Akses Bagi Orang Miskin
Selasa, 09 September 2014
Tambah Komentar
DALAM dua kali pemerintahannya, Presiden SBY mengusung salah
satu kebijakan yang
ditunggu mayoritas rakyat, yaitu keberpihakan terhadap
orang miskin.Sayangnya, data terakhir terkait kemiskinan di Indonesia belum mencerminkan
hal tersebut. Penurunan angka kemiskinan di negeri ini ternyata relatif lambat.
Maret 2007-Maret 2013, misalnya, rata-rata penurunan jumlah penduduk miskin
hanya 0,87 persen per tahun. Bahkan pada tahun terakhir, hanya 0,59 persen.
Selain lambat, secara kualitas
kemiskinan di Indonesia justru mengalami involusi. Hal itu ditunjukkan
oleh semakin meningkatnya indeks keparahan kemiskinan, terutama di wilayah
pedesaan yang meningkat hampir dua kali lipat sepanjang tahun 2012. Kenaikan
indeks ini menunjukkan dua hal: semakin melebarnya kesenjangan antarpenduduk
miskin dan semakin rendahnya daya beli kelompok miskin.
Penyebab kemiskinan
Menurut Bank Dunia, lambatnya penurunan kemiskinan beberapa tahun terakhir
akibat laju peningkatan harga-harga (inflasi). Ironisnya, sepanjang 2012,
tingkat inflasi wilayah pedesaan sebagai tempat bermukimnya mayoritas orang
miskin (5,08 persen) lebih tinggi dibandingkan inflasi nasional (4,3 persen).
Sementara itu, pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi mencapai rata-rata 6,0 persen ternyata lebih menguntungkan penduduk kelas menengah dan kaya karena lebih digerakkan sektor jasa ketimbang sektor riil. Sektor pertanian yang jadi tumpuan hidup bagi 40 persen angkatan kerja dan sekitar 60 persen rumah tangga miskin, misalnya, terjebak dalam pertumbuhan rendah dalam beberapa tahun terakhir.
Konsekuensinya, jurang ketimpangan pendapatan pun melebar. Secara statistik ini ditunjukkan indeks Gini yang telah menembus 0,41 poin pada 2012. Angka ini dapat dimaknai: 40 persen penduduk berpendapatan terendah ternyata hanya menikmati 16,88 persen dari total pendapatan yang tercipta dalam perekonomian. Sementara 20 persen penduduk berpendapatan tertinggi justru menikmati 48,94 persen dari total pendapatan.
Penyusutan lahan pertanian di Jawa sebesar 30 juta hektar per tahun adalah penyebab lain. Saat ini luas kepemilikan rata-rata petani di Jawa hanya 0,3 hektar per keluarga, sedangkan di luar Jawa hanya 1,0 hektar. Adapun punahnya lahan subur karena pencemaran lingkungan dan penggunaan pestisida berlebihan.
Penyebab kemiskinan berikutnya terkait kebijakan yang salah. Penerima Hadiah Nobel, Theodore W Schulz, dalam Transforming Traditional Agriculture menerangkan konsep pertanian subsisten di negara berkembang sebagai sesuatu yang ”rasional karena meminimalisasi risiko”. Namun, agar berkembang, Schulz menganjurkan peningkatan produktivitas lewat teknologi baru yang memicu high yielding varieties yang jadi landasan Revolusi Hijau. Dampaknya, di Indonesia pada 1970-an dan 1980- an berupa peningkatan produktivitas dan ”lompatan besar” persediaan pangan seiring pertumbuhan penduduk. Saat itu, Indonesia swasembada pangan.
Sayangnya, pada saat sama terjadi pemiskinan buruh tani dan petani gurem.
Bersamaan dengan pemiskinan, terjadi peningkatan gizi buruk di beberapa daerah,
termasuk di kawasan yang berjuluk ”lumbung padi”. Tak heran Amartya Sen dalam Poverty
and Famines (1981) menyimpulkan, persyaratan bagi pengamanan pangan
masyarakat bukan pengadaan bahan pangan semata, melainkan aksesibilitas pada
pangan bagi mereka yang miskin dan lapar. Aksesibilitas pada pangan terkait
ketersediaan dan pemilikan lahan pertanian. Hal yang mensyaratkan land reform.
Berikan akses
Seusai Perang Dunia II, tiga negara Asia yang melakukan land reform dengan cukup berhasil adalah Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan. Petani penyewa berubah status jadi pemilik, sementara para landlords dianjurkan menginvestasikan hasil ganti rugi atas tanahnya ke sektor industri.
Perubahan status dari penyewa menjadi pemilik secara politik-ekonomi berdampak positif. Sebab selain lahan, pemilik baru juga memiliki infrastruktur seperti bangunan dan alat produksi.
Di India, sejak 1950-an, beberapa negara bagian juga melakukan reformasi pemanfaatan lahan dengan memperkuat posisi penyewa serta menghapus institusi makelar. Reformasi soft ini pun mampu menurunkan tingkat kemiskinan secara signifikan. Pendapatan per kapita orang miskin di India beberapa tahun terakhir meningkat belasan persen (Besley dan Burges, 2003).
Di banyak negara berkembang, termasuk Indonesia, sejak 1980-an diberlakukan sistem kontrol oleh negara atas sektor pertanian. Tujuannya mengamankan keterjangkauan harga produk pertanian bagi penduduk kota yang kian meningkat. Hal ini dipertegas lewat kebijakan Structural Adjustment Program (SAP) oleh IMF pada dekade 1990-an, sebagai persyaratan mutlak pemberian bantuan dan utang kepada negara berkembang. Brandt (2000) menyebut program ini utamanya sebagai ”masalah makro politik, yaitu keharusan mundurnya negara dari sektor dan jasa pertanian serta liberalisasi kebijakan harga, pasar dan perdagangan pertanian”. Sejak itu, sektor pertanian menjadi bagian makroekonomi yang paling menderita akibat penyunatan berbagai subsidi negara.
Padahal, bagi Indonesia yang mayoritas orang miskin ada di pedesaan, tercapainya target pengurangan separuh orang miskin pada 2015 sesuai MDG (Tujuan Pembangunan Milenium) sangat bergantung pada keberhasilan pembangunan pedesaan. Sebagai pembelajaran penting dari pengalaman mancanegara, aksesibilitas atas tanah jadi syarat mutlak bagi pembangunan pertanian. Karena itu, reformasi agraria lewat intervensi kebijakan negara menjadi sebuah keharusan.
Bagi La Via Campesina, ”reformasi agraria adalah kewajiban penegakan HAM oleh negara, yaitu hak atas makanan. Pemerintah berkewajiban atas pemenuhan hak asasi paling mendasar ini dengan memberikan akses lahan, bibit, air, dan sumber-sumber produktif lainnya agar mereka bisa menyediakan sendiri makanannya” (Monsalve, 2003).
Penyebab kemiskinan
Baca Juga
Sementara itu, pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi mencapai rata-rata 6,0 persen ternyata lebih menguntungkan penduduk kelas menengah dan kaya karena lebih digerakkan sektor jasa ketimbang sektor riil. Sektor pertanian yang jadi tumpuan hidup bagi 40 persen angkatan kerja dan sekitar 60 persen rumah tangga miskin, misalnya, terjebak dalam pertumbuhan rendah dalam beberapa tahun terakhir.
Konsekuensinya, jurang ketimpangan pendapatan pun melebar. Secara statistik ini ditunjukkan indeks Gini yang telah menembus 0,41 poin pada 2012. Angka ini dapat dimaknai: 40 persen penduduk berpendapatan terendah ternyata hanya menikmati 16,88 persen dari total pendapatan yang tercipta dalam perekonomian. Sementara 20 persen penduduk berpendapatan tertinggi justru menikmati 48,94 persen dari total pendapatan.
