PENGARUH POPULASI DAN SELANG WAKTU TANAM TERHADAP PERTUMBUHAN DAN HASIL KEDELAI YANG DITUMPANGSARIKAN DENGAN JAGUNG
Rabu, 10 September 2014
Tambah Komentar
PENGARUH
POPULASI DAN SELANG WAKTU TANAM TERHADAP PERTUMBUHAN DAN HASIL KEDELAI YANG
DITUMPANGSARIKAN DENGAN JAGUNG
Mei
Frina Sagala[1], Ratna A Wiralaga2,
Farida Zulvica2
Program Studi Agronomi, Jurusan Budidaya
Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Sriwijaya Kampus Unsri Indralaya,
Ogan Ilir (OI) 30662,
Sumatera Selatan
ABSTRAK
Penetian ini
bertujuan untuk mengetahui pertumbuhan dan hasil kedelai yang ditumpangsarikan
dengan jagung, yang dilaksanakan di AGRO TECNO PARK (ATP) dari bulan Oktober
2011 sampai Januari 2012. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah
Rancangan Acak Kelompok (RAK) yang disusun secara faktorial terdiri dari dua
factor dan tiga ulangan . Faktor pertama adalah populasi tanaman yang terdiri dari
tiga taraf P1 ( 3 baris kedelai, 1 baris
jagung), P2 (2 baris kedelai,1 baris jagung ), P3 (1 baris kedelai, 1 baris
jagung ) dan Faktor kedua selang waktu tanam (W) tiga taraf
W1 ( Tanam bersamaan), W2 (selang 2 minggu setelah kedelai), W3 (selang
2 minggu setelah jagung). Hasil penelitian menunjukkan bahwa populasi yang
terbaik adalah P1 untuk kedelai dan P3 untuk jagung sedangkan selang waktu
tanam yang terbaik adalah W3 setelah tanaman jagung), dan sesuai analisis Nilai
Kesetaraan Lahan (NKL) = 1, pola tanam
tumpangsari ini belum menguntungkan jika dilihat dari sisi ekonomi dan
kurang efisiensi lahan.
PENDAHULUAN
Kedelai (Glycine max (L.) merrill) merupakan sumber protein
penting di Indonesia,
kesadaran masyarakat akan pemenuhan gizi yang baik semakin meningkat baik kecukupan
protein hewani maupun protein nabati. Protein hewani yang sampai saat ini masih
mahal mengakibatkan masyarakat memilih alternatif protein nabati dengan harga
yang murah dan terjangkau oleh masyarakat luas.
Berdasarkan
data yang diperoleh dari BPS SUMSEL produksi kedelai tahun 2010 mencapai 11,66
ribu ton biji kering, jika dibandingkan dengan data produksi tahun 2009 menurun
sebanyak 2,04 ribu ton. Sehingga pemerintah terpaksa melakukan kebijakan untuk mengimpor kedelai untuk memenuhi permintaan konsumen .
Dalam rangka memenuhi kebutuhan dan meningkatkan ketahanan pangan maka usaha
budidaya kedelai perlu digalakkan.
Mengingat hal tersebut maka peningkatan
produktivitas pangan harus terus
diusahakan yaitu dengan usaha peningkatan intensitas penggunaan lahan dengan
sistem tanam ganda. Pengusahaan beberapa jenis tanaman pangan baik berupa
rotasi, tumpangsari, sisipan, maupun berurutan akan menjamin keberhasilan usaha
tani. Pola tanam ganda bertujuan untuk menyesuaikan waktu tanam
dengan musim pada suatu sistem budidaya tanaman dengan memanfaatkan sumber daya alam yang ada secara optimal untuk memperoleh produksi
maksimal (Djafar, 1990).
Untuk meningkatkan
produktivitas pertanian terutama pangan ,kedelai dapat ditumpangsarikan dengan
jagung. Pola tanam tumpangsari merupakan sistem pengelolaan lahan pertanian
dengan mengkombinasikan intensifikasi dan diversifikasi tanaman. Tumpangsari
merupakan bagian dari multiple cropping yaitu penanaman lebih dari satu tanaman
pada waktu yang bersamaan atau selama periode tanam pada satu tempat yang sama.
Tanaman
yang ditanam secara tumpangsari sebaiknya mempunyai umur atau periode
pertumbuhan yang tidak sama, karena mempunyai perbedaan kebutuhan terhadap
faktor lingkungan seperti air, kelembaban, cahaya dan unsur hara tanaman,
karena itu akan mempengaruhi pertumbuhan dan hasil kedua tanaman tersebut. Beberapa keuntungan dari sistem tumpangsari antara lain
pemanfaatan lahan kosong disela-sela tanaman pokok, peningkatan produksi total
persatuan luas karena lebih efektif dalam penggunaan cahaya, air serta unsur
hara, disamping dapat mengurangi resiko kegagalan panen dan menekan pertumbuhan
gulma (Thahir dan Hatmadi, 1986).
Tanaman kedelai dan jagung memungkinkan
untuk ditumpangsari karena tanaman jagung menghendaki nitrogen tinggi,
sementara kedelai dapat memfiksasi nitrogen dari udara bebas sehingga
kekurangan nitrogen pada jagung terpenuhi oleh kelebihan nitrogen pada kedelai
(Lakitan,1995). Kombinasi kedelai dan jagung sangat serasi, hal ini berhubungan
dengan kompatibilitas beberapa sifat yang dimiliki oleh kedua jenis tanaman
ini, dimana kedelai termasuk tanaman golongan C3 yang cukup peka terhadap sinar
matahari yang mempunyai akar tunggang dan mampu menfiksasi N2 secara simbiosis
dengan bakteri Rhizobium sp, sedangkan jagung tergolong tanaman C4 yang
membutuhkan pencahayaan secara langsung dan membutuhkan unsur hara yang besar
terutama unsur N.
Kedelai dan jagung yang ditanam secara
tumpangsari akan terjadi kompetisi dalam memperebutkan unsur hara, air dan
sinar matahari. Sehingga pengaturan populasi
dan pengaturan selang waktu tanam penting untuk mengurangi terjadinya kompetisi
tersebut (Subhan,1989). Diantara faktor iklim yang penting dan langsung
mempengaruhi dalam pola tanam ganda terutama faktor cahaya,sebab tanaman kedelai
merupakan tanaman yang peka terhadap intensitas cahaya.
Menurut beberapa hasil penelitian, produksi
jagung maupun kedelai akan turun apabila tanaman tersebut ternaungi. Hasil
penelitian Barus Afriani (2004) ,penundaan saat tanam 10 hari setelah Jagung
dengan populasi 40.000 tanaman per hektar dapat menurunkan hasil 67% dibanding
dengan tanam bersamaan dan pada populsi 80.000 tanaman per hektar dapat
menurunkan 93%.
Hasil
penelitian Indriati (2009), juga menunjukkan dimana populasi tiga
kedelai dan satu jagung menunjukkan pertumbuhan kedelai yang meningkat tetapi
menekan pertumbuhan jagung. Populasi dan saat tanam sangat penting pada sistem
tanaman ganda, terutama pada tanaman yang peka terhadap naungan. Untuk
mengurangi pengaruh tersebut , waktu tanam dan populasi kedelai dan jagung
perlu diatur agar pada periode kritis dari suatu pertumbuhan terhadap
persaingan dapat ditekan.
Tanaman kedelai termasuk tanaman yang
membutuhkan sinar matahari penuh. Intensitas
cahaya dan lama penaungan mempengaruhi pertumbuhan dan hasil kedelai. Penurunan
intensitas cahaya menjadi 40% sejak perkecambahan mengakibatkan penurunan
jumlah buku, cabang, diameter batang,jumlah polong dan hasil biji serta kadar
protein. Tanaman kedelai yang dinaungi atau ditumpangsarikan akan mengalami
penurunan hasil 6-52% pada tumpangsari
kedelai dan jagung dan 2-56% pada tingkat naungan 33% (Asadi, et al. 1997).
Berdasarkan uraian-uraian diatas , perlu
dilakukan penelitian untuk mengetahui saat tanam dan populasi yang optimal
dalam sistem tumpangsari kedelai dan jagung.
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini dilaksanakan di Agro Tekno
Park (ATP) dari bulan November 2011 sampai Februari 2012. Penelitian ini
menggunakan Rancangan Acak kelompok (RAK), perlakuan disusun secara faktorial
yang terdiri dari dua faktor. Faktor pertama adalah populasi tanaman yang
terdiri dari tiga taraf dan faktor kedua
selang waktu tanam tiga taraf dan
diulang tiga kali sehingga didapat 27 unit perlakuan. Uji lanjut untuk
perlakuan yang nyata dengan menggunakan uji Duncan.
Faktor pertama : Populasi tanaman (P)
P1 =
3 baris kedelai, 1 baris jagung
P2 =
2 baris kedelai,1 baris jagung
P3 =
1 baris kedelai, 1 baris jagung
Faktor kedua : selang waktu tanam (W)
W1 = Tanam bersamaan
W2 =
selang dua minggu setelah kedelai
W3 =
selang dua minggu setelah jagung
Persiapan lahan dilakukan dengan membajak
tanah dengan kedalaman 30 cm menggunakan traktor dan menghaluskan serta
menggemburkan tanah menggunakan cangkul sampai membuat petakan dengan ukuran 3 x 4 m, ditanam benih kedelai
dan jagung secara tumpangsari tiga biji/lobang
sesuai perlakuan. Pemupukan dan pengapuran dilakukan seminggu sebelum tanam
dengan memberikan pupuk kandang 5 ton/ha (6 kg/petak) dan kapur yang diberikan
yaitu Dolomit (CaMg(CO3 )2 dosis 2 ton/ha. Pemupukan saat
tanam urea 100 kg/ha (120 g/petak) dan
Pemupukan susulan diberikan i setelah penyiangan dan pembumbunan pada saat dua
MST dengan perlarikan dengan dosis 300 kg/ha urea(360 g/petak), 150 kg/ha Sp-36
( 180 g/petak), dan 100 kg/ha KCl (120 g/petak).Pengendalian gulma dilakukan
secara manual. Pengendalian hama belalang, kepik,dan ulat dilakukan dengan
menyemprotkan Decis dan Prevaton sesuai dosis. Panen dilakukan saat tanaman
memiliki criteria panen.
Peubah yang diamati yaitu tinggi tanaman
kedelai dilakukan pada saat tanaman berumur 2 MST, 4 MST dan 6 MST, jumlah
cabang, jumlah buku subur, jumlah polong pertanaman, jumlah polong hampa,
jumlah biji pertanaman dilakukan setelah panen, bobot biji pertanaman, bobot
100 biji , bobot biji perpetak, dan bobot biji perhektar dilakukan setelah
panen dan ditimbang dengan menggunakan timbangan analitik. Sedangkan tanaman
jagung yaitu tinggi tanaman 2 MST, 4
MST, dan 6 MST, panjang tongkol,bobot tongkol pertanaman, jumlah biji
pertongkol, bobot 100 biji, bobot biji perpetak dan bobot biji perpetak yang
lakukan setelah panen.
HASIL DAN PEMBAHASAN
A.
Hasil
1.
Kedelai
Hasil analisis keragaman
menunjukkan bahwa secara umum perlakuan populasi dan selang waktu tanam tidak
menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap semua parameter yang diamati, kecuali
terhadap tinggi tanaman kedelai, jumlah
buku subur,bobot biji perpetak, bobot 100 biji (Tabel 1).
Tabel 1. Hasil analisis keragaman terhadap semua peubah
yang diamati pada tanaman kedelai
No
|
Peubah yang Diamati
|
Fhitung
|
KK (%)
|
||
Populasi
|
S.Waktu Tanam
|
Interaksi
|
|||
1
|
Tinggi tanaman 2 MST
(cm)
|
1,18tn
|
39,06**
|
2,95tn
|
6,03
|
2
|
Tinggi tanaman 4 MST
(cm)
|
2,64tn
|
8,47**
|
3,20*
|
10,50
|
3
|
Tinggi tanaman 6 MST
(cm)
|
1,31tn
|
2,73tn
|
3,09*
|
12,92
|
4
|
Jumlah cabang pd batang utama
|
0,07tn
|
0,20tn
|
0,12tn
|
19,94
|
5
|
Jumlah buku subur
|
0,25tn
|
3,69*
|
0,72tn
|
19,95
|
6
|
Jumlah polong pertanaman
|
0,07tn
|
1,68tn
|
1,21tn
|
34,93
|
7
|
Jumlah polong hampa
|
0,14tn
|
1,52tn
|
0,59tn
|
29,56
|
8
|
Jumlah biji pertanaman
|
0,69tn
|
1,53tn
|
0,74tn
|
75,21
|
9
|
Bobot biji pertanaman (g)
|
1,08
|
0,19tn
|
1,26tn
|
34,81
|
10
|
Bobot 100 biji (g)
|
5,20*
|
1,73tn
|
0,94tn
|
20,20
|
11
|
Bobot biji
perpetak (Kg)
|
15,61**
|
0,76tn
|
6,85**
|
10,90
|
12
|
Bobot biji perhektar (Ton)
|
2,69tn
|
0,07tn
|
1,19tn
|
35,49
|
|
F Tabel 0,05= 3,63 ; 3,63 ; 3,01
|
|
|
|
|
|
F Tabel 0,01= 6,22 ; 6,22 ; 4,77
|
|
|
|
|
Keterangan : ** = berpengaruh sangat nyata * = berpengaruh nyata tn = tidak berpengaruh nyata
1.
Tinggi
Tanaman (cm)
Perlakuan P3 (populasi satu baris kedelai satu baris
jagung) rata-rata memiliki tinggi tanaman yang relatif lebih tinggi diikuti P1
(populasi tiga baris kedelai satu baris jagung ) dan P2 (dua baris kedelai satu
baris jagung) (Gambar 1), sedangkan perlakuan selang waktu tanam memberikan
pengaruh yang sangat nyata terhadap tinggi tanaman dua MST. Perlakuan W3 (dua
minggu setelah tanam jagung) memiliki tinggi tanaman tertinggi dan berbeda
sangat nyata dengan W2 (dua minggu setelah tanam kedelai) dan berbeda tidak
nyata denganW1 (tanam bersamaan) (Tabel 1).
Tabel 2. Pengaruh selang waktu tanam terhadap tinggi
tanaman 2 MST
Perlakuan
|
Tinggi tanaman 2 MST (cm)
|
W1 (Tanam bersamaan)
|
8,28 b
|
W2 (dua minggu setelah tanam kedelai)
|
8,08 a
|
W3 (dua minggu setelah tanam jagung)
|
10,09 c
|
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf kecil
yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata pada taraf uji 5% berdasarkan uji
jarak Duncan.
Gambar 1. Grafik
tinggi tanaman kedelai 2 MST,4 MST, dan 6 MST (cm) dengan perlakuan
populasi.
Interaksi
perlakuan popuasi dan selang waktu tanam menunjukkan pengaruh yang nyata
terhadap tinggi tanaman 4 MST dan 6 MST (Tabel 1)
Tabel 3. Pengaruh interaksi
populasi dan selang waktu tanam terhadap tinggi tanaman 4 dan 6 MST (cm).
Perlakuan
|
Selang
Waktu tanam (W)
|
|
||
W1
|
W2
|
W3
|
Rerata
|
|
Populasi
|
Tinggi Tanaman
4 MST
|
|
||
P1
|
14,63
a
|
15,50
a
|
19,67
d
|
16,61
|
P2
|
17,87
c
|
15,50
a
|
19,67
d
|
17,68
|
P3
|
17,89
cd
|
15,93
ab
|
22,03
e
|
18,62
|
Rerata
|
16,80
|
16,41
|
19,70
|
|
|
Tinggi Tanaman
6 MST
|
|
||
P1
|
38,30
ab
|
37,60
a
|
39,13
b
|
38,34
|
P2
|
42,57
c
|
33,90
a
|
36,10
a
|
37,52
|
P3
|
37,00
a
|
36,83
a
|
49,73
d
|
41,19
|
Rerata
|
39,29
|
36,11
|
41,66
|
|
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf kecil
yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata pada taraf uji 5% berdasarkan uji
jarak Duncan.
2.
Jumlah Cabang Pada Batang Utama
Hasil uji
analisis keragaman menunjukkan pengaruh yang tidak nyata terhadap jumlah
cabang. Perlakuan populasi cenderung menurunkan jumlah cabang dengan adanya
peningkatan populasi jagung, sedangkan perlakuan selang waktu tanam, W2
rata-rata memiliki jumlah cabang yang relatif tinggi diikuti W1 dan W3 (Gambar
2).
Gambar
2. Grafik jumlah cabang pada batang
utama pada perlakuan populasi dan selang waktu tanam.
3. Jumlah Buku Subur
Perlakuan
P1 rata-rata memiliki jumlah buku subur
relatif tinggi, diikuti P2 dan P3
artinya penambahan populasi jagung akan menurunkan jumlah buku subur kedelai
(Gambar 3), sedangkan pengaturan selang
waktu tanam justru menurunkan jumlah buku subur W1 berbeda nyata dengan W3 dan
tidak nyata dengan W2 (Tabel 1).
Tabel 4. Pengaruh selang
waktu tanam terhadap jumlah buku subur
Perlakuan
|
Jumlah buku subur
|
W1
(Tanam bersamaan)
|
23,82 b
|
W2 (dua
minggu setelah tanam kedelai)
|
22,44 ab
|
W3 (dua
minggu setelah tanam jagung)
|
18,50 a
|
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf kecil yang sama
menunjukkan berbeda tidak nyata pada taraf uji 5% berdasarkan uji jarak Duncan.
Gambar 3. Grafik jumlah buku subur pertanaman pada perlakuan populasi
4. Jumlah Polong Pertanaman
Hasil uji
analisis keragaman menunjukkan pengaruh yang tidak nyata terhadap jumlah polong
pertanaman (Tabel 1). Perlakuan P1 rata-rata
memiliki jumlah polong pertanaman relatif
tinggi dibanding perlakuan lainnya
(Gambar 4), sedangkan perlakuan selang waktu tanam,W2 rata-rata memiliki jumlah polong relatif
tinggi yang diikuti W1dan W3 (Gambar 4).
Gambar 4. Grafik jumlah polong pada perlakuan populasi dan
selang waktu tanam
5.
Jumlah Polong Hampa Pertanaman
Perlakuan
populasi P2 rata-rata memiliki jumlah buku subur relatif tinggi diikuti P1 dan P3 begitu juga perlakuan
selang waktu tanam, W2 rata-rata
memiliki jumlah polong hampa relatif tinggi diikuti W1 dan W3 (Gambar 5).
Gambar
5. Grafik jumlah polong hampa pada
berbagai perlakuan populasi dan selang waktu tanam.
6.
Jumlah
Biji Pertanaman
Hasil uji analisis keragaman menunjukkan
pengaruh yang tidak nyata terhadap jumlah biji pertanaman. Perlakuan populasi
menunjukkan semakin banyak populasi jagung akan menurunkan rata-rata jumlah
biji pertanaman, sedangkan perlakuan selang waktu tanam, W2 rata-rata memiliki
jumlah biji relatif tinggi diikuti perlakuan W3 dan W1 (Gambar 6).
Gambar
6. Grafik jumlah biji pertanaman pada
berbagai perlakuan populasi dan selang waktutanam.
7. Bobot Biji
Pertanaman (g)
Perlakuan populasi menunjukkan semakin
banyak populasi jagung akan menurunkan rata-rata bobot biji
pertanaman,sedangkan pengaturan selang waktu tanam akan meningkatkan bobot biji
pertanaman W3 menunjukkan bobot biji pertanaman tertinggi dibanding perlakuan
lainnya (Gambar7).
Gambar 7. Grafik bobot biji pertanaman pada berbagai perlakuan
populasi dan selang waktu tanam.
8. Bobot 100 Biji (g)
Perlakuan P1 menunjukkan bobot 100 biji
tertinggi berbeda nyata dengan P3, dan berbeda tidak nyata dengan P2 artinya
semakin banyak populasi jagung akan menurunkan rata-rata bobot 100 biji kedelai
(Tabel 1), sedangkan perlakuan selang waktu tanam W2 menunjukkan bobot 100 biji tertingi dibanding
perlakuan lainnya (Gambar 8).
Tabel 5. Pengaruh populasi
tanam terhadap bobot 100 biji
Perlakuan
|
Bobot 100 Biji (g)
|
P1 (3 kedelai 1 jagung)
|
14,53 b
|
P2 (2
kedelai 1 jagung)
|
13,76 b
|
P3 (1
kedelai 1 jagung)
|
10,64 a
|
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf kecil
yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata pada taraf uji 5% berdasarkan uji
jarak Duncan.
Gambar 8. Grafik
bobot 100 biji pada berbagai perlakuan populasi dan selang waktu tanam.
9. Bobot Biji Perpetak (Kg)
Bobot biji
perpetak tertinggi didapat pada perlakuan P1W1 1,59 berbeda sangat nyata dengan
P3W1 0,58 dan berbeda nyata dengan perlakuan lainnya (Tabel 1). Perlakuan
populasi menunjukkan semakin banyak populasi jagung akan menurunkan rata-rata
bobot biji pertanaman, sedangkan perlakuan selang waktu tanam, W1 menunjukkan
bobot biji tertinggi dibanding perlakuan lainnya (Gambar 9).
Tabel 6. Pengaruh populasi dan selang waktu tanam terhadap bobot biji
perpetak (Kg)
Perlakuan
|
Bobot biji Perpetak (Kg)
|
Rerata
|
||
Selang
Waktu Tanam (W)
|
||||
Populasi
(P)
|
W1
|
W2
|
W3
|
|
P1
|
1,59
e
|
1,32
d
|
1,21
c
|
1,37
|
P2
|
1,08
c
|
0,98
bc
|
1,26
cd
|
1,11
|
P3
|
0,58
a
|
0,74
b
|
0,71
ab
|
0,68
|
Rerata
|
1,08
|
1,01
|
1,06
|
|
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf kecil yang sama
menunjukkan berbeda tidak nyata pada taraf uji 5% berdasarkan uji jarak Duncan
Gambar 9. Grafik bobot biji perpetak pada berbagai perlakuan
populasi dan selang waktu tanam.
10. Bobot Biji Perhektar (Ton)
Hasil uji
analisis keragaman menunjukkan pengaruh yang tidak nyata terhadap bobot biji
perhektar (Tabel 1). Perlakuan P1 menunjukkan bobot biji perhektar tertinggi
dibanding P2 dan P3. artinya semakin banyak populasi jagung akan menurunkan
rata-rata bobot biji kedelai perhektar sedangkan pada perlakuan selang waktu
tanam, W1 menunjukkan bobot biji perhektar tertinggi dibanding perlakuan
lainnya (Gambar 10).
Gambar 10. Grafik bobot biji perhektar pada berbagai perlakuan
populasi dan selang waktu tanam.
II.
Jagung
Hasil analisis
keragaman menunjukkan bahwa secara umum perlakuan populasi dan selang
waktu tanam belum mampu memberikan pengaruh yang nyata terhadap semua
parameter yang diamati, kecuali terhadap panjang tongkol,jumlah biji
pertongkol, bobot 100 biji, bobot biji perpetak dan bobot biji perhektar (Tabel
7).
Tabel
7. Hasil analisis keragaman terhadap semua peubah yang diamati pada tanamn jagung.
No
|
Peubah yang diamati
|
F
hitung
|
KK (%)
|
||
Populasi
|
S.Waktu Tanam
|
Interaksi
|
|||
1
|
Tinggi tanaman 2 MST
|
0,65tn
|
0,61tn
|
2,14tn
|
13,62
|
2
|
Tinggi tanaman 4 MST
|
0,28tn
|
1,45tn
|
2,20tn
|
12,20
|
3
|
Tinggi tanaman 6 MST
|
1,96tn
|
0,56tn
|
2,31tn
|
13,14
|
4
|
Panjang tongkol pertanaman
|
1,24tn
|
13,93**
|
1,82tn
|
0,60
|
5
|
Berat tongkol pertanaman
|
0,35tn
|
2,77tn
|
0,62tn
|
15,70
|
6
|
Jumlah biji pertongkol
|
3,97*
|
23,63**
|
0,61tn
|
4,76
|
7
|
Bobot 100
biji
|
10,25tn
|
5,05*
|
0,61tn
|
10,49
|
8
|
Bobot biji per petak
|
90,31**
|
21,32**
|
6,25**
|
36,36
|
9
|
Bobot biji perhektar
|
87,79**
|
20,58**
|
6,18**
|
7,78
|
Ftabel 0,05= 3,63 ; 3,63 ; 3,01
|
|
|
|
|
|
Ftabel 0,01= 6,22 ; 6,22 ; 4,77
|
|
|
|
|
Keterangan : ** = berpengaruh sangat nyata * = berpengaruh nyata tn = tidak berpengaruh nyata
1.
Tinggi
Tanaman (cm)
Hasil uji
analisis keragaman menunjukkan pengaruh yang tidak nyata terhadap tinggi
tanaman jagung (Tabel 7). Perlakuan P2 rata-rata memiliki tinggi tanaman yang
relatif tinggi dibanding perlakuan populasi lainnya, sedangkan perlakuan selang
waktu tanam, W3 rata-rata memiliki bobot tongkol relatif tinggi diikuti W2 dan
W1 (Gambar 11).
Gambar
11. Grafik tinggi tanaman jagung pada
berbagai perlakuan populasi dan selang waktu tanam.
2.
Panjang Tongkol Jagung (cm)
Perlakuan
P1 menujukkan pnjang tongkol tertinggi, semakin banyak populasi jagung, semakin
rendah rata-rata panjang tongkol jagung (Gambar 12). Hasil analisis keragaman panjang tongkol menunjukkan bahwa perlakuan selang waktu tanam memberikan pengaruh yang sangat nyata
terhadap panjang
tongkol pertanaman . Perlakuan W3 berbeda sangat nyata denga W2 dan berbeda
tidak nyata dengan W1 (Tabel 7).
Tabel 8. Pengaruh selang
waktu tanam terhadap panjang tongkol
Perlakuan
|
Panjang tongkol (cm)
|
W1
(Tanam bersamaan)
|
18,81 b
|
W2 (dua
minggu setelah tanam kedelai)
|
16,79 a
|
W3 (dua
minggu setelah tanam jagung)
|
19,04 b
|
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf kecil
yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata pada taraf uji 5% berdasarkan uji
jarak Duncan.
Gambar 12. Grafik
panjang tongkol pada berbagai perlakuan populasi.
3.
Bobot Tongkol Pertanaman (g)
Perlakuan P2
rata-rata memiliki jumlah cabang yang relatif tinggi dibanding perlakuan
populasi lainnya, sedangkan perlakuan selang waktu tanam, W3 rata-rata memiliki
bobot tongkol relatif tinggi diikuti W2 dan W1 , pengaturan selang waktu tanam
meningkatkan bobot tongkol pertanaman (Gambar 13).
4.
Jumlah Biji Pertongkol
Hasil analisis
keragaman menunjukkan bahwa perlakuan populasi dan selang waktu tanam memberikan pengaruh yang sangat nyata
terhadap jumlah
biji pertongkol. Perlakuan P2 berbeda nyata dengan perlakuan
lainnya, sedangkan perlakuan selang waktu tanam, W3 berbeda sangat nyata dengan
W2 dan berbeda tidak nyata dengan W1 (Tabel 7).
Gambar
14 Grafik jumlah biji pertongkol pada
berbagai perlakuan populasi dan selang waktu tanam.
Tabel 9. Pengaruh populasi
dan selang waktu tanam terhadap jumlah biji pertongkol
Populasi tanaman
|
Jumlah biji pertongkol
|
P1 (3 kedelai 1 jagung)
|
552,31 ab
|
P2 (2 kedelai 1 jagung)
|
576,79 b
|
P3 (1 kedelai 1 jagung)
|
542,51 a
|
Selang Waktu Tanam
|
Jumlah biji Pertongkol
|
W1
|
570,69 b
|
W2
|
509,01 a
|
W3
|
591,91 b
|
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf kecil yang sama
menunjukkan berbeda tidak nyata pada taraf uji 5% berdasarkan uji jarak Duncan.
5.
Bobot 100 Biji (g)
Perlakuan P2 rata-rata memiliki
bobot 100 biji tertinggi diikuti perlakuan P3 dan P1 (Gambar 15). Hasil analisis keragaman panjang tongkol menunjukkan bahwa perlakuan selang waktu tanam memberikan pengaruh yang sangat nyata
terhadap bobot
100 biji, W3 berbeda sangat nyata dengan perlakuan W2 dan berbeda tidak nyata dengan W1
(Tabel 7).
Tabel 10. Pengaruh selang waktu tanam terhadap bobot 100 biji
Perlakuan
|
Bobot 100 Biji (g)
|
W1
(Tanam bersamaan)
|
28,92 ab
|
W2 (dua
minggu setelah tanam kedelai)
|
26,40 a
|
W3 (dua
minggu setelah tanam jagung)
|
30,91 b
|
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf kecil
yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata pada taraf uji 5% berdasarkan uji
jarak Duncan.
Gambar
15. Grafik bobot 100 biji pada berbagai
perlakuan populasi dan selang waktu tanam.
6.
Bobot Biji Perpetak (Kg)
Interaksi perlakuan P3W3
menunjukkan bobot biji perpetak tertinggi berbeda
sangat nyata dengan P1W2 dan berbeda tidak nyata dengan perlakuan P3W2 dan
perlakuan lainnya (Tabel 7).
Tabel
11. Pengaruh interaksi perlakuan populasi dan selang waktu tanam terhadap bobot
biji perpetak
Perlakuan
|
Selang waktu Tanam (W)
|
Rerata
|
||
W1
|
W2
|
W3
|
||
Populasi (P)
|
Bobot Biji Perpetak (Kg)
|
|||
P1
|
4,24 a
|
4,21 a
|
5,46 b
|
4,64
|
P2
|
7,06 d
|
5,23 ab
|
6,39 bc
|
6,23
|
P3
|
7,10 d
|
6,92 cd
|
8,88 de
|
7,64
|
Rerata
|
6,14
|
5,46
|
6,91
|
|
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf kecil yang sama
menunjukkan berbeda tidak nyata pada taraf uji 5% berdasarkan uji jarak uncan.
7.
Bobot Biji Perhektar (ton)
Hasil analisis
keragaman bobot
biji perhektar menunjukkan bahwa perlakuan populasi dan
selang waktu tanam serta interaksi kedua perlakuan memberikan pengaruh yang sangat nyata
terhadap bobot
biji jagung perhektar (Tabel 7). Interaksi perlakuan populasi
bobot biji perhektar tertinggi ditunjukkan oleh P3W3 berbeda
sangat nyata dengan P1W2 dan berbeda nyata dengan perlakuan lainnya.
Tabel 12. Pengaruh interaksi perlakuan
populasi dan selang waktu tanam terhadap bobot biji perhektar (ton)
Perlakuan
|
|
Rerata
|
||
W1
|
W2
|
W3
|
||
Populasi (P)
|
Bobot Biji Perhektar (ton)
|
|||
P1
|
3,93 a
|
3,90 a
|
5,05 b
|
4,30
|
P2
|
6,54 d
|
4,84 ab
|
5,92 bc
|
5,77
|
P3
|
6,58 d
|
6,41 cd
|
8,23 d
|
7,07
|
Rerata
|
5,68
|
5,05
|
6,40
|
|
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf kecil yang sama
menunjukkan berbeda tidak nyata pada taraf uji 5% berdasarkan uji jarak Duncan.
III.
NKL (Nilai
Kesetaraan Lahan)
Nilai
Kesetaraan Lahan (NKL) merupakan salah satu cara untuk menghitung produktivitas
lahan dari dua atau lebih tanaman yang ditumpangsarikan. Pada umumnya sistem
tumpangsari menguntungkan dibandingkan sistem monokultur karena produktivitas
lahan menjadi lebih tinggi dan resiko kegagalan dapat diperkecil. Keuntungan
secara agronomis dari pelaksanaan sistem tumpangsari dapat dievaluasi dengan
cara menghitung NKL (Turmudi,2002).
Berdasarkan tabel 13 dibawah d, dapat diketahui bahwa
pola tanam tumpangsari pada penelitian ini belum menguntungkan. Keuntungan
dengan sistem tumpangsari dapat dilihat dari nilai rata-rata NKL = 1, nilai ini
menggambarkan kurang efisiensi lahan.
Tabel 13. Nilai Kesetaraan Lahan
Tanaman Kedelai (Ton/ha)
Perlakuan
|
NKL
|
P1W1 (3 kedelai 1
jagung, ditanam bersamaan)
|
0.94
|
P1W2 (2 kedelai 1
jagung, ditanam dua minggu setelah kedelai )
|
0.85
|
P1W3 (1 kedelai 1
jagung, ditanam dua minggu setelah jagung)
|
0.94
|
P2W1 (3 kedelai 1
jagung, ditanam bersamaan)
|
1.07
|
P2W2 (2 kedelai 1
jagung, ditanam dua minggu setelah kedelai )
|
0.85
|
P2W3 (1 kedelai 1
jagung, ditanam dua minggu setelah jagung )
|
1.05
|
P3W1 (3 kedelai 1
jagung, ditanam bersamaan)
|
1.01
|
P3W2 (2 kedelai 1
jagung, ditanam dua minggu setelah kedelai )
|
1.06
|
P3W3 (1 kedelai 1
jagung, ditanam dua minggu setelah jagung )
|
1.25
|
Rerata
|
1,00
|
B. Pembahasan
Berdasarkan
hasil penelitian yang didapat, perlakuan populasi yang tinggi memberikan
pengaruh yang nyata terhadap fase generatif tanaman atau hasil yaitu bobot 100
biji, bobot biji per petak, pada tanaman kedelai maupun jagung. Pada penelitian
ini ditunjukkan bahwa pada populasi tinggi terdapat hasil yang lebih tinggi
seperti perlakuan P1 (populasi 3 kedelai 1 jagung) memberikan pengaruh lebih
baik atau tertinggi pada tanaman kedelai dibanding perlakuan lainnya dan juga
perlakuan P3 pada tanaman jagung.
Hal ini
dikarenakan pada populasi 3 kedelai 1 jagung, dalam satuan luas lahan terdapat
lebih tinggi populasi kedelai daripada
tanaman jagung maupun perlakuan populasi lainnya, sehingga kedelai bisa
mendapatkan cahaya matahari lebih banyak yang sangat dibutuhkan dalam
proses fotosintesis juga berkurangnya kompetisi dalam menyerap cahaya
matahari, air, dan hara dari tanah. Sehingga tanaman kedelai mampu tumbuh dengan
baik dan jumlah cabangnya semakin banyak sehingga mampu berproduksi lebih baik begitu juga sebaliknya
tanaman jagung pada perlakuan P3. Pada umumnya produksi tiap satuan luas tinggi
tercapai dengan populasi tinggi, karena tercapainya penggunaan cahaya secara
maksimum diawal pertumbuhan dan tanaman memberikan respon dengan mengurangi
ukuran baik pada seluruh tanaman maupun pada bagian-bagian tertentu (Harjadi,
1988).
Perlakuan waktu
tanam kedelai yang ditumpangsarikan dengan jagung mempengaruhi pertumbuhan dan
produksi kedelai dan jagung, hal ini dikarenakan tumpangsari mengakibatkan
lamanya kedelai ternaungi akan berbeda-beda dan periode penaungan juga berbeda
untuk setiap perlakuan.
Dari hasil
pengamatan didapat bahwa perlakuan selang waktu tanam berpengaruh nyata terhadap
tinggi tanaman kedelai, jumlah buku subur ,panjang tongkol, jumlah biji per tongkol,
serta bobot biji per petak dan per hektar. Selang waktu tanam W3 (dua minggu
setelah tanam jagung mampu meningkatkan tinggi tanaman pada awal pertumbuhan
yaitu 2 MST dan 4 MST. Hal ini disebabkan pada pertumbuhan vegetatif tanaman
kedelai yang ditanam dua minggu setelah tanam jagung mengalami etiolasi, karena adanya naungan
tanaman jagung yang menyebabkan tanaman kedelai berusaha mencari cahaya
matahari sehingga terjadi pemanjangan batang (Fahmi, 2003). Selain itu juga
adanya penurunan dalam intensitas dan perubahan dalam kualitas cahaya. Kualitas
cahaya yang akhirnya jatuh pada tanaman yang dinaungi akan lebih banyak sinar
infra merah sehingga banyak tanaman jika hanya disinari oleh sinar ini akan
memperlihatkan pemanjangan batang. Pengaruh naungan tanaman jagung secara tidak
langsung mempengaruhi iklim mikro sekitar tanaman kedelai yaitu kelembaban
udara menjadi lebih tinggi dan radiasi matahari
lebih rendah (Khali, 2000).
Perlakuan
selang waktu tanam secara umum W3 (dua minggu setelah tanam jagung) memberikan pengaruh
yang lebih baik terhadap hasil jagung, seperti panjang tongkol, jumlah biji per
tongkol dan bobot biji per petak dan per hektar. Hal ini dikarenakan perakaran
jagung dapat menyerap air dan hara serta cahaya yang cukup untuk proses
fotosistesis yang dibutuhkan pertumbuhan
dan pembentukan biji. Selain itu juga diduga karena kacang kedelai telah mampu
menyumbangkan N hasil fiksasi kedalam tanah sehingga dapat dimanfaatkan oleh
jagung. Sesuai dengan Marthiana (1991) yang menyatakan perembesan nitrogen dan
bintil akar nyata pengaruhnya terhadap penambahan hasil biji jagung yang
ditanam dengan leguminosa.
Berdasarkan
tabel 3 dan 9 secara keseluruhan perlakuan populasi dan selang waktu tanam
menunjukkan pengaruh yang baik terhadap pertumbuhan kedelai maupun jagung,
namun tidak menunjukkan hasil yang baik terhadap tanaman kedelai. Sehingga
didapat hasil jagung lebih baik daripada
hasil kedelai yang disebabkan terjadinya gagal pada pengisian polong. Rendahnya
produksi kedelai atau tingginya persentasi polong hampa pada penelitian ini
diduga karena terbatasnya unsur hara, antar tanaman terjadi persaingan yang
kuat dalam unsur hara. Pengaruh-pengaruh ini diakibatkan kurangnya hasil
fotosintesis pada masa vegetatif dan generatif, dimana hasil fotosintesis daun
yang ternaungi menjadi sedikit sehingga pada suatu saat dimana sangat
dibutuhkan untuk pengisian dan perkembangan polong, asimilat tidak mencukupi.
Hal ini sesuai dengan pendapat Baharsjah (1990), yang menyatakan bahwa
penaungan pada kacang tanah dan kedelai pada masa sebelum pembungaan akan
mengganggu pertumbuhan akar dan penaungan pada masa pembungaan akan
menggugurkan bunga serta penaungan pada awal pengisian polong akan menghambat
laju pengisian polong.
Banyak
faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan hasil tanaman tersebut seperti keadaan
lingkungan yaitu iklim atau curah hujan dan tanah. Pengaruh naungan tanaman jagung secara tidak
langsung mempengaruhi iklim mikro sekitar tanaman kedelai yaitu kelembaban
udara menjadi lebih tinggi dan radiasi matahari
lebih rendah menyebabkan tanaman mengalami etiolasi. Sehingga seperti
pada perlakuan W3 terdapat pertumbuhan kedelai yang baik yaitu pengaruh nyata
terhadap tinggi tanaman. Hama
juga sangat mempengaruhi pertumbuhan dan hasil tanaman seperti penyebab gagal
pembentukan biji seperti kepik piezodorus (Piezodorus
rubrofasciatus Fabricius) dan kepik polong (Riptortus linearis Fabricius) menyerang dengan menusuk polong dan
biji serta mengisap cairan biji pada stadia pertumbuhan polong dan biji
(Marwoto, 2006).
Tingginya persentase jumlah polong
hampa diduga karena dosis kapur yang diaplikasikan sebelum tanam kurang mencukupi yaitu 2
ton/ha, hal ini dapat dilihat dari hasil analisi tanah dimana kandungan Aldd
sebesar 0,88 me/100 g sehingga dibutuhkan pengapuran sebanyak 7,44 ton/ha
(Lampiran 8). Akar tanaman diselaputi oleh Al dan
akar tanaman tidak dapat menyerap hara. Hara P dalam tanah maupun yang
ditambahkan tidak tersedia karena diikat oleh Al sedangkan K tidak tersedia
karena terdesak oleh Al. Selain
itu kejenuhan Al akan rendah apabila kadar Al tanah tinggi. Batas toleransi tanaman jagung dan kedelai terhadap kejenuhan Al adalah 30 dan 15%, sehingga kapur untuk jagung dan kedelai sebaiknya diberikan
apabila kejenuhan Al lebih dari 30 dan 15%.
Selain itu pengapuran juga diberikan karena pH tanah rendah (pH < 5,5). Pada
tanah yang mempunyai pH rendah ketersediaan hara bagi tanaman menurun,
aktivitas biologi tanah berkurang, dan keracunan Al meningkat (Roesmarkam dan
Yuwono, 2002).
Selama
periode penanaman ini kebutuhan air untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman
sudah mencukupi karena adanya curah hujan yang merata (Lampiran 7). Kebutuhan air semakin bertambah seiring dengan bertambahnya umur tanaman. Kebutuhan
air paling tinggi terjadi pada
saat masa berbunga dan pengisian polong. Kondisi kekeringan menjadi sangat kritis pada
saat tanaman kedelai berada pada
stadia perkecambahan dan pembentukan polong (Prihatman, 2000).
Pendapat
ini didukung oleh Harjono (1998), bahwa pertumbuhan dan hasil tanaman tidak
hanya dipengaruhi faktor internal, melainkan saling berkaitan dengan faktor
lainnya diantaranya adalah status air dalam jaringan tanaman, areal lahan
tanaman, keadaaan tanah, hara dan
intensitas cahaya matahari. Bila salah satu faktor tersebut tidak mendukung,
unsur hara yang diberikan menjadi tidak berguna bagi pertumbuhan dan hasil
tanaman.
Berdasarkan
hasil analisis Nisbah Kesetaraan Lahan (NKL), bahwa pada tumpangsari kedelai
dengan jagung perlakuan yang menguntungkan adalah P3W3 (satu baris kedelai satu
baris jagung ditanam dua minggu setelah tanam jagung), hal ini dapat dilihat
dari nilai NKL= 1,25 artinya untuk mendapatkan hasil yang sama dengan satu hektar
diperluksn 1,25 hektar pertanaman secara monokultur.
KESIMPULAN
DAN SARAN
A.
Kesimpulan
1.
Tumpangsari
yang menguntungkan adalah perlakuan P1W1 untuk kedelai dan P3W3 untuk tanaman
jagung.
2.
Populasi
tanaman memberikan hasil yang baik terhadap bobot 100 biji, bobot biji perpetak
pada tanam kedelai, jumlah biji
pertongkol. Bobot biji perpetak daot biji perhektar.
3.
ang
waktu tanam memberikan hasil yang baik terhadap tinggi tanaman 2 MST, 4 MST dan
jumlah buku subur tanaman kedelai, jumlah biji pertongkol, bobot biji perpetak
bobot 100 biij, bobot biji perhektar tanaman jagung.
B.
Saran
Perlu dilakukan
penelitian menggunakan perlakuan yang lain atau menggunakan komoditi yang lain.
DAFTAR PUSTAKA
Asadi, D.et al. 1997. Pemuliaan Kedelai Untuk Toleran Naungan dan
Tumpangsari. Buletin Agrobio 1 (2) : 15-20
Barus , W . Afriani. 2004.
Respon pertumbuhan dan hasil tanaman kedelai yang ditumpangsarikan dengan jagung derhadap
pengaturan saat tanam dan jarak tanam. Jurnal. Medan : Agronomi , Fakultas pertanian, Universitas Amir Hamzah.
BPS Sumatera Selatan . 2010. Statistik Kedelai Sumatera
selatan
Djafar, Z.R at all. 1990. Dasar-dasar Agronomi. BKS-B. Palembang
Harjadi, S.S.,1988. Pengantar Agronomi. Gramedia.
Jakarta.
Harjono, D. 1994.Bercocok Tanam Umum. Andi Offset, Yogyakarta.
21
Halaman.
Hudgens,
R. E. and D. E. Mc. Cloud. 1994. The effect of low light intensity on
flowering, yield and kernel size of f10runner peanut. Reprinted from soil and
crop sci. Soc. Of Florida.
Proc. 34:176-178.
Indriati, T. R . 2009 .Pengaruh Pupuk Organik dan Populasi
Tanaman Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tumpangsari Kedelai dan Jagung.Tesis. Surakarta: Agronomi,Program Pascasarjana,
Universitas sebelas Maret.dan Dosis Pupuk Posfat Terhadap Pertumbuhan, Hasil
Kacang Tanah dan Jagung. Dalam Sistem Tumpangsari. Agrista. Vol : 4 No 3.
Khali, M. 2000. Penentuan Waktu Tanam Kacang Tanah dan Dosis
Pupuk Posfat Terhadap Pertumbuhan, Hasil Kacang Tanah dan Jagung. Dalam Sistem
Tumpangsari. Agrista. Vol : 4 No 3.
Lakitan, B. 1995. Hortikultura. Teori Budidaya dan Pasca Panen.
Raja Grafindo Persada.Jakarta
Marthiana, M. dan Baharsyah. 1991. Pengaruh Waktu Tanam Kedelai
(Glycogen Max (L) Merrill. Terhadap
Hasil dan Komponen Hasil Kedua Tanaman. Bull. Agron. XIII (1) : 24 – 34.
Marwoto, et al. 2006. Hama, Penyakit, dan Masalah Hara Pada Tanaman Kedelai.
Departemen Pertanian, Badan penelitian dan Pengembangan Pertanian.Pusat
Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan.Bogor.
Subhan. 1989. Pengaruh Jarak Tanam dan
Pemupukan Posfat Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Kacang Jogo. Penelitian
Hortikultura. 18(2):51-66
Thahir dan Hatmadi, 1986. Tumpang Gilir (Multiple
Cropping). Direktorat Penyuluhan Pertanian Pasar
Minggu, Yakarta
Turmudi,E. 2002. Kajian pertumbuhan dan hasil tanaman
sistem tumpangsari jagung dengan empat kultivar kedelai pada berbagai waktu
tanam. pada http://Agribisnis. deptan. go. id/ layanan info/ view php, diakses pada
tanggal 15 April 2010
[1]Disampaikan
pada Senibar Hasil Penelitian Mahasiswa Jurusan Budidaya Pertanian
Fakultas Pertanian Universitas
Sriwijaya
2Berturut-turut
Mahasiswa Penelitian, Dosen Pembimbing I dan II
Belum ada Komentar untuk "PENGARUH POPULASI DAN SELANG WAKTU TANAM TERHADAP PERTUMBUHAN DAN HASIL KEDELAI YANG DITUMPANGSARIKAN DENGAN JAGUNG"
Posting Komentar