Sejarah Perjalanan WTO dan dinamika kepentingan yang terjadi di dalamnya antara negara maju dan negara berkembang.
Rabu, 10 September 2014
1 Komentar
Latar Belakang berdirinya World Trade Organization (WTO) tidak lepas
dari sejarah lahirnya ITO (dan GATT). Seperti telah umum diketahui, masyarakat
internasional seusai Perang Dunia II menyadari perlunya pembentukan suatu
organisasi internasional di bidang perdagangan. Tujuannya antara lain adalah
sebagai forum guna membahas dan mengatur masalah perdagangan dan
ketenagakerjaan internasional.
Namun upaya atau usulan yang
dilontarkan oleh Amerika Serikat, setelah mengalami beberapa tahun perundingan
(1945-1948), ternyata Kongres Amerika Serikat menolak menandatangani Piagam
pendirian ITO. Kebetulan pada waktu Piagam ITO dirancang di Konferensi Jenewa,
pada waktu yang bersamaan dirancang pula GATT.
Dasar pemikiran penyusunan GATT ini
adalh suatu kesepakatan yang memuat hasil-hasil negoisasi tarif dan
klausul-klausul perlindungan (protektif) guna mengatur komitmen tarif. GATT
karenanya dirancang sebagai suatu persetujuan tambahan yang posisinya berada di
bawah Piagam ITO. Tetapi pada waktu itu GATT tidak dirancang menjadi suatu
organisasi.
Menyadari Piagam ITO tidak akan diratifikasi
oleh negara pelaku utama perekonomian dunia, negera-negara mengambil inisiatif
untuk memberlakukan GATT melalui “Protocol of Provisional Application” (PPA)
yang ditandatangani oleh 22 anggota asli GATT pada akhir 1947. Sejak itulah
GATT kemudian diberlakukan dan perjalanan sejarah menunjukkan GATT bahkan
berubah menjadi ‘organisasi’ internasional.
GATT menyelenggarakan
putaran-putaran perundingan (Round) untuk membahas isu-isu (hukum) perdagangan
dunia. Sejak berdiri (1947), GATT telah menyelenggarakan 8 putaran. Putaran
terakhir, Uruguay Round berlangsung dari 1986-1994 yang dimulai dari kota
Jenewa, Swiss.
Meskipun disadari bahwa GATT dari
segi atau persyaratan suatu organisasi masih lemah, namun para perunding
sewaktu memepersiapkan perundingan Uruguay tidak membayangkan sama sekali untuk
mendirikan suatu organisasi internasional yang sifatnya formal. Tidak adanya
pemikiran ke arah itu mungkin karena GATT itu sendiri telah berkembang menjadi
semacam (quasi) organisasi. Juga mungkin ada kekhawatiran bahwa rencana ke arah
itu akan mengalami nasib seperti ITO.
Adalah pemerintah Canada yang
pertama-tama di bulan Mei 1990, mengusulkan secara formal pembentukan suatu
badan Perdagangan Dunia (WTO). Usulan ini disambut positif oleh Uni Eropa.
Namun Uni Eropa mengusulkan agar istilah ‘World’ diganti dengan ‘Multilateral’
(Trade Organization) atau MTO.
Usulan pembentukan MTO ini dibahas
dalam Pertemuan Tingkat Menteri di Brussels pada Desember 1990. Hasil pertemuan
ini antara lain adalah mencamtumkan kemungkina pembentukan suatu organisasi
internasional di masa depan.
Perkembangan cukup penting terjadi
pada Desember 1991 ketika Sekjen GATT waktu itu, Arthur Dunkel, berupaya
mempercepat perundingan. Beliau mengeluarkan suatu rancangan lengkap mengenai
hasil-hasil perundingan. Didalam rancangan tersebut tercantum pula usulan
pembentukan suatu organisasi perdagangan internasional baru yakni MTO.
Perkembangan selanjutnya adalah
membahas isi rancangan tersebut disertai perubahan-perubahannya agar dapat
diterima oleh semua negara, khususnya Amerika Serikat. Pada pertemuan bulan
Desember 1993, tercapai kesepakatan terhadap usulan pembentukan organisasi
internasional. Tetapi namanya berubah kembali menjadi WTO. Usulan ini disahkan
menjadi persetujuan akhir yang ditandatangani pada April 1994 di Maroko.
WTO merupakan satu-satunya organisasi internasional yang mengatur perdagangan
internasional. Terbentuk sejak tahun 1995, WTO berjalan berdasarkan serangkaian
perjanjian yang dinegosiasikan dan disepakati oleh sejumlah besar negara di
dunia dan diratifikasi melalui parlemen. Tujuan dari perjanjian-perjanjian WTO
adalah untuk membantu produsen barang dan jasa, eksportir dan importir dalam
melakukan kegiatannya.
Pendirian
WTO berawal dari negosiasi yang dikenal dengan "Uruguay Round"
(1986 - 1994) serta perundingan sebelumnya di bawah "General Agreement
on Tariffs and Trade" (GATT). WTO saat ini terdiri dari 154 negara
anggota, di mana 117 di antaranya merupakan negara berkembang atau wilayah
kepabeanan terpisah. Saat ini, WTO menjadi wadah negosiasi sejumlah perjanjian
baru di bawah "Doha Development Agenda" (DDA) yang dimulai
tahun 2001.
Pengambilan
keputusan di WTO umumnya dilakukan berdasarkan konsensus oleh seluruh negara
anggota. Badan tertinggi di WTO adalah Konferensi Tingkat Menteri (KTM) yang
dilaksanakan setiap dua tahun sekali. Di antara KT, kegiatan-kegiatan
pengambilan keputusan WTO dilakukan oleh General Council. Di bawahnya terdapat
badan-badan subsider yang meliputi dewan, komite, dan sub-komite yang bertugas untuk
melaksanakan dan mengawasi penerapan perjanjian-perjanjian WTO oleh negara
anggota.
Prinsip
pembentukan dan dasar WTO adalah untuk mengupayakan keterbukaan batas wilayah,
memberikan jaminan atas "Most-Favored-Nation principle" (MFN)
dan perlakuan non-diskriminasi oleh dan di antara negara anggota, serta
komitmen terhadap transparansi dalam semua kegiatannya. Terbukanya pasar
nasional terhadap perdagangan internasional dengan pengecualian yang patut atau
fleksibilitas yang memadai, dipandang akan mendorong dan membantu pembangunan
yang berkesinambungan, meningkatkan kesejahteraan, mengurangi kemiskinan, dan
membangun perdamaian dan stabilitas. Pada saat yang bersamaan, keterbukaan
pasar harus disertai dengan kebijakan nasional dan internasional yang sesuai
dan yang dapat memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan dan pembangunan
ekonomi sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi setiap negara anggota.
Terkait
dengan DDA, KTM Doha pada tahun 2001 memandatkan negara anggota untuk melakukan
putaran perundingan dengan tujuan membentuk tata perdagangan multilateral yang
berdimensi pembangunan. Tata perdagangan ini akan memberikan kesempatan bagi
negara berkembang dan LDCs untuk dapat memanfaatkan perdagangan internasional
sebagai sumber pendanaan bagi pembangunan. Isu-isu utama yang dibahas mencakup
isu pertanian, akses pasar produk bukan pertanian (Non-Agricultural Market
Access—NAMA), perdagangan bidang jasa, dan Rules.
Dalam
perkembangannya, isu pertanian khususnya terkait penurunan subsidi domestik dan
tarif produk pertanian menjadi isu yang sangat menentukan jalannya proses
perundingan. Bagi sebagian besar negara berkembang, isu pertanian sangat
terkait dengan permasalahan sosial ekonomi (antara lain food security,
livelihood security dan rural development). Sementara bagi negara
maju, pemberian subsidi domestik mempunyai dimensi politis yang penting dalam
kebijakan pertanian mereka.
Proses
perundingan DDA tidak berjalan mulus. Hal ini diakibatkan oleh perbedaan posisi
runding di antara negara anggota terkait isu-isu sensitif, khususnya pertanian
dan NAMA. Setelah mengalami sejumlah kegagalan hingga dilakukan "suspension"
pada bulan Juni 2006, proses perundingan secara penuh dilaksanakan kembali awal
Februari 2007. Pada bulan Juli 2008, diadakan perundingan tingkat menteri
dengan harapan dapat menyepakati modalitas pertanian dan NAMA, dan menggunakan
isu-isu single-undertaking seperti isu perdagangan bidang jasa, kekayaan
intelektual, pembangunan, dan penyelesaian sengketa. Namun perundingan Juli
2008 juga mengalami kegagalan.
Berbagai
upaya telah dilakukan untuk mendorong kemajuan dalam perundingan, mulai dari
pertemuan tingkat perunding, Pejabat Tinggi, dan Tingkat Menteri; baik dalam
format terbatas (plurilateral dan bilateral) maupun multilateral. Namun semua
upaya tersebut belum menunjukkan hasil yang menggembirakan. Pihak-pihak utama
yang terlibat tampaknya belum dapat bergerak dari posisi awal mereka.
Target
Program Kerja WTO di tahun 2011 adalah 9 (sembilan) Komite/Negotiating
Groups diharapkan mengeluarkan “final texts” atau teks modalitas
yang akan menjadi dasar kesepakatan single undertaking Putaran Doha pada
bulan April 2011. Selanjutnya, kesepakatan atas keseluruhan paket Putaran Doha
tersebut diharapkan selesai pada bulan Juli 2011; dan pada akhirnya seluruh
jadwal dan naskah hukum kesepakatan Putaran Doha selesai (ditandatangani) akhir
tahun 2011. Namun target tersebut tampaknya sudah terlampaui batas waktunya dan
belum ada perubahan terhadap Program Kerja yang ada.
Pada bulan
Desember 2011, telah diselenggarakan Konferensi Tingkat Menteri (KTM) WTO di
Jenewa. KTM menyepakati elemen-elemen arahan politis (political guidance)
yang akan menentukan program kerja WTO dan Putaran Doha (Doha Development
Agenda) dua tahun ke depan. Arahan politis yang disepakati bersama tersebut
terkait tema-tema sebagai berikut: (i) penguatan sistem perdagangan
multilateral dan WTO; (ii) penguatan aktivitas WTO dalam isu-isu perdagangan
dan pembangunan; dan (iii) langkah ke depan penyelesaian perundingan Putaran
Doha.
Sebuah titik
terang muncul pada KTM ke-9 (Bali, 3 – 7 Desember 2013), di mana untuk
pertama kalinya dalam sejarah WTO, organisasi ini dianggap telah “fully-delivered”.
Negara-negara anggota WTO telah menyepakati “Paket Bali” sebagai outcome
dari KTM ke-9 WTO. Isu-isu dalam Paket Bali—mencakup isu Fasilitasi
Perdagangan, Pembangunan dan LDCs, serta Pertanian—merupakan sebagian
dari isu perundingan DDA.
Disepakatinya Paket Bali merupakan
suatu capaian historis. Pasalnya, sejak dibentuknya WTO pada tahun 1995, baru
kali ini WTO mampu merumuskan suatu perjanjian baru yaitu Perjanjian Fasilitasi
Perdagangan. Perjanjian ini bertujuan untuk melancarkan arus keluar masuk
barang antar negara di pelabuhan dengan melakukan reformasi pada mekanisme
pengeluaran dan pemasukan barang yang ada. Arus masuk keluar barang yang lancar
di pelabuhan tentu akan dapat mendukung upaya pemerintah Indonesia untuk
meningkatkan daya saing perekonomian dan memperluas akses pasar produk ekspor
Indonesia di luar negeri.
Selain itu, Paket Bali juga mencakup
disepakatinya fleksibilitas dalam isu public stokholding for food security.
Hal ini akan memberikan keleluasaan bagi negara-negara berkembang,
termasuk Indonesia, untuk memberikan subsidi bagi ketersediaan pangan yang
murah bagi rakyat miskin, tanpa khawatir digugat di forum Dispute Settlement
Body WTO.
Dengan Paket Bali, kredibilitas WTO
telah meningkat sebagai satu-satunya forum multilateral yang menangani kegiatan
perdagangan internasional, sekaligus memulihkan political confidence dari
seluruh negara anggota WTO mengenai pentingnya penyelesaian perundingan DDA.
Hal tersebut secara jelas tercantum dalam Post Bali Work, di mana
negara-negara anggota diminta untuk menyusun work program penyelesaian
DDA di tahun 2014. Selesainya perundingan DDA akan memberikan manfaat bagi
negara-negara berkembang dan LDCs dalam berintegrasi ke dalam sistem
perdagangan multilateral.
Di dalam perkembangannya, WTO memiliki 5 (lima)
prinsip dasar GATT/WTO yaitu :
1. Perlakuan yang sama untuk semua anggota (Most
Favoured Nations Treatment (MFN).
Prinsip ini diatur dalam pasal
I GATT 1994 yang mensyaratkan semua komitmen yang dibuat atau ditandatangani
dalam rangka GATT-WTO harus diperlakukan secara sama kepada semua negara
anggota WTO (azas non diskriminasi) tanpa syarat. Suatu negara tidak
diperkenankan untuk menerapkan tingkat tarif yang berbeda kepada suatu negara
dibandingkan dengan negara lainnya. Dengan berdasarkan prinsip MFN,
negara-negara anggota tidak dapat begitu saja mendiskriminasikan mitra-mitra
dagangnya. Keinginan tarif impor yang diberikan pada produk suatu negara harus
diberikan pula kepada produk impor dari mitra dagang negara anggota lainnya.
2. Pengikatan Tarif (Tariff binding)
Prinsip ini diatur dalam pasal
II GATT 1994 dimana setiap negara anggota GATT atau WTO harus memiliki daftar
produk yang tingkat bea masuk atau tarifnya harus diikat (legally bound). Pengikatan
atas tarif ini dimaksudkan untuk menciptakan “prediktabilitas” dalam urusan
bisnis perdagangan internasional/ekspor. Artinya suatu negara anggota tidak
diperkenankan untuk sewenang-wenang merubah atau menaikan tingkat tarif bea
masuk.
3. Perlakuan nasional (National treatment)
Prinsip ini diatur dalam pasal
III GATT 1994 yang mensyaratkan bahwa suatu negara tidak diperkenankan untuk
memperlakukan secara diskriminasi antara produk impor dengan produk dalam
negeri (produk yang sama) dengan tujuan untuk melakukan proteksi. Jenis-jenis
tindakan yang dilarang berdasarkan ketentuan ini antara lain, pungutan dalam
negeri, undang-undang, peraturan dan persyaratan yang mempengaruhi penjualan,
penawaran penjualan, pembelian, transportasi, distribusi atau penggunaan
produk, pengaturan tentang jumlah yang mensyaratkan campuran, pemrosesan atau
penggunaan produk-produk dalam negeri. Negara anggota diwajibkan untuk
memberikan perlakuan sama atas barang-barang impor dan lokal- paling tidak
setelah barang impor memasuki pasar domestik.
4. Perlindungan hanya melalui tarif.
Prinsip ini diatur dalam pasal
XI dan mensyaratkan bahwa perlindungan atas industri dalam negeri hanya
diperkenankan melalui tarif.
5. Perlakuan khusus dan
berbeda bagi negara-negara berkembang (Special dan Differential Treatment
for developing countries – S&D).
Untuk meningkatkan partisipasi
nagara-negara berkembang dalam perundingan perdagangan internasional, S&D
ditetapkan menjadi salah satu prinsip GATT/WTO. Sehingga semua persetujuan WTO
memiliki ketentuan yang mengatur perlakuan khusus dan berbeda bagi negara
berkembang. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan kemudahan-kemudahan bagi
negara-negara berkembang anggota WTO untuk melaksanakan persetujuan WTO.
GATT/WTO
MENGATUR BERBAGAI PENGECUALIAN DARI PRINSIP DASAR SEPERTI :
1. Kerjasama regional, bilateral dan custom union.
Pasal XXIV GATT 1994 memperkenankan anggota WTO untuk
membentuk kerjasama perdagangan regional, bilateral dan custom union asalkan
komitmen tiap-tiap anggota WTO yang tergabung dalam kerjasama perdagangan
tersebut tidak berubah sehingga merugikan negara anggota WTO lain yang tidak
termasuk dalam kerjasama perdagangan tersebut.
2. Pengecualian umum.
Pasal XX GATT 1994 memperkenankan suatu negara untuk
melakukan hambatan perdagangan dengan alasan melindungi kesehatan manusia,
hewan, dan tumbuh-tumbuhan ;importasi barang yang bertentangan dengan
moral;konservasi hutan; mencegah perdagangan barang-barang pusaka atau yang
bernilai budaya, perdagangan emas.
3. Tindakan anti- dumping dan subsidi.
Pasal VI GATT 1994, Persetujuan Antidumping dan
subsidi memperkenankan pengenaan bea masuk anti-dumping dan bea masuk imbalan
hanya kepada perusahaan-perusahaan yang terbukti bersalah melakukan dumping dan
mendapatkan subsidi.
4. Tindakan safeguards.
Pasal XIX GATT 1994 dan persetujuan Safeguard
memperkenankan suatu negara untuk mengenakan kuota atas suatu produk impor yang
mengalami lonjakan substansial yang merugikan industri dalam negeri.
5. Tindakan safeguard untuk mengamankan balance of
payment.
Melarang masuknya suatu produk yang terbukti
mengandung penyakit berbahaya atau penyakit menular yang membahayakan kesehatan
manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan. (Steger, 2003: 2).
Sejarah
membuktikan bahwa perdagangan internasional memegang peranan sangat menentukan
dalam meneiptakan kemakmuran seluruh bangsa, tetapi di pihak lain perdagangan
dan investasi internasional itu juga dapat menyengsarakan bangsa sehingga
akhimya menjadi negeri jajahan. Di bidang perdagangan internasional, saling
ketergantungan tidak dapat dihindarkan lagj pada saat ini, apalagi dalam abad
ke 21. World Trade Organization (WTO) sebagai sebuah organisasi perdagangan
internasional diharapkan dapat menjembatani semua kepentingan negara di dunia
dalam sektor perdagangan melalui ketentuan-ketentuan yang disetujui bersama.
WTO ditujukan untuk menghasilkan kondisi-kondisi yang bersifat timbal balik dan
saling menguntungkan sehingga semua negara dapat menarik manfaatnya. Melalui
WTO, diluncurkan suatu model perdagangan dimana kegiatan perdagangan antar
negara diharapkan dapat berjalan dengan lancar.
Pada
prinsipnya World Trade Organization (WTO) merupakan suatu sarana untuk
mendorong terjadinya suatu perdagangan bebas yang tertib dan adil di dunia ini.
Dalam menjalankan tugasnya untuk mendorong terciptanya perdagangan bebas
tersebut, World Trade Organization (WTO) memberlakukan beberapa prinsip yang
menjadi pilar-pilar World Trade Organization (WTO). Yang terpenting di antara
prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai berikut: Prinsip Perlindungan Melalui
Tarif, Prinsip National Treatment, Prinsip Most Favoured Nations, Prinsip
Reciprocity (Timbal Balik), Prinsip Larangan Pembatasan Kuantitatif. Prinsip
Most Favoured Nations merupakan prinsip dasar (utama) WTO yang menyatakan bahwa
suatu kebijakan perdagangan harus dilaksanakan atas dasar nondiskriminatif,
yakni semua negara harus diperlakukan atas dasar yang sama dan semua negara
menikmati keuntungan dari suatu kebijaksanaan perdagangan.
DAFTAR
PUSTAKA
Sumber
Buku
Adolf, Huala.
2005. Hukum Ekonomi Internasional.
Jakarta: PT.Rajagrafindo Persada.
Margono, Suyud. 2010. Hukum Hak Cipta Indonesia. Bogor:
Penerbit Ghalia Indonesia.
Sood, Muhammad. 2012. Hukum Perdagangan Internasional.
Jakarta: Rajawali Pers.
Tambunan, Tulus T.H. 2004. Globalisasi dan Perdagangan Internasional.
Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia.
Terima kasih atas informasinya.
BalasHapus