Penyusutan lahan pertanian di Jawa sebesar 30 juta hektar per tahun adalah penyebab lain. Saat ini luas kepemilikan rata-rata petani di Jawa hanya 0,3 hektar per keluarga, sedangkan di luar Jawa hanya 1,0 hektar. Adapun punahnya lahan subur karena pencemaran lingkungan dan penggunaan pestisida berlebihan.
Penyebab kemiskinan berikutnya terkait kebijakan yang salah. Penerima Hadiah Nobel, Theodore W Schulz, dalam Transforming Traditional Agriculture menerangkan konsep pertanian subsisten di negara berkembang sebagai sesuatu yang ”rasional karena meminimalisasi risiko”. Namun, agar berkembang, Schulz menganjurkan peningkatan produktivitas lewat teknologi baru yang memicu high yielding varieties yang jadi landasan Revolusi Hijau. Dampaknya, di Indonesia pada 1970-an dan 1980- an berupa peningkatan produktivitas dan ”lompatan besar” persediaan pangan seiring pertumbuhan penduduk. Saat itu, Indonesia swasembada pangan.
Berikan akses
Seusai Perang Dunia II, tiga negara Asia yang melakukan land reform dengan cukup berhasil adalah Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan. Petani penyewa berubah status jadi pemilik, sementara para landlords dianjurkan menginvestasikan hasil ganti rugi atas tanahnya ke sektor industri.
Perubahan status dari penyewa menjadi pemilik secara politik-ekonomi berdampak positif. Sebab selain lahan, pemilik baru juga memiliki infrastruktur seperti bangunan dan alat produksi.
Di India, sejak 1950-an, beberapa negara bagian juga melakukan reformasi pemanfaatan lahan dengan memperkuat posisi penyewa serta menghapus institusi makelar. Reformasi soft ini pun mampu menurunkan tingkat kemiskinan secara signifikan. Pendapatan per kapita orang miskin di India beberapa tahun terakhir meningkat belasan persen (Besley dan Burges, 2003).
Di banyak negara berkembang, termasuk Indonesia, sejak 1980-an diberlakukan sistem kontrol oleh negara atas sektor pertanian. Tujuannya mengamankan keterjangkauan harga produk pertanian bagi penduduk kota yang kian meningkat. Hal ini dipertegas lewat kebijakan Structural Adjustment Program (SAP) oleh IMF pada dekade 1990-an, sebagai persyaratan mutlak pemberian bantuan dan utang kepada negara berkembang. Brandt (2000) menyebut program ini utamanya sebagai ”masalah makro politik, yaitu keharusan mundurnya negara dari sektor dan jasa pertanian serta liberalisasi kebijakan harga, pasar dan perdagangan pertanian”. Sejak itu, sektor pertanian menjadi bagian makroekonomi yang paling menderita akibat penyunatan berbagai subsidi negara.
Padahal, bagi Indonesia yang mayoritas orang miskin ada di pedesaan, tercapainya target pengurangan separuh orang miskin pada 2015 sesuai MDG (Tujuan Pembangunan Milenium) sangat bergantung pada keberhasilan pembangunan pedesaan. Sebagai pembelajaran penting dari pengalaman mancanegara, aksesibilitas atas tanah jadi syarat mutlak bagi pembangunan pertanian. Karena itu, reformasi agraria lewat intervensi kebijakan negara menjadi sebuah keharusan.
Bagi La Via Campesina, ”reformasi agraria adalah kewajiban penegakan HAM oleh negara, yaitu hak atas makanan. Pemerintah berkewajiban atas pemenuhan hak asasi paling mendasar ini dengan memberikan akses lahan, bibit, air, dan sumber-sumber produktif lainnya agar mereka bisa menyediakan sendiri makanannya” (Monsalve, 2003).
Jalan menuju pengadaan pemilikan atas lahan pertanian, lapangan kerja dan penghasilan, pengelolaan yang hemat sumber daya alam dan bentuk-bentuk perekonomian dan teknologi yang ramah lingkungan akan lebih mudah dijalani apabila orang miskin berkesempatan memperoleh pendidikan dan standar hidup yang lebih tinggi. Dengan demikian, mereka lebih mampu menyuarakan kepentingan sendiri dan terlibat dalam posisi yang setara dengan lainnya dalam wacana demi terbentuknya struktur ekonomi nasional dan internasional yang adil.
Ivan
A Hadar, Direktur Institute for
Democracy Education (IDE), Koordinator Target MDG 2007-2010.Diposkan
oleh Opini Kompas di
00.40
tgl 13/01/14.
Kapitalisme dan Kita
Ivan
A Hadar
Sekitar dua abad sejak
terbitnya Kekayaan Negara Bangsa karya Adam Smith, dan ditandai
runtuhnya “Tembok Berlin” pada 1989, sistem ekonomi kapitalisme berhasil
menggusur semua pesaingnya. Karena nyaris tanpa pilihan, yang tersisa hanya
beberapa negara komunis dan populis yang tidak sepenuhnya antikapitalisme, kita
boleh bertanya, apakah kapitalisme cocok untuk menyelesaikan berbagai masalah
nasional dan global?
Banyak yang ragu karena mensinyalir setelah mengalahkan semua lawannya, kapitalisme bakal berpuas-puas dengan dirinya sendiri. Sikap diri, menurut Rudolf Hickel (2000), berdampak pada tiadanya “tangan pengatur keadilan dalam kapitalisme”.
Memilih Kapitalisme
Namun, bagi Robert Heilbroner, seorang sosialis Jerman, peran oposisi sosialistis di masa depan tidak lagi dalam mengupayakan rancangan perlawanan baru atas kapitalisme, tetapi mengupayakan agar sistem ini berwajah lebih manusiawi.
Bahkan, menurut Michael Albert, satu-satunya “kesempatan perbaikan” yang masih terbuka adalah terus mencoba dengan sistem kapitalisme dan berbagai cabangnya, seperti individual capitalism negara-negara Anglosaxon (AS dan Inggris) yang juga dikenal dengan julukan “neoliberal” dan social capitalism negara-negara Eropa daratan. Dua cabang kapitalisme ini telah memengaruhi perjalanan abad ke-20.
Setelah itu, muncul corporative capitalism, sebagai cabang kapitalisme ketiga dari Jepang yang pernah dinobatkan sebagai sistem ekonomi abad ke-21, meski tampaknya belakangan mengalami kemunduran. Selain itu, yang tak terduga adalah kemunculan “kapitalisme” China yang berada di bawah payung sistem komunisme.
Pada masanya, Reagan dan Thatcher (sebagai personifikasi kapitalisme Anglosaxon), pernah mengungkapkan rumusan pemikiran yang sempat membius warga dua negara tersebut: “Turunkan pajak bagi orang kaya maka kehidupan orang miskin akan membaik.”
Pemikiran kontroversial yang dirumuskan para intelektual kanan dari Hoover Foundation di California ini mungkin bisa berfungsi seandainya orang kaya yang banyak menghemat pajak itu mengiventasikan keuntungannya pada sektor produktif. Tetapi, karena tak seorang pun bisa memaksa mereka, juga tidak negara, kebanyakan uang mereka diinvestasikan pada bisnis spekulasi properti dan beberapa bidang kontraproduktif.
Pada satu sisi, AS misalnya merupakan juara dunia dalam hal pendidikan elite dan banyak memberi ruang bagi peningkatan kreativitas sosial. Tetapi, pada sisi lainnya, kapitalisme ini sangat tidak efisien dalam hal kebijakan sosial, kacau balau dalam kebijakan lingkungannya, dan ignorant dalam kebijakan kependidikan.
Aspek pionir yang menjiwainya terlalu nonchalance bagi “negara berkembang”, bahkan bagi para pakar ekonomi AS yang menjadi penasihat Presiden Clinton dan Obama. Mereka ''melirik'' kapitalisme model Eropa untuk diterapkan di AS.
Kapitalisme Eropa (daratan) cenderung mengikuti ''Model Jerman“, yang juga disebut soziale Markwirtschaft, yang kurang lebih berarti ekonomi pasar yang sosial. Tampaknya, dua perang dunia yang terjadi di Eropa telah mempertanyakan model kapitalisme nonchalance seperti yang dianut AS.
Eropa telah mengembangkan bingkai persyaratan yang disepakati umum tanpa terlalu melemahkan mekanisme pasar, berupa sistem sosial terpadu mulai perlindungan kesehatan, pengangguran hingga pengamanan hari tua dan tempat tinggal. Pajak yang tinggi telah memungkinkan pendanaan pendidikan dan pengajaran serta berbagai infrastruktur dasar. Serikat buruh yang relatif kuat juga telah mewarnai “kapitalisme solider” model Eropa.
Konsep Eropa berhasil melahirkan kelompok menengah yang kuat dan membawa kemakmuran bagi mayoritas. Meskipun demikian, ketika harus bersaing dengan model kapitalisme dari Timur Jauh (Jepang dan China), mulai terjadi berbagai penyunatan tunjangan sosial.
Beberapa dekade lalu, ekspansi agresif kapitalisme Jepang berhasil merambah pasar internasional. Namun, rakyatnya relatif lebih sedikit diberi kesempatan mencicipi kue hasil keuntungan yang berlimpah.
Harga barang di Kepulauan Matahari Terbit ini, misalnya, akibat kebijakan subsidi pertanian, rata-rata 40 persen lebih tinggi dibandingkan dengan Amerika Serikat. Mempunyai rumah seniri di Jepang nyaris tak mungkin akibat spekulasi tanah yang mendapat sokongan negara.
Produktivitas sistem perekonomian Jepang tidak hanya bertumpu pada ''teknik produksinya yang jenius” (Der Spiegel), tetapi terutama berkat pemasok murah dari strata masyarakat terbawah dalam “masyarakat tiga kelas” Jepang. Saat ini, posisi Jepang sebagai kekuatan ekonomi nomor dua dunia mulai digantikan China.
Bobot ekonomi negara berpenduduk terbesar di dunia ini berpengaruh signifikan pada konstelasi kekuatan politik global. Dalam bukunya, Kaplinsky melihat China bukan sekadar “Emerging Economies”, melainkan “Asian Drivers of Global Change” (2006).
Arahan Konstitusi Kita
Dalam menghadapi Pemilu Legislatif dan Pilpres 2014 ini diperlukan perdebatan terkait ideologi ekonomi partai politik dan para pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Sepanjang masa pemerintahan SBY yang berpasangan dengan Boediono, Indonesia telah menjadi pengusung utama ekonomi neoliberal. Dalam beberapa aspek, Indonesia bahkan membuka pasar sebebas-bebasnya, nyaris tanpa intervensi negara.
Fundamentalisme Pasar sebagai perwujudan neoliberalisme dalam bidang ekonomi memang meminggirkan peran negara sebagai penyeimbang ini, gagal memenuhi janjinya. Tiga contoh berikut memperjelas keterbatasan dari berbagai solusi yang melulu bertumpu pada premis ekonomi pasar.
Pertama, asumsi bahwa pasar uang tidak hanya membantu penggunaan kapital secara optimal, tetapi juga menjamin pertumbuhan dan pengadaan lapangan kerja, tidak terbukti. Penyebabnya, pasar modal menjadi pasar sepekulatif yang digelembungkan. Tanpa regulasi, pasar modal global bisa memengaruhi kuat-rapuhnya stabilitas ekonomi sebuah negara, kawasan atau bahkan dunia, seperti yang diperlihatkan oleh “Krisis Asia”.
Kedua, kekuatan pasar tidak mampu mencegah krisis lingkungan global. Meski harus pula diakui, kegagalan yang sama dialami oleh negara, terutama terkait maraknya monopoli dan oligopoli. Ketiga, penelitian Prittchett (1996) membuktikan bahwa dalam proses globalisasi terjadi kesenjangan yang meluas. Pemenangnya adalah negara-negara kaya anggota OECD, termasuk korporasi yang mengeruk kekayaan alam negara berkembang.
Dalam memilih, kita berharap negara berperan sebagai “penjaga” konstitusi dengan mengacu pada Pasal 33 UUD 45 yang dengan sangat jelas menyebut pemanfaatan sumber daya alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Negara perlu didorong untuk berpihak pada kepentingan mayoritas rakyat ketimbang condong kepada perusahaan yang memakmurkan segelintir penikmat di atas penderitaan mayoritas rakyat.
Banyak yang ragu karena mensinyalir setelah mengalahkan semua lawannya, kapitalisme bakal berpuas-puas dengan dirinya sendiri. Sikap diri, menurut Rudolf Hickel (2000), berdampak pada tiadanya “tangan pengatur keadilan dalam kapitalisme”.
Memilih Kapitalisme
Namun, bagi Robert Heilbroner, seorang sosialis Jerman, peran oposisi sosialistis di masa depan tidak lagi dalam mengupayakan rancangan perlawanan baru atas kapitalisme, tetapi mengupayakan agar sistem ini berwajah lebih manusiawi.
Bahkan, menurut Michael Albert, satu-satunya “kesempatan perbaikan” yang masih terbuka adalah terus mencoba dengan sistem kapitalisme dan berbagai cabangnya, seperti individual capitalism negara-negara Anglosaxon (AS dan Inggris) yang juga dikenal dengan julukan “neoliberal” dan social capitalism negara-negara Eropa daratan. Dua cabang kapitalisme ini telah memengaruhi perjalanan abad ke-20.
Setelah itu, muncul corporative capitalism, sebagai cabang kapitalisme ketiga dari Jepang yang pernah dinobatkan sebagai sistem ekonomi abad ke-21, meski tampaknya belakangan mengalami kemunduran. Selain itu, yang tak terduga adalah kemunculan “kapitalisme” China yang berada di bawah payung sistem komunisme.
Pada masanya, Reagan dan Thatcher (sebagai personifikasi kapitalisme Anglosaxon), pernah mengungkapkan rumusan pemikiran yang sempat membius warga dua negara tersebut: “Turunkan pajak bagi orang kaya maka kehidupan orang miskin akan membaik.”
Pemikiran kontroversial yang dirumuskan para intelektual kanan dari Hoover Foundation di California ini mungkin bisa berfungsi seandainya orang kaya yang banyak menghemat pajak itu mengiventasikan keuntungannya pada sektor produktif. Tetapi, karena tak seorang pun bisa memaksa mereka, juga tidak negara, kebanyakan uang mereka diinvestasikan pada bisnis spekulasi properti dan beberapa bidang kontraproduktif.
Pada satu sisi, AS misalnya merupakan juara dunia dalam hal pendidikan elite dan banyak memberi ruang bagi peningkatan kreativitas sosial. Tetapi, pada sisi lainnya, kapitalisme ini sangat tidak efisien dalam hal kebijakan sosial, kacau balau dalam kebijakan lingkungannya, dan ignorant dalam kebijakan kependidikan.
Aspek pionir yang menjiwainya terlalu nonchalance bagi “negara berkembang”, bahkan bagi para pakar ekonomi AS yang menjadi penasihat Presiden Clinton dan Obama. Mereka ''melirik'' kapitalisme model Eropa untuk diterapkan di AS.
Kapitalisme Eropa (daratan) cenderung mengikuti ''Model Jerman“, yang juga disebut soziale Markwirtschaft, yang kurang lebih berarti ekonomi pasar yang sosial. Tampaknya, dua perang dunia yang terjadi di Eropa telah mempertanyakan model kapitalisme nonchalance seperti yang dianut AS.
Eropa telah mengembangkan bingkai persyaratan yang disepakati umum tanpa terlalu melemahkan mekanisme pasar, berupa sistem sosial terpadu mulai perlindungan kesehatan, pengangguran hingga pengamanan hari tua dan tempat tinggal. Pajak yang tinggi telah memungkinkan pendanaan pendidikan dan pengajaran serta berbagai infrastruktur dasar. Serikat buruh yang relatif kuat juga telah mewarnai “kapitalisme solider” model Eropa.
Konsep Eropa berhasil melahirkan kelompok menengah yang kuat dan membawa kemakmuran bagi mayoritas. Meskipun demikian, ketika harus bersaing dengan model kapitalisme dari Timur Jauh (Jepang dan China), mulai terjadi berbagai penyunatan tunjangan sosial.
Beberapa dekade lalu, ekspansi agresif kapitalisme Jepang berhasil merambah pasar internasional. Namun, rakyatnya relatif lebih sedikit diberi kesempatan mencicipi kue hasil keuntungan yang berlimpah.
Harga barang di Kepulauan Matahari Terbit ini, misalnya, akibat kebijakan subsidi pertanian, rata-rata 40 persen lebih tinggi dibandingkan dengan Amerika Serikat. Mempunyai rumah seniri di Jepang nyaris tak mungkin akibat spekulasi tanah yang mendapat sokongan negara.
Produktivitas sistem perekonomian Jepang tidak hanya bertumpu pada ''teknik produksinya yang jenius” (Der Spiegel), tetapi terutama berkat pemasok murah dari strata masyarakat terbawah dalam “masyarakat tiga kelas” Jepang. Saat ini, posisi Jepang sebagai kekuatan ekonomi nomor dua dunia mulai digantikan China.
Bobot ekonomi negara berpenduduk terbesar di dunia ini berpengaruh signifikan pada konstelasi kekuatan politik global. Dalam bukunya, Kaplinsky melihat China bukan sekadar “Emerging Economies”, melainkan “Asian Drivers of Global Change” (2006).
Arahan Konstitusi Kita
Dalam menghadapi Pemilu Legislatif dan Pilpres 2014 ini diperlukan perdebatan terkait ideologi ekonomi partai politik dan para pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Sepanjang masa pemerintahan SBY yang berpasangan dengan Boediono, Indonesia telah menjadi pengusung utama ekonomi neoliberal. Dalam beberapa aspek, Indonesia bahkan membuka pasar sebebas-bebasnya, nyaris tanpa intervensi negara.
Fundamentalisme Pasar sebagai perwujudan neoliberalisme dalam bidang ekonomi memang meminggirkan peran negara sebagai penyeimbang ini, gagal memenuhi janjinya. Tiga contoh berikut memperjelas keterbatasan dari berbagai solusi yang melulu bertumpu pada premis ekonomi pasar.
Pertama, asumsi bahwa pasar uang tidak hanya membantu penggunaan kapital secara optimal, tetapi juga menjamin pertumbuhan dan pengadaan lapangan kerja, tidak terbukti. Penyebabnya, pasar modal menjadi pasar sepekulatif yang digelembungkan. Tanpa regulasi, pasar modal global bisa memengaruhi kuat-rapuhnya stabilitas ekonomi sebuah negara, kawasan atau bahkan dunia, seperti yang diperlihatkan oleh “Krisis Asia”.
Kedua, kekuatan pasar tidak mampu mencegah krisis lingkungan global. Meski harus pula diakui, kegagalan yang sama dialami oleh negara, terutama terkait maraknya monopoli dan oligopoli. Ketiga, penelitian Prittchett (1996) membuktikan bahwa dalam proses globalisasi terjadi kesenjangan yang meluas. Pemenangnya adalah negara-negara kaya anggota OECD, termasuk korporasi yang mengeruk kekayaan alam negara berkembang.
Dalam memilih, kita berharap negara berperan sebagai “penjaga” konstitusi dengan mengacu pada Pasal 33 UUD 45 yang dengan sangat jelas menyebut pemanfaatan sumber daya alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Negara perlu didorong untuk berpihak pada kepentingan mayoritas rakyat ketimbang condong kepada perusahaan yang memakmurkan segelintir penikmat di atas penderitaan mayoritas rakyat.
Belum ada Komentar untuk "Akses Bagi Orang Miskin"
Posting Komentar