Sejarah Perjalanan WTO dan dinamika kepentingan yang terjadi di dalamnya antara negara maju dan negara berkembang.



            Latar Belakang berdirinya World Trade Organization (WTO) tidak lepas dari sejarah lahirnya ITO (dan GATT). Seperti telah umum diketahui, masyarakat internasional seusai Perang Dunia II menyadari perlunya pembentukan suatu organisasi internasional di bidang perdagangan. Tujuannya antara lain adalah sebagai forum guna membahas dan mengatur masalah perdagangan dan ketenagakerjaan internasional.
Namun upaya atau usulan yang dilontarkan oleh Amerika Serikat, setelah mengalami beberapa tahun perundingan (1945-1948), ternyata Kongres Amerika Serikat menolak menandatangani Piagam pendirian ITO. Kebetulan pada waktu Piagam ITO dirancang di Konferensi Jenewa, pada waktu yang bersamaan dirancang pula GATT.
Dasar pemikiran penyusunan GATT ini adalh suatu kesepakatan yang memuat hasil-hasil negoisasi tarif dan klausul-klausul perlindungan (protektif) guna mengatur komitmen tarif. GATT karenanya dirancang sebagai suatu persetujuan tambahan yang posisinya berada di bawah Piagam ITO. Tetapi pada waktu itu GATT tidak dirancang menjadi suatu organisasi.
Menyadari Piagam ITO tidak akan diratifikasi oleh negara pelaku utama perekonomian dunia, negera-negara mengambil inisiatif untuk memberlakukan GATT melalui “Protocol of Provisional Application” (PPA) yang ditandatangani oleh 22 anggota asli GATT pada akhir 1947. Sejak itulah GATT kemudian diberlakukan dan perjalanan sejarah menunjukkan GATT bahkan berubah menjadi ‘organisasi’ internasional.
GATT menyelenggarakan putaran-putaran perundingan (Round) untuk membahas isu-isu (hukum) perdagangan dunia. Sejak berdiri (1947), GATT telah menyelenggarakan 8 putaran. Putaran terakhir, Uruguay Round berlangsung dari 1986-1994 yang dimulai dari kota Jenewa, Swiss.
Meskipun disadari bahwa GATT dari segi atau persyaratan suatu organisasi masih lemah, namun para perunding sewaktu memepersiapkan perundingan Uruguay tidak membayangkan sama sekali untuk mendirikan suatu organisasi internasional yang sifatnya formal. Tidak adanya pemikiran ke arah itu mungkin karena GATT itu sendiri telah berkembang menjadi semacam (quasi) organisasi. Juga mungkin ada kekhawatiran bahwa rencana ke arah itu akan mengalami nasib seperti ITO.
Adalah pemerintah Canada yang pertama-tama di bulan Mei 1990, mengusulkan secara formal pembentukan suatu badan Perdagangan Dunia (WTO). Usulan ini disambut positif oleh Uni Eropa. Namun Uni Eropa mengusulkan agar istilah ‘World’ diganti dengan ‘Multilateral’ (Trade Organization) atau MTO.
Usulan pembentukan MTO ini dibahas dalam Pertemuan Tingkat Menteri di Brussels pada Desember 1990. Hasil pertemuan ini antara lain adalah mencamtumkan kemungkina pembentukan suatu organisasi internasional di masa depan.
Perkembangan cukup penting terjadi pada Desember 1991 ketika Sekjen GATT waktu itu, Arthur Dunkel, berupaya mempercepat perundingan. Beliau mengeluarkan suatu rancangan lengkap mengenai hasil-hasil perundingan. Didalam rancangan tersebut tercantum pula usulan pembentukan suatu organisasi perdagangan internasional baru yakni MTO.
Perkembangan selanjutnya adalah membahas isi rancangan tersebut disertai perubahan-perubahannya agar dapat diterima oleh semua negara, khususnya Amerika Serikat. Pada pertemuan bulan Desember 1993, tercapai kesepakatan terhadap usulan pembentukan organisasi internasional. Tetapi namanya berubah kembali menjadi WTO. Usulan ini disahkan menjadi persetujuan akhir yang ditandatangani pada April 1994 di Maroko.
WTO merupakan satu-satunya organisasi internasional yang mengatur perdagangan internasional. Terbentuk sejak tahun 1995, WTO berjalan berdasarkan serangkaian perjanjian yang dinegosiasikan dan disepakati oleh sejumlah besar negara di dunia dan diratifikasi melalui parlemen. Tujuan dari perjanjian-perjanjian WTO adalah untuk membantu produsen barang dan jasa, eksportir dan importir dalam melakukan kegiatannya.
Pendirian WTO berawal dari negosiasi yang dikenal dengan "Uruguay Round" (1986 - 1994) serta perundingan sebelumnya di bawah "General Agreement on Tariffs and Trade" (GATT). WTO saat ini terdiri dari 154 negara anggota, di mana 117 di antaranya merupakan negara berkembang atau wilayah kepabeanan terpisah. Saat ini, WTO menjadi wadah negosiasi sejumlah perjanjian baru di bawah "Doha Development Agenda" (DDA) yang dimulai tahun 2001.
Pengambilan keputusan di WTO umumnya dilakukan berdasarkan konsensus oleh seluruh negara anggota. Badan tertinggi di WTO adalah Konferensi Tingkat Menteri (KTM) yang dilaksanakan setiap dua tahun sekali. Di antara KT, kegiatan-kegiatan pengambilan keputusan WTO dilakukan oleh General Council. Di bawahnya terdapat badan-badan subsider yang meliputi dewan, komite, dan sub-komite yang bertugas untuk melaksanakan dan mengawasi penerapan perjanjian-perjanjian WTO oleh negara anggota.
Prinsip pembentukan dan dasar WTO adalah untuk mengupayakan keterbukaan batas wilayah, memberikan jaminan atas "Most-Favored-Nation principle" (MFN) dan perlakuan non-diskriminasi oleh dan di antara negara anggota, serta komitmen terhadap transparansi dalam semua kegiatannya. Terbukanya pasar nasional terhadap perdagangan internasional dengan pengecualian yang patut atau fleksibilitas yang memadai, dipandang akan mendorong dan membantu pembangunan yang berkesinambungan, meningkatkan kesejahteraan, mengurangi kemiskinan, dan membangun perdamaian dan stabilitas. Pada saat yang bersamaan, keterbukaan pasar harus disertai dengan kebijakan nasional dan internasional yang sesuai dan yang dapat memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan dan pembangunan ekonomi sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi setiap negara anggota.
Terkait dengan DDA, KTM Doha pada tahun 2001 memandatkan negara anggota untuk melakukan putaran perundingan dengan tujuan membentuk tata perdagangan multilateral yang berdimensi pembangunan. Tata perdagangan ini akan memberikan kesempatan bagi negara berkembang dan LDCs untuk dapat memanfaatkan perdagangan internasional sebagai sumber pendanaan bagi pembangunan. Isu-isu utama yang dibahas mencakup isu pertanian, akses pasar produk bukan pertanian (Non-Agricultural Market Access—NAMA), perdagangan bidang jasa, dan Rules.
Dalam perkembangannya, isu pertanian khususnya terkait penurunan subsidi domestik dan tarif produk pertanian menjadi isu yang sangat menentukan jalannya proses perundingan. Bagi sebagian besar negara berkembang, isu pertanian sangat terkait dengan permasalahan sosial ekonomi (antara lain food security, livelihood security dan rural development). Sementara bagi negara maju, pemberian subsidi domestik mempunyai dimensi politis yang penting dalam kebijakan pertanian mereka.
Proses perundingan DDA tidak berjalan mulus. Hal ini diakibatkan oleh perbedaan posisi runding di antara negara anggota terkait isu-isu sensitif, khususnya pertanian dan NAMA. Setelah mengalami sejumlah kegagalan hingga dilakukan "suspension" pada bulan Juni 2006, proses perundingan secara penuh dilaksanakan kembali awal Februari 2007. Pada bulan Juli 2008, diadakan perundingan tingkat menteri dengan harapan dapat menyepakati modalitas pertanian dan NAMA, dan menggunakan isu-isu single-undertaking seperti isu perdagangan bidang jasa, kekayaan intelektual, pembangunan, dan penyelesaian sengketa. Namun perundingan Juli 2008 juga mengalami kegagalan.
Berbagai upaya telah dilakukan untuk mendorong kemajuan dalam perundingan, mulai dari pertemuan tingkat perunding, Pejabat Tinggi, dan Tingkat Menteri; baik dalam format terbatas (plurilateral dan bilateral) maupun multilateral. Namun semua upaya tersebut belum menunjukkan hasil yang menggembirakan. Pihak-pihak utama yang terlibat tampaknya belum dapat bergerak dari posisi awal mereka.
Target Program Kerja WTO di tahun 2011 adalah 9 (sembilan) Komite/Negotiating Groups diharapkan mengeluarkan “final texts” atau teks modalitas yang akan menjadi dasar kesepakatan single undertaking Putaran Doha pada bulan April 2011. Selanjutnya, kesepakatan atas keseluruhan paket Putaran Doha tersebut diharapkan selesai pada bulan Juli 2011; dan pada akhirnya seluruh jadwal dan naskah hukum kesepakatan Putaran Doha selesai (ditandatangani) akhir tahun 2011. Namun target tersebut tampaknya sudah terlampaui batas waktunya dan belum ada perubahan terhadap Program Kerja yang ada.
Pada bulan Desember 2011, telah diselenggarakan Konferensi Tingkat Menteri (KTM) WTO di Jenewa. KTM menyepakati elemen-elemen arahan politis (political guidance) yang akan menentukan program kerja WTO dan Putaran Doha (Doha Development Agenda) dua tahun ke depan. Arahan politis yang disepakati bersama tersebut terkait tema-tema sebagai berikut: (i) penguatan sistem perdagangan multilateral dan WTO; (ii) penguatan aktivitas WTO dalam isu-isu perdagangan dan pembangunan; dan (iii) langkah ke depan penyelesaian perundingan Putaran Doha.
Sebuah titik terang muncul pada KTM ke-9 (Bali, 3 – 7 Desember 2013), di mana untuk pertama kalinya dalam sejarah WTO, organisasi ini dianggap telah “fully-delivered”. Negara-negara anggota WTO telah menyepakati “Paket Bali” sebagai outcome dari KTM ke-9 WTO. Isu-isu dalam Paket Bali—mencakup isu Fasilitasi Perdagangan, Pembangunan dan LDCs, serta Pertanian—merupakan sebagian dari isu perundingan DDA.
Disepakatinya Paket Bali merupakan suatu capaian historis. Pasalnya, sejak dibentuknya WTO pada tahun 1995, baru kali ini WTO mampu merumuskan suatu perjanjian baru yaitu Perjanjian Fasilitasi Perdagangan. Perjanjian ini bertujuan untuk melancarkan arus keluar masuk barang antar negara di pelabuhan dengan melakukan reformasi pada mekanisme pengeluaran dan pemasukan barang yang ada. Arus masuk keluar barang yang lancar di pelabuhan tentu akan dapat mendukung upaya pemerintah Indonesia untuk meningkatkan daya saing perekonomian dan memperluas akses pasar produk ekspor Indonesia di luar negeri.
Selain itu, Paket Bali juga mencakup disepakatinya fleksibilitas dalam isu public stokholding for food security. Hal ini akan memberikan keleluasaan bagi negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, untuk memberikan subsidi bagi ketersediaan pangan yang murah bagi rakyat miskin, tanpa khawatir digugat di forum Dispute Settlement Body ­WTO.
Dengan Paket Bali, kredibilitas WTO telah meningkat sebagai satu-satunya forum multilateral yang menangani kegiatan perdagangan internasional, sekaligus memulihkan political confidence dari seluruh negara anggota WTO mengenai pentingnya penyelesaian perundingan DDA. Hal tersebut secara jelas tercantum dalam Post Bali Work, di mana negara-negara anggota diminta untuk menyusun work program penyelesaian DDA di tahun 2014. Selesainya perundingan DDA akan memberikan manfaat bagi negara-negara berkembang dan LDCs dalam berintegrasi ke dalam sistem perdagangan multilateral.
Di dalam perkembangannya, WTO memiliki 5 (lima) prinsip dasar GATT/WTO yaitu :
1. Perlakuan yang sama untuk semua anggota (Most Favoured Nations Treatment (MFN).
Prinsip ini diatur dalam pasal I GATT 1994 yang mensyaratkan semua komitmen yang dibuat atau ditandatangani dalam rangka GATT-WTO harus diperlakukan secara sama kepada semua negara anggota WTO (azas non diskriminasi) tanpa syarat. Suatu negara tidak diperkenankan untuk menerapkan tingkat tarif yang berbeda kepada suatu negara dibandingkan dengan negara lainnya. Dengan berdasarkan prinsip MFN, negara-negara anggota tidak dapat begitu saja mendiskriminasikan mitra-mitra dagangnya. Keinginan tarif impor yang diberikan pada produk suatu negara harus diberikan pula kepada produk impor dari mitra dagang negara anggota lainnya.

2. Pengikatan Tarif (Tariff binding)
Prinsip ini diatur dalam pasal II GATT 1994 dimana setiap negara anggota GATT atau WTO harus memiliki daftar produk yang tingkat bea masuk atau tarifnya harus diikat (legally bound). Pengikatan atas tarif ini dimaksudkan untuk menciptakan “prediktabilitas” dalam urusan bisnis perdagangan internasional/ekspor. Artinya suatu negara anggota tidak diperkenankan untuk sewenang-wenang merubah atau menaikan tingkat tarif bea masuk.

3. Perlakuan nasional (National treatment)
Prinsip ini diatur dalam pasal III GATT 1994 yang mensyaratkan bahwa suatu negara tidak diperkenankan untuk memperlakukan secara diskriminasi antara produk impor dengan produk dalam negeri (produk yang sama) dengan tujuan untuk melakukan proteksi. Jenis-jenis tindakan yang dilarang berdasarkan ketentuan ini antara lain, pungutan dalam negeri, undang-undang, peraturan dan persyaratan yang mempengaruhi penjualan, penawaran penjualan, pembelian, transportasi, distribusi atau penggunaan produk, pengaturan tentang jumlah yang mensyaratkan campuran, pemrosesan atau penggunaan produk-produk dalam negeri. Negara anggota diwajibkan untuk memberikan perlakuan sama atas barang-barang impor dan lokal- paling tidak setelah barang impor memasuki pasar domestik.

4. Perlindungan hanya melalui tarif.
Prinsip ini diatur dalam pasal XI dan mensyaratkan bahwa perlindungan atas industri dalam negeri hanya diperkenankan melalui tarif.

5. Perlakuan khusus dan berbeda bagi negara-negara berkembang (Special dan Differential Treatment for developing countries – S&D).
Untuk meningkatkan partisipasi nagara-negara berkembang dalam perundingan perdagangan internasional, S&D ditetapkan menjadi salah satu prinsip GATT/WTO. Sehingga semua persetujuan WTO memiliki ketentuan yang mengatur perlakuan khusus dan berbeda bagi negara berkembang. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan kemudahan-kemudahan bagi negara-negara berkembang anggota WTO untuk melaksanakan persetujuan WTO.



GATT/WTO MENGATUR BERBAGAI PENGECUALIAN DARI PRINSIP DASAR SEPERTI :
1. Kerjasama regional, bilateral dan custom union.
Pasal XXIV GATT 1994 memperkenankan anggota WTO untuk membentuk kerjasama perdagangan regional, bilateral dan custom union asalkan komitmen tiap-tiap anggota WTO yang tergabung dalam kerjasama perdagangan tersebut tidak berubah sehingga merugikan negara anggota WTO lain yang tidak termasuk dalam kerjasama perdagangan tersebut.

2. Pengecualian umum.
Pasal XX GATT 1994 memperkenankan suatu negara untuk melakukan hambatan perdagangan dengan alasan melindungi kesehatan manusia, hewan, dan tumbuh-tumbuhan ;importasi barang yang bertentangan dengan moral;konservasi hutan; mencegah perdagangan barang-barang pusaka atau yang bernilai budaya, perdagangan emas.

3. Tindakan anti- dumping dan subsidi.
Pasal VI GATT 1994, Persetujuan Antidumping dan subsidi memperkenankan pengenaan bea masuk anti-dumping dan bea masuk imbalan hanya kepada perusahaan-perusahaan yang terbukti bersalah melakukan dumping dan mendapatkan subsidi.
4. Tindakan safeguards.
Pasal XIX GATT 1994 dan persetujuan Safeguard memperkenankan suatu negara untuk mengenakan kuota atas suatu produk impor yang mengalami lonjakan substansial yang merugikan industri dalam negeri.

5. Tindakan safeguard untuk mengamankan balance of payment.
Melarang masuknya suatu produk yang terbukti mengandung penyakit berbahaya atau penyakit menular yang membahayakan kesehatan manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan. (Steger, 2003: 2).

Sejarah membuktikan bahwa perdagangan internasional memegang peranan sangat menentukan dalam meneiptakan kemakmuran seluruh bangsa, tetapi di pihak lain perdagangan dan investasi internasional itu juga dapat menyengsarakan bangsa sehingga akhimya menjadi negeri jajahan. Di bidang perdagangan internasional, saling ketergantungan tidak dapat dihindarkan lagj pada saat ini, apalagi dalam abad ke 21. World Trade Organization (WTO) sebagai sebuah organisasi perdagangan internasional diharapkan dapat menjembatani semua kepentingan negara di dunia dalam sektor perdagangan melalui ketentuan-ketentuan yang disetujui bersama. WTO ditujukan untuk menghasilkan kondisi-kondisi yang bersifat timbal balik dan saling menguntungkan sehingga semua negara dapat menarik manfaatnya. Melalui WTO, diluncurkan suatu model perdagangan dimana kegiatan perdagangan antar negara diharapkan dapat berjalan dengan lancar.
Pada prinsipnya World Trade Organization (WTO) merupakan suatu sarana untuk mendorong terjadinya suatu perdagangan bebas yang tertib dan adil di dunia ini. Dalam menjalankan tugasnya untuk mendorong terciptanya perdagangan bebas tersebut, World Trade Organization (WTO) memberlakukan beberapa prinsip yang menjadi pilar-pilar World Trade Organization (WTO). Yang terpenting di antara prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai berikut: Prinsip Perlindungan Melalui Tarif, Prinsip National Treatment, Prinsip Most Favoured Nations, Prinsip Reciprocity (Timbal Balik), Prinsip Larangan Pembatasan Kuantitatif. Prinsip Most Favoured Nations merupakan prinsip dasar (utama) WTO yang menyatakan bahwa suatu kebijakan perdagangan harus dilaksanakan atas dasar nondiskriminatif, yakni semua negara harus diperlakukan atas dasar yang sama dan semua negara menikmati keuntungan dari suatu kebijaksanaan perdagangan.


























DAFTAR PUSTAKA

Sumber Buku
Adolf, Huala. 2005. Hukum Ekonomi Internasional. Jakarta: PT.Rajagrafindo Persada.
Margono, Suyud. 2010. Hukum Hak Cipta Indonesia. Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia.
Sood, Muhammad. 2012. Hukum Perdagangan Internasional. Jakarta: Rajawali Pers.
Tambunan, Tulus T.H. 2004. Globalisasi dan Perdagangan Internasional. Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia.

1 Komentar untuk "Sejarah Perjalanan WTO dan dinamika kepentingan yang terjadi di dalamnya antara negara maju dan negara berkembang."

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel