Pengenalan Karet



BAB VIII KARET

8.1   Pengenalan Karet
Tanaman karet (Havea brasiliensis) berasal dari negara Brazil. Tanaman ini merupakan sumber utama bahan tanaman karet alam dunia. Jauh sebelum tanaman karet ini dibudidayakan, penduduk asli diberbagai tempat seperti: Amerika Serikat, Asia dan Afrika Selatan menggunakan pohon lain yang juga menghasilkan getah. Getah yang mirip lateks juga dapat diperoleh dari tanaman Castillaelastica (family moraceae). Sekarang tanaman tersebut kurang dimanfaatkan lagi getahnya karena tanaman karet telah dikenal secara luas dan banyak dibudidayakan. Sebagai penghasil lateks tanaman karet dapat dikatakan satu-satunya tanaman yang dikebunkan secara besar-besaran (Nazarudin dkk, 1992).
Pohon karet para pertama kali hanya tumbuh di Amerika Selatan, namun setelah percobaan berkali-kali oleh Henry Wickham, pohon ini berhasil dikembangkan di Asia Tenggara, di mana sekarang ini tanaman ini banyak dikembangkan; sekarang Asia merupakan sumber karet alami (www.wikipedia.org).

1.      Sejarah Karet di Indonesia
Tahun 1864 untuk pertama kalinya tanaman karet diperkenalkan di Indonesia yang pada waktu itu masih jajahan belanda. Mula-mula karet ditanam di kebun raya bogor sebagai tanaman koleksi. Dari tanaman koleksi, karet selanjutnya dikembangkan ke beberapa daerah sebagai tanaman perkebunan komersil. Daerah yang pertama kali digunakan sebagai tempat uji coba penanaman karet adalah Pamanukan dan Ciasem, Jawa Barat. Jenis yang pertama kali diujicobakan di kedua daerah tersebut adalah species Ficus elastica atau karet rembung. Jenis karet Havea brasiliensis baru ditanam di Sumatera bagian timur pada tahun 1902 dan di Jawa pada tahun 1906. (Tim Penebar Swadaya, 2008).
Akibat peningkatan permintaan akan karet di pasar internasional, maka pemerintahan Nedherland Indies menawarkan peluang penanaman modal bagi investor luar. Perusahaan Belanda–Amerika, Holland Amerikaance Plantage Matschappij (HAPM) pada tahun 1910-1911 ikut menanamkan modal dalam membuka perkebunan karet di Sumatera. Perluasan perkebunan karet di Sumatera berlangsung mulus berkat tersedianya transportasi yang memadai. Para investor asing dalam mengelola perkebunan mengerahkan biaya, teknik budidaya yang ilmiah dan modern, serta teknik pemasaran yang modern. (Tim Penebar Swadaya, 2008).
Perkebunan karet rakyat di Indonesia juga berkembang seiring dengan naiknya permintaan karet dunia dan kenaikkan harga. Hal-hal lain yang ikut menunjang dibukanya perkebunan karet antara lain karena pemeliharaan tanaman karet relatif mudah. Pada masa itu, penduduk umumnya membudidayakan karet sambil menanam padi. Jika tanah yang diolah kurang subur, mereka pindah mencari lahan baru. Namun, mereka tetap memantau pertumbuhan karet yang telah ditanam secara berkala hingga dapat dipanen. (Setiawan dan Handoko, 2005).

2.      Taksonomi dan Morfologi Tanaman Karet
Struktur botani tanaman karet ialah tersusun sebagai berikut (APP,2008) :
Divisi              :        Spermatophyta
Subdivisi         :        Angiospermae
Kelas               :         Dicotyledonae
Ordo               :         Euphorbiales
Famili              :         Euphorbiaceae
Genus             :         Hevea
Spesies            :         Havea brasiliensis

Dalam genus Havea, hanya species Havea brasiliensis Muell Arg. Yang dapat menghasilkan lateks unggul, dimana sebanyak 90 % karet alam dihasilkan oleh spesies tersebut. Tanaman karet merupakan pohon yang tumbuh tinggi dan berbatang cukup besar. Tinggi pohon dewasa mencapai 15-25 meter. Batang tanaman biasanya tumbuh lurus dan memiliki percabangan yang tinggi. Dibeberapa kebun karet ada beberapa kecondongan arah tumbuh tanamanya agak miring kearah utara. Batang tanaman ini mengandung getah yang dikenal dengan nama lateks. Daun karet terdiri dari tangkai daun utama dan tangkai anak daun. Panjang tangkai daun utama 3-20cm. Panjang tangkai anak daun sekitar 3-10cm dan pada ujungnya terdapat kelenjar. Biasanya ada tiga anak daun yang terdapat pada sehelai daun karet. Anak daun berbentuk eliptis, memanjang dengan ujung meruncing, tepinya rata dan gundul. Biji karet terdapat dalam setiap ruang buah. Jadi jumlah biji biasanya ada tiga kadang enam sesuai dengan jumlah ruang. Ukuran biji besar dengan kulit keras. Warnaya coklat kehitaman dengan bercak-bercak berpola yang khas. Sesuai dengan sifat dikotilnya, akar tanaman karet merupakan akar tunggang. Akar ini mampu menopang batang tanaman yang tumbuh tinggi dan besar (www.wikipedia.org).
Karet merupakan tanaman berbuah polong (diselaputi kulit yang keras) yang sewaktu masih muda buahnya berpaut erat dengan rantingnya. Buah karet dilapisi oleh kulit tipis berwarna hijau dan didalamnya terdapat kulit yang keras dan berkotak. Tiap kotak berisi sebuah biji yang dilapisi tempurung, setelah tua warna kulit buah berubah menjadi keabu-abuan dan kemudian mengering. Pada waktunya pecah dan jatuh, bijinya tercampak lepas dari kotaknya. Tiap buah tersusun atas dua sampai empat kotak biji. Pada umumnya berisi tiga kotak biji dimana setiap kotak terdapat satu biji. Tanaman karet mulai menghasilkan buah pada umur lima tahun dan akan semakin banyak setiap pertambahan umur tanaman.

8.2   Budidaya Karet
Karet cukup baik dikembangkan di daerah lahan kering beriklim basah. Tanaman karet memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan komoditas lainnya, yaitu: (1) dapat tumbuh pada berbagai kondisi dan jenis lahan, serta masih mampu dipanen hasilnya meskipun pada tanah yang tidak subur, (2) mampu membentuk ekologi hutan, yang pada umumnya terdapat pada daerah lahan kering beriklim basah, sehingga karet cukup baik untuk menanggulangi lahan kritis, (3) dapat memberikan pendapatan harian bagi petani yang mengusahakannya, dan (4) memiliki prospek harga yang cukup baik, karena kebutuhan karet dunia semakin meningkat setelah China membuka pasar baru bagi karet Indonesia.
Untuk membangun kebun karet diperlukan manajemen dan teknologi budidaya tanaman karet yang mencakup, kegiatan sebagai berikut (Chairil Anwar, 2001)
1.      Syarat Tumbuh Tanaman Karet
Tanaman karet dapat tumbuh dengan baik di sekitar equator antara 10 LU dan 10 LS. Pertumbuhan tanaman karet sangat ideal bila ditanam pada ketinggian 0 – 200 m diatas permukaan laut. Ketinggian > 600 m dari permukaan laut tidak cocok untuk tumbuh tanaman karet. Curah hujan berkisar antara 2500-4000 mm pertahun atau hari hujan berkisar antara 100 s/d 150 HH/tahun. Suhu harian yang cocok untuk tanaman karet rata-rata 25 – 30 C. Syarat lain yang dibutuhkan tanama karet adalah sinar matahari dengan intensitas yang cukup lama yaitu 5 – 7 jam (Supijatno dan Iskandar, 1988)
Curah hujan berpengaruh terhadap produktivitas tanaman karet. Curah hujan yang tinggi ini mengakibatkan produktivitas tanaman karet menjadi relatif lebih rendah. Selain faktor utama curah hujan yang tinggi, penyebab rendahnya produktivitas tanaman karet karena inefisiesi fotosintesis akibat rendahnya intensitas/lama penyinaran matahari, dan rendahnya populasi tanaman per hektar akibat rusaknya tanaman karet yang merupakan pengaruh langsung dari tingginya kecepatan angin selama hujan.

2.      Klon-klon Karet Rekomendasi
Kegiatan pemuliaan karet di Indonesia telah banyak menghasilkan klon-klon karet unggul sebagai penghasil lateks dan penghasil kayu. Pada Lokakarya Nasional Pemuliaan Tanaman Karet 2005, telah direkomendasikan klon-klon unggul baru generasi-4 untuk periode tahun 2006 – 2010, yaitu klon: IRR 5, IRR 32, IRR 39, IRR 42, IRR 104, IRR 112, dan IRR 118. Klon IRR 42 dan IRR 112 akan diajukan pelepasannya sedangkan klon IRR lainnya sudah dilepas secara resmi. Klon-klon tersebut menunjukkan produktivitas dan kinerja yang baik pada berbagai lokasi, tetapi memiliki variasi karakter agronomi dan sifat-sifat sekunder lainnya.
3.      Bibit
Hal yang paling penting dalam penanaman karet adalah bibit/bahan tanam, dalam hal ini bahan tanam yang baik adalah yang berasal dari tanaman karet okulasi. Persiapan bahan tanam dilakukan paling tidak 1,5 tahun sebelum penanaman. Dalam hal bahan tanam ada tiga komponen yang perlu disiapkan, yaitu: batang bawah (root stoct), entres/batang atas (budwood), dan okulasi (grafting) pada penyiapan bahan tanam.
4.      Persiapan Tanam dan Penanaman
Dalam pelaksanaan penanaman tanaman karet diperlukan berbagai langkah yang dilakukan secara sistematis mulai dari pembukaan lahan (land clearing), persiapan lahan penanaman dan seleksi dan penanaman bibit.
Dalam penanaman harus diperhatikan jarak tanam dan kerapatan tanaman karena akan berpengaruh terhadap produktivitas. Jarak yang lebih sempit akan berdampak negatif dengan beberapa kelemahannya. Beberapa kerusakan yang akan terjadi akibat jarak yang lebih sempit adalah: Kerusakan mahkota tajuk oleh angin Kematian pohon karena penyakit menjadi lebih tinggi Tercapainya lilit batang sadap lebih lambat Hasil getahnya akan berkurang Oleh sebab itu, dalam melakukan penanaman, sangat tidak dianjurkan terlalu rapat jarak antara satu pohon dengan pohon yang lainnya. Melihat hal tersebut diatas, maka dewasa ini kepadatan kerapatan pohon setiap hektarnya tidak melebihi dari jumlah 400 sampai dengan 500 pohon. Hal itu berarti jarak tanamnya perhektar adalah 7x3 m, 7, 14x 3, 33 m atau 8x2,5 m.

5.      Pemeliharaan Tanaman
            Pemeliharaan yang umum dilakukan pada perkebunan tanaman karet meliputi :
  1. Pengendalian Gulma
            Areal pertanaman karet, baik tanaman belum menghasilkan (TBM) maupun tanaman sudah menghasilkan (TM) harus bebas dari gulma seperti alang-alang, Mekania, Eupatorium dan lainnya sehingga tanaman dapat tumbuh dengan baik.
  1. Pemupukkan
            Selain pupuk dasar yang telah diberikan pada saat penanaman, program pemupukkan secara berkelanjutan pada tanaman karet harus dilakukan dengan dosis yang seimbang dua kali pemberian dalam setahun
  1. Pemberantasan penyakit tanaman
Penyakit karet sering menimbulkan kerugian ekonomis di perkebunan karet. Kerugian yang ditimbulkannya tidak hanya berupa kehilangan hasil akibat kerusakan tanaman, tetapi juga biaya yang dikeluarkan dalam upaya pengendaliannya. Oleh karena itu langkah-langkah pengendalian secara terpadu dan efisien guna memperkecil kerugian akibat penyakit tersebut perlu dilakukan. Lebih 25 jenis penyakit menimbulkan kerusakan di perkebunan karet. Penyakit tersebut dapat digolongkan berdasarkan nilai kerugian ekonomis yang ditimbulkannya

8.3   Pola Penyebaran Tanaman Karet di Indonesia
Karet merupakan komoditas perkebunan yang sangat penting peranannya di Indonesia. Selain sebagai sumber lapangan kerja bagi sekitar 1,4 juta kepala keluarga (KK), komoditas ini juga memberikan kontribusi yang signifikan sebagai salah satu sumber devisa non-migas, pemasok bahan baku karet dan berperan penting dalam mendorong pertumbuhan sentra-sentra ekonomi baru di wilayah-wilayah pengembangan karet.
(http://regionalinvestment.com)
Gambar 1. Peta Sebaran Karet Di Indonesia
Tanaman karet banyak tersebar di seluruh wilayah Indonesia, terutama di pulau Sumatera, dan juga di pulau lain yang diusahakan baik oleh perkebunan negara, swasta maupun rakyat. Sejumlah areal di Indonesia memiliki keadaan yang cocok dimanfaatkan untuk perkebunan karet yang kebanyakan terdapat di Sumatera dan beberapa ada di Jawa. Perkebunan karet di pulau Sumatera meliputi Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Sumatera Selatan. Dalam skala yang lebih kecil perkebunan karet didapatkan pula di Jawa, Kalimantan dan Indonesia bagian Timur.
Terdapat 3 jenis perkebunan karet yang ada di Indonesia, yaitu Perkebunan Rakyat (PR), Perkebunan Besar Negara (PBN) da Perkebunan Besar Swasta (PBS). Dari ketiga jenis perkebunan tersebut, PR mendominasi dari luas lahan yang mencapai 2,84 juta hektar atau sekitar 85% dari lahan perkebunan karet. Dengan sedemikian luasnya perkebunan karet yang dikelola rakyat, keterkaitan penyerapan tenaga kerja dan sebagai sumber pendapatan rakyat diharapkan dapat ditingkatkan dengan pengelolaan yang terpadu. Perkebunan besar diharapkan dapat menjalin program kemitraan dengan petani agar nilai tambah dari pengelolaan perkebunan rakyat dapat optimal diantaranya dengan kemitraan di bidang pemasaran, pembinaan produksi hingga pembiayaan yang berkesinambungan (Parhusip, 2008).
Salah satu langkah yang dapat mendorong peningkatan produksi perkebunan karet adalah peremajaan lahan karet yang sebagian besar telah memasuki tahapan tidak produktif (tanaman berusia di atas 20 tahun) di samping tetap melakukan perluasan lahan. Strategi peremajaan lahan karet dinilai cukup baik dengan luas lahan karet saat ini mencapai 3,4 juta hektar sehingga apabila lahan tersebut dioptimalkan melalui peremajaan diharapkan tingkat produksi akan meningkat sekitar 20-30 % (Parhusip, 2008).
Tabel 1.  Luas Lahan dan Produktivitas Karet (Data Tahun 2006)
No
Provinsi
Luas (Ha)
Produktivitas (Ton)
1
Bali
95
180
2
Bangka Belitung
28.845
19.151
3
Banten
23.507
11.005
4
Bengkulu
71.334
49.980
5
Irian Barat
34
25
6
Jambi
636.907
292.653
7
Jawa Barat
52.336
57.572
8
Jawa Tengah
30.315
29.419
9
Jawa Timur
25.180
23.965
10
Kalimantan Barat
379.038
256.751
11
Kalimantan Selatan
129.946
104.216
12
Kalimantan Tengah
255.657
189.372
13
Kalimantan Timur
58.105
24.465
14
Kepulauan Riau
30.929
21.296
15
Lampung
81.466
68.366
16
NAD
117.711
83.368
17
Papua
4.619
1.573
18
Riau
369.911
350.808
19
Sulawesi Barat
1.209
1.263
20
Sulawesi Selatan
19.475
7.979
21
Sulawesi Tengah
3.160
3.567
22
Sumatera Barat
124.256
90.468
23
Sumatera Selatan
648.754
517.799
24
Sumatera Utara
456.983
427.872
http://regionalinvestment.com)

8.4   Data Statistik Karet
Menurut data statistik perkebunan Indonesia yang diterbitkan oleh Ditjen perkebunan tahun 2007, hanya ada 9 provinsi dari 33 provinsi di Indonesia yang tidak ditemui tanaman karet yaitu DKI-Jakarta, NTB, NTT, SULUT, Gorontalo, SULTRA, Maluku dan Maluku Utara.
Tabel 2. Wilayah Sebaran Karet di Indonesia
No
Provinsi
Sebaran Wilayah
1
Bali
Kab. Klungkung
2
Bangka Belitung
Kab. Bangka, Bangka Barat, Bangka Selatan, Bangka Belitung, Bangka Belitung Timur
3
Banten
Lebak, Pandeglang
4
Bengkulu
Bengkulu Selatan, Bengkulu Utara, Kaur, Kepahiang, Lebong, Muko-muko, Rejang lebong, Seluma, Kota Bengkulu
5
Irian Barat
Fak-Fak, Manokwari
6
Jambi
Batang Hari, Muaro Bungo, Kerinci, Merangin, Muaro Jambi, Tanjung Jabung Barat, Tanjung Jabung Timur
7
Jawa Barat
Kab. Bandung, Bogor, Ciamis, Cianjur, Purwakarta, Subang, Sukabumi, Sumedang, Tasikmalay.
8
Jawa Tengah
Kab. Banyumas, Batang, Cilacap, Jepara, Karanganyar, Kendal, Pati, Pekalongan, Semarang, Kota Semarang
9
Jawa Timur
Kab. Banyuwangi, Blitar, Jember, Jombang, Kediri, Lumajang, Madiun, Malang, Ngawi, Tulung Agung
10
Kalimantan Barat
Kab. Bengkayang, Kapuas Hulu, Ketapang, Landak, Melawi, Sambas, Sanggau, Sekadau, Sintang, Kota Pontianak, Kota Singkawang
11
Kalimantan Selatan
Kab. Balangan; Banjar; Hulu Sungai Selatan, Tengah dan Utara; Kota Baru, Tabalong, Tanah Bumbu, Tanah Laut
12
Kalimantan Tengah
Kab. Barito Selatan, Timur, dan Utara; Gunung Mas, Kapuas, Katingan, Kota Waringin Barat dan Timur, Lamandau, Marungkaya, Pulau Pisang, Seruyan, Sukamara dan Kota Palangkaraya
13
Kalimantan Timur
Kab. Berau, Kutai Barat dan Timur, Kutai Kartanegara, Pasir, Kota Balikpapan dan Kota Samarinda
14
Kepulauan Riau
Kabupaten Karimun, Kepri dan Natuna
15
Lampung
Lampung Selatan, Tengah, Timur, Utara; Tenggamus, Tulang Bawang, Waykanan.
16
NAD
Kab. Aceh Barat, Barat Daya, Selatan, Tenggata, Timur, Utara; Aceh Besar, Aceh Jaya, Nagan Raya, Pidie, Semeuleu, Langsa
17
Papua
Kab. Merauke
18
Riau
Kab. Bengkalis, Indragiri Hilir dan Hulu, Kampar, Kuansing, Pelalawan, Rokan Hilir dan Hulu, Siak, Kota Dumai
19
Sulawesi Barat
Kab. Mamuju
20
Sulawesi Selatan
Kab. Bulukumba, Sinjai
21
Sulawesi Tengah
Morowali
22
Sumatera Barat
Kab. Agam, Dharmasraya, Kep. Mentawai, Limapuluh Kota, Padang Pariaman, Pasaman, Pasaman Barat, Pesisir Selatan, Sawahlunto/Sijunjung, Solok, Solok Selatan, Tanah Datar, Kota Padang, Sawahlunto, Solok
23
Sumatera Selatan
Ka. Banyuasin, Lahat, Muara Enim, Musi Banyuasin, Musi Rawas, Oran Ilir, Ogan Komering Ilir, Ogan Komering Hulu, Lubuk Linggau, Kota Pagar Alam dan Prabumulih
24
Sumatera Utara
Kab. Asahan, Dairi, Deli Serdang, Humbang, Hasundutan, Karo, Labuan Batu, Langkat, Mandailing Natal, Nias, Nias Selatan, Pakpakbharat, Serdang Berdagai, Simalungun, Tapanuli Selatan, Utara dan Tengah; Toba Samosir
http://regionalinvestment.com)

Tabel 3. Data Luas Areal dan Produksi Perkebunan Karet Seluruh Indonesia Menurut Pengusaha Tahun 2004-2009

Tahun
Luas Areal (Ha)
Produksi (Ton)
PR
PBN
PBS
Jumlah
PR
PBN
PBS
Jumlah
2004
2.747.899
239.118
275.250
3.262.267
1.662.016
196.088
207.713
2.065.817
2005
2.747.021
237.216
274.758
3.279.391
1.838.670
209.837
222.384
2.270.891
2006*
2.796.251
237.869
275.352
3.309.472
1.916.538
218.724
231.802
2.367.064
2007**
2.840.991
241.675
279.758
3.362.424
1.986.382
226.695
240.250
2.453.327
2008**
2.886.447
245.542
284.234
3.416.222
2.055.095
234.537
248.560
2.538.192
2009**
2.932.630
249.470
288.781
3.470.882
2.123.629
242.358
256.849
2.622.836
Keterangan
PR : Perkebunan Rakyat, PBN : Perkebunan Nesar Nasional, PBS : Perkebunan Besar Swasta
*) Angka Sementara, **) Angka Estimasi
Sumber :Http://ditjenbun.depan.go.id






















8.5   Pohon  Industri Karet
Sumber : Direktorat Jendral Industri Agro dan kimia Departemen Perindustrian
8.6   Pemanfaatan Karet Untuk Saat Ini
Hasil utama dari pohon karet adalah lateks yang dapat dijual/diperdagangkan oleh masyarakat berupa latek segar, slab/koagulasi ataupun sit asap/sit angin. Selajutnya produk tersebut sebagai bahan baku pabrik Crumb Rubber/Karet Remah yang menghasilkan bahan baku untuk berbagai industri hilir. Karet digunakan untuk mobilitas manusia dan barang yang memerlukan komponen yang terbuat dari karet seperti aneka ban kendaraan, conveyor belt, penggerak mesin, sepatu karet, sabuk, penggerak mesin, pipa karet dan sebagai isolator kabel. Bahan baku karet juga banyak digunakan untuk membuat perlengkapan seperti sekat atau tahanan alat-alat penghubung dan penahan getaran misalnya shock absorbers. Karet juga bisa digunakan untuk tahanan dudukan mesin, dipakai sebagai lapisan karet pada pintu, kaca, dan pada alat-alat lain sehingga terpasang kuat dan tahan getar serta tidak tembus air.
Untuk mengantisipasi kekurangan karet alam yang akan terjadi, diperlukan suatu inovasi baru dari hasil industri karet dengan mengembangkan nilai tambah yang bisa di peroleh dari produk karet itu sendiri. Nilai tambah produk karet dapat diperoleh melalui pengembangan industri hilir dan pemanfaatan kayu karet sebagai bahan baku industri kayu. Menunjuk dari pohon industri berbasis karet. Terlihat bahwa cukup banyak ragam produk yang dapat dihasilkan dari karet, namun sampai saat ini potensi kayu karet tua belum dapat dimanfaatkan secara optimal. Pemanfaatan kayu karet merupakan peluang baru untuk meningkatkan margin keuntungan dalam industri karet.
Kayu karet yang dapat berasal dari kegiatan rehabilitasi kebun ataupun peremajaan kebun karet tua/tidak menghasilkan lateks lagi. Umumnya kayu karet yang diperjual belikan adalah dari peremajaan kebun karet yang tua yang dikaitkan dengan penanaman karet baru lagi. Kayu karet dapat dipergunakan sebagai bahan bangunan rumah, kayu api, arang, ataupun kayu gergajian untuk alat rumah tangga (furniture). Kayu karet sebenarnya juga banyak diminati oleh konsumen baik dari dalam negeri maupun luar negeri, karena warnanya yang cerah dan coraknya seperti kayu ramin. Di samping itu, kayu karet juga merupakan salah satu kayu tropis yang memenuhi persyaratan ekolabeling karena komoditi ini dibudidayakan (renewable) dengan kegunaan yang cukup luas, yaitu sebagai bahan baku perabotan rumah tangga, particle board, parquet, MDF (Medium Density Fibreboard) dan lain sebagainya. (www.depperin.go.id)
Pemanfaatan kayu karet dari kegiatan peremajaan kebun karet tua dapat dilaksanakan bersamaan atau terkait dengan program penanaman tanaman hutan seperti sengon atau akasia sebagai bahan pulp/pembuat kertas. Areal tanam menggunakan lahan kebun yang diremajakan dan atau lahanlahan milik petani serta lahanlahan kritis sekitar pemukiman.
Hasil samping lain dari perkebunan karet yang selama ini kurang dimanfaatkan dan nyaris terbuang adalah biji karet. Dilihat dari komposisi kimianya ternyata kandungan protein biji karet 27 % dari setiap 100 gram bahan. Selain kandungan proteinnya cukup tinggi, pola asam amino biji karet juga sangat baik. Semua asam amino essensial yang dibutuhkan tubuh terkandung didalammya. Agar biji karet dapat dimanfaatkan maka harus diolah terlebih dahulu menjadi konsentrat.
Sebagai salah satu komoditi industri, produksi karet sangat tergantung pada teknologi dan manajemen yang diterapkan dalam sistem dan proses produksinya. Produk industri karet perlu disesuaikan dengan kebutuhan pasar yang senantiasa berubah. Status industri karet Indonesia akan berubah dari pemasok bahan mentah menjadi pemasok barang jadi atau setengah jadi yang bernilai tambah lebih tinggi dengan melakukan pengeolahan lebih lanjut dari hasil karet. Kesemuanya ini memerlukan dukungan teknologi industri yang lengkap, yang mana diperoleh melalui kegiatan penelitian dan pengembangan teknologi yang dibutuhkan. Indonesia dalam hal ini telah memiliki lembaga penelitian karet yang menyediakan ilmu pengetahuan, teknologi dan inovasi di bidang perkaretan   (www.depperin.go.id)

8.7   Prospek Pengembangan Karet sebagai Bahan Baku Bioenergi
Indonesia merupakan negara dengan tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi, dimana alam Indonesia menyimpan sejumlah potensi ketersediaan bahan baku biodiesel yang berasal dari tumbuh-tumbuhan. Hal ini juga didukung oleh kondisi lahan di Indonesia yang relatif subur, sehingga memungkinkan proses budidaya tanah-tanaman yang menjadi bahan baku biodiesel dapat berlangsung dengan baik.
Berdasarkan jumlah kandungan minyak yang dimiliki, tanaman kelapa dan kelapa sawit memiliki kandungan minyak yang tinggi. Akan tetapi, kandungan minyak yang dimiliki merupakan minyak pangan (edible oil). Jika penggunaan diarahkan sebagai bahan baku biodiesel, maka dikhawatirkan terjadinya kompetensi penggunaan untuk kepentingan pangan. Oleh karena itu, sangatlah baik dipilih jika dipilih tanaman yang memiliki kandungan minyak yang tinggi dan merupakan jenis minyak non pangan (nonedible oil) sebagai bahan baku pembuatan biodiesel.
Pemilihan tanaman karet (biji karet) sebagai bahan baku biodiesel juga dikarenakan ketersediaan bahan bakunya yang melimpah di Indonesia. Indonesia merupakan salah satu negara yang mempunyai areal perkebunan karet yang luas, dimana selain dari perkebunan karet inilah selain menghasilkan getah (lateks), juga menghasilkan biji karet yang merupakan hasil samping yang belum termanfaaatkan secara optimal. Selama ini biji karet tidak dimanfaatkan dan hanya dibuang. Padahal satu pohon karet bisa menghasilkan seribu biji atau sekitar 3,5 Kg. Dari jumlah itu, yang digunakan untuk pembenihan hanya 10 persen saja, selebihnya tidak dimanfaatkan. Di Indonesia sendiri, perkebunan karet tersebar dimana-mana. Bisa dibayangkan kalau luasnya berhektar-hektar, berapa bahan baku biji karet yang tersedia. Harganya, tentu saja murah karena biji karet selama ini hanya dianggap sebagai limbah. Rendemen minyak biji karet (kering) yaitu 40-50% (Biodiesel. Encyclopedia. Columbia University Press. 2004) dan mempunyai prospek sangat bagus karena tidak akan mengurangi komsumsi pangan.
Bobot biji karet sekitar 3-5 gram, tergantung dari varietas, umur biji dan kadar air. Biji karet berbentuk bulat telur dan rata pada salah satu sisinya. Biji karet terdiri atas 45 – 50 % kulit biji yang keras berwarna coklat dan 50-55 % daging biji berwarna putih (Nadarajah,1969).

Minyak biji karet
            Minyak biji karet adalah minyak yang diekstrak dari biji pohon karet.Kandungan minyak biji karet atau inti biji karet yaitu sebesar 45 – 50 % , dengan komposisi 18,9% asam lemak jenuh yang terdiri atas asam palmitat dan stearat serta asam lemak tidak jenuh sebesar 80,9 % yang terdiri atas asam oleat, linoleat dan linolenat. (http://en.wikipedia.org)
Tabel 4. Komposisi Asam-asam Lemak didalam Minyak Biji Karet
Jenis Asam Lemak
Persentase
Asam Palmitat
10,2
Asam Stearat
8,7
Asam Oleat
24,6
Asam Linoleat
39,6
Asam Linolenat
16,3
Aigbodion dan Pillai 2000
            Minyak biji karet merupakan salah satu jenis minyak mengering (drying oil), yaitu minyak yang mempunyai sifat mengering jika terkena oksidasi dan akan berubah menjadi lapisan tebal, bersifat kental dan membentuk sejenis selaput jika dibiarkan di udara terbuka (Ketaren, 1986).
            Mengingat kandungan asam lemak bebas (FAA) di dalam minyak biji karet yang tinggi, yaitu sekitar 12,19 % maka proses pembuatan biodiesel dari minyak biji karet lebih efektif dan efisien dilakukan dengan proses estran, yaitu proses dua tahap esterifikasi dan transesterifikasi dengan menggunakan katalis yang sesuai. (Geo, V. E, et. al., 2008)
Berikut ini adalah tabel perbandingan karakteristik  minyak karet (RSO)dan metil ester dari minyak karet (RSOME) dengan diesel.
Tabel 5. Perbandingan Karakteristik antara Diesel dengan Biodiesel Minyak Biji Karet
Kandungan
Rubber Seed Oil
Rubber Seed Oil Metil Ester
Diesel
Specific Gravity
0,922
0,8812
0,83
Kinematic Viscosity at 40 ͦC cST
33,91
5,96
3,8
Cetane Number
37
49
47
Heating Value MJ/Kg
37,5
41,07
42,9
Flash Point
198
140
50
Iodine Value
135,3
135,3
38,3
Acid Value
23,8
0,18
0,062
(Geo, V. E. et. al., 2008)
















Daftar  Pustaka

Anonymous. 2009. Biodiesel. Encyclopedia. Columbia University Press.

Anonymous. 2009. Gambaran Sekilas Industri Karet. www.depperin.go.id/PaketInformasi/Karet.pdf. Tanggal Akses : 12 April 2009.

Anonymous. 2009. Karet. http://ditjenbun.deptan.go.id/images/stories/testing/karet.pdf Tanggal Akses : 12 April 2009.

Anonymous. 2009. Karet. http://www.wikipedia.org/wiki/Karet. Tanggal Akses : 20 April 2009

Anonymous. 2009. Komoditas Karet. http://regionalinvestment.com/sipid/id/commodity.php?ic=4. Tanggal Akses: 22 April 2009

Anonymous. 2009. Rubber Seed Oil. http://en.wikipedia.org/wiki/Rubber_seed_oil. Tanggal Akses : 20 April 2009.

Anonymous. 2009. Tentang Karet. http://korannias.wordpress.com/2007/09/03/tentang-karet/. Tanggal Akses : 12 April 2009.

Aigbodion, A.I dan C.K.S. Pillai. 2000. Preparation, Analysis and Aplication of Rubber Seed Oil and Its Derivatives as Surface Coating Material. Progress in Organic Coatings 38 : 187-192

Anwar, Chairil. 2001. Manajemen dan Budidaya Karet, Pusat Penelitian Karet. Medan.
BPPP DEPTAN. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis  Karet. Edisi 2, 2007.

Edwin Geo V, Chithirailingam P, Nagarajan G. 2008. Studies on dual fuel operation of rubber seed oil and its bio-diesel with hydrogen as the inducted fuel. Int J Hydrogen Energy Volume 33, Issue 21 November 2008. Pages 6357-6367

Harsono, S.S. 2006. Performance Mesin Diesel Melalui Pemanfaatan Biodiesel dari Minyak Biji Karet dan Bekatul Padi. In Agung H., Sardjono, TW Widodo, P  Nugroho dan Cicik S. Proc. Seminar Nasional Bioenergi dan Mekanisasi Pertanian untuk Pembangunan Industri Pertanian. Bogor 29-30 Nov 2006.

Iskandar, S.H. Pengantar Budidaya Karet. Program Diploma I. Jurusan PLPT Perkebunan-IPB. Bogor. 1983.

Ketaren, S. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. UI-Press, Jakarta. 1986.

Nadarajah, M. The Collection and Utilization of Rubber Seed in Ceylon. RRIC Bulletin, 4 : 23. 1969.

Parhusip, Adhy Basar. Potret Karet Alam Indonesia. Economic Review  No. 213. September 2008.

Setiawan, H. D dan Andoko, A. Petunjuk Lengkap Budi Daya Karet. Agromedia Pustaka. Jakarta. 2005

Supijanto dan Iskandar, H. S. Budidaya dan Pengolahan Karet, Dalam Rangka Pelatihan Guru Sekolah Menengah Teknologi Pertanian. IPB. 46 hal. 1988.

Tim Penebar Swadaya. Panduan Lengkap Karet. Penebar Swadaya. Jakarta. 2008




Belum ada Komentar untuk " Pengenalan Karet"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel