaku pada suatu masa. Jadi dengan mengetahui paradigma yang berlaku pada suatu masa berarti kita juga sudah mampu mempersepsikan kira-kira bagaimana pola kehidupan pada masa paradigma tersebut berlaku. Jadi dapat disimpulkan bahwa perencanaan bukanlah suatu hal yang stagnan akan tetapi perencanaan itu akan terus berkembang secara dinamis seiring dengan perkembangan pemikiran manusia.

Merunut pada perjalanan dan perkembangan perencanaan dari dahulu sampai sekarang telah terjadi berbagai perubahan-perubahan maupun pergeseran dalam berbagai aspek dan salah satunya adalah pergeseran dari satu paradigma ke paradigma lain. Pergeseran ini merupakan suatu kewajaran mengingat sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman. Menurut pendapat para ahli perencanaan ada beberapa bentuk paradigma perencanaan yang ada berkembang dari dahulu sampai sekarang.

Adapun paradigma-paradigma tersebut yang menyangkut  jenis dan inti ajaran-nya yang berpengaruh di dalamnya yaitu [1]:
  1. Paradigma Utopian
            Paradigma ini menekankan pada nilai-nilai idealisme dalam sistem perencanaan. Pada masa ini penekanan pada nilai-nilai humanis dan natural yang pada akhirnya membawa warna tersendiri pada pelaksanaan konsep dan sistem perencanaan yang dilaksanakan. Tokoh-tokoh yang berpengaruh pada masa paradigma utopian ini antra lain adalah Plato, Thomas Moore, dan Robert Owen. Pada masa paradigma ini Teori-teori perencanaan lebih menekankan pada peranan seorang perencana  sebagai agen moral dan bukan seorang problem solver. Adapaun fokus kelompok sasaran dalam paradigma ini adalah gerakan masyarakat luas, dengan pola normative apporach (pendekatan normatif). Konsep perencanaan yang berkembang dan terkenal saat ini adalah konsep perencanaan kota, konsep lingkungan dan konsep komunitas dan persamaan tanggungjawab.

  1. Paradigma Positivisme
Paradigma ini menganut ajaran penolakan terhadap methaphisik dan teologik, ilmu pengetahuan harus terlihat nyata, tidak abstrak dan diarahkan untuk mencapai kemajuan, difokuskan untuk menuju generalisasi fakta-fakta dengan bersandar pada pengetahuan nyata dan pandangan-pandangan ilmiah, membatasi diri pada hukum-hukum obyektif, merupakan jaminan yang diatur oleh cendikiawan dan industrialis. Paradigma positivisme  berkembang pada masa pasca  Perang Dunia I. Pada saat ini orientasi program-program yang ada pada negara-negara di dunia dalam proses pembangunan pada tatanan kehidupan yang hancur akibat Perang Dunia I tersebut.  Pada era positivime ini ciri utama yang menjadi inti dan nilai ajaran adalah penekanan kepada ilmu pengetahuan harus lebih realistis dan bersandarkan kepada fakta yang nyata. Paradigma ini sangat mengagungkan konsep ilmu pengetahuan yang mengandung unsur ilmiah dan tidak abstrak. Peranan seorang perencana pada masa ini lebih  berfungsi sebagai agen moral melalui pendekatan normatif pada gerakan masyarakat luas. Paradigma ini menekankan perencanaan merupakan upaya untuk meningkatkan standar hidup masyarakat, memanusiakan hubungan industri dengan masyarakat, menciptakan harmoni dan menghilangkan konflik kelompok. Adapun tokoh-tokoh yang menganut paham positivisme ini adalah August. C., John Stuart Mill dan Herbert Spenser.

  1. Paradigma Rasionalitas
Inti dari paradigma ini menekankan kepada penentuan target secara jelas dan mendeteil sehingga menjadi suatu pedoman  yang baik dan benar bagi perencanaan yang akan dibuat yang berlandaskan kepada nilai-nilai rasionalitas (masuk akal) atau ada pertimbangan logika. Menurut ajaran ini, rasio adalah sumber pengetahuan yang dapat dipercaya. Pengalaman bermanfaat untuk meneguhkan pengetahuan yang diperoleh akal. Indrawi harus disikapi ragu-ragu karena tidak pasti, relatif berubah dan cenderung menyesatkan. Keberadaan perencanaan pada masa ini dituntut untuk tetap berpatokan kepada rasionalitas dan   akal sehat yang digunakan untuk mengupayakan hal-hal yang berguna bagi kepentingan-kepentingan manusia.

Paradigma ini dikembangkan oleh tokoh-tokoh seperti Rene Descrates, Spinoza, K.R. Popper dan A. Faludi yang menganut paham bahwa kegiatan berpikir dan  bertindak, merupakan suatu aktivitas publik di mana masyarakat dapat memutuskan dan mengontrol pembangunannya sendiri dengan cara rasional.

Pada masa ini sistem perencanaan memfokuskan diri kepada analisis  kebijaksanaan atau planning as policy analysis yang berlandasarkan pada  permasalahan dan tujuan  secara berkaitan satu dengan yang lain. Pendekatan perencanaan pada masa ini mengupayakan adanya tindakan-tindakan pemecahan masalah (problem solving) terhadap hasil analisis kebijakan yang dianggap kurang baik atau kurang menguntungkan dan berpanduan kepada  pendekatan planning system beserta proses-proses pengambilan keputusan nya,  dan memfokuskan diri pada penerapan teori-teori perencanaan kedalam praktik.

  1. Paradigma Pluralisme
Inti ajaran ini yaitu orientasi pengamatan dilakukan pada apa yang nampak atau menampakkan diri dengan tujuan menemukan hakekat, menghubungkan kesadaran subyek dan obyek (menyatukan subyek dan obyek), manusia merupakan bagian yang menyatu dari seluruh aspek kehidupan. Pluralisme menolak bentuk-bentuk konformitas, realitas itu dianggap relatif serta hanya dapat dipahami melalui agregat individu. Pengaruhnya pada planning antara lain tidak percaya pada planning yang bersifat umum dan berlaku umum (menolak comprehensive planning dan positive planning), planning seharusnya berorientasi kepada masyarakat dan diarahkan pada tindakan nyata, responsif dan mendukung terbentuknya konsensus-konsensus baru atas dasar hubungan antar individu.

Planner berperan sebagai agen perubahan, fasilitator, trainer atau organisator. Planning tidak berawal dari tujuan maupun sasaran melainkan dari kritik sosial tentang keadaan disaat itu dan tujuan dirumuskan ditengah-tengah perjalanan berama-sama masyarakat. Planning mempunyai kekuatan arus bawah, gagasan-gagasan harus datang dari masyarakat, planner hanya berperan sebagai pendidik, membuka kesadaran, melatih keterampilan dan meningkatkan kepercayaan diri masyarakat. Dengan bimbingan planner, masyarakat merumuskan kebijakan, program-program, strategi, desain, lokasi proyek dan anggaran biaya sendiri.

Ditinjau dari tradisi perencanaan, planning pada konteks pluralisme  berakar pada tradisi planning sebagai pembelajaran masyarakat, dengan fokus utama pada tindakan nyata dan akar filosofi nya adalah pragmatisme yang artinya tindakan, suatu teori untuk melakukan tindakan nyata. Rencana yang berisi prinsip-prinsip, proyeksi dan pedoman kegiatan di masa datang dan bukan merupakan dogma melainkan suatu hipotesis  yang harus diuji dilapangan, dapat ditolak, diperbaharui, dikoreksi dan dilengkapi. Akar tradisi lainnya adalah planning sebagai alat mobilisasi sosial, dengan ide dasar emansipasi sosial kesetaraan hak sosial masyarakat dalam memanfaatkan sumber daya.

Tokoh-tokoh pada era paradigma ini antara lain; Edmond Husseri, Mark Scheller, Maurice Marleau Ponty dan Martin Heidegger.


[1] Wildani Hamzens, Perencanaan di Indonesia 25 Tahun Mendatang, LABDARAWA, Bogor, 2005,  Hal : 11-14.

Belum ada Komentar untuk "Paradigma Perencanaan"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